Tim Jokowi-Amin minta MK konsisten mengikuti UU dan peraturan MK dalam menangani sengketa pilpres. Sementara pihak Prabowo-Sandi minta MK jangan jadi kalkulator semata.
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi diminta konsisten dengan Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam peraturan itu secara tegas disebutkan, pokok permohonan dalam perkara PHPU adalah kesalahan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Permintaan tersebut disampaikan oleh tim hukum pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra, Senin (27/5/2019). Tim hukum Jokowi-Amin kemarin berkonsultasi dengan kepaniteraan MK.
Sebelumnya, Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengajukan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden kepada MK, Jumat pekan lalu. Prabowo- Sandi berstatus sebagai pemohon, sedangkan KPU sebagai pihak termohon yang keputusannya dalam penetapan rekapitulasi perolehan suara nasional digugat ke MK. Adapun Jokowi-Amin merupakan pasangan calon yang turut berkepentingan dengan perkara itu.
Panitera MK, Muhidin, mengatakan, pasangan Jokowi-Amin otomatis menjadi pihak terkait dalam perkara itu. ”Sidang pendahuluan dilakukan pada 14 Juni 2019 sehingga paling lambat kami sudah harus mengirimkan keterangan sebagai pihak terkait pada 15 Juni 2019,” kata Yusril.
Kendati demikian, pihak Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin belum akan menjabarkan argumentasinya terkait dengan permohonan Prabowo-Sandi ke MK. Permohonan tersebut dinilai belum final, masih terbuka kemungkinan diperbaiki. Argumentasi hukum TKN Jokowi-Amin baru akan disampaikan paling cepat 11 Juni 2019, yakni saat permohonan Prabowo-Sandi diregistrasi dan telah dilengkapi.
Arsul Sani, anggota tim hukum Jokowi-Amin, menambahkan, pada dasarnya pihaknya berpegangan pada hukum acara yang berlaku di MK. PMK No 4/2018 mengatur bahwa yang menjadi materi perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden ialah terkait dengan hasil penghitungan suara.
”Misalnya, ada suara yang harusnya sekian, kok ditulis di bawahnya. Dengan bukti-bukti itu minta dikoreksi dan ditetapkan. Rezim hukumnya cuma itu yang diatur dalam UU Pemilu dan PMK. Tidak ada di dalam UU Pemilu maupun MK sendiri, misalnya, yang membuka ruang untuk memperlebar cakupan perkara,” kata Arsul
Dalam permohonannya, tim Prabowo-Sandi menilai telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan pasangan Jokowi-Amin. Ada lima pelanggaran yang diuraikan, yakni penyalahgunaan APBN, ketidaknetralan aparatur negara seperti polisi dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi serta badan usaha milik negara, pembatasan kebebasan media, serta diskriminasi perlakuan penegakan hukum.
Atas lima uraian pelanggaran TSM itu, Prabowo-Sandi meminta MK mendiskualifikasi Jokowi-Amin atau setidak-tidaknya memerintahkan pemilu diulang secara nasional.
Sebelumnya, kuasa hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto, berharap MK tak sekadar menjadi ”mahkamah kalkulator” dalam memeriksa perkara tersebut. Mahkamah diharapkan tidak hanya secara prosedural menghitung angka-angka raihan suara kedua pasangan calon, tetapi juga melihat perkara ini secara substantif, dengan mempertimbangkan asas pemilu yang luber dan jurdil.
Terkait permohonan para tim hukum itu, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, hal itu sudah masuk materi perkara. ”Menjadi kewenangan hakim untuk memberi penilaian,” ujarnya.
Sementara itu, selain untuk menjamin independensi, MK membentuk tiga panel hakim dalam pemeriksaan perkara PHPU. Tiga panel hakim yang bekerja secara paralel diyakini bisa menuntaskan sedikitnya 300 perkara sengketa pemilu legislatif yang diperkirakan akan diregistrasi MK tahun ini.
Tiga panel hakim itu akan dipimpin masing-masing oleh Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, dan juru bicara MK, I Dewa Gede Palguna.