Pekerja Dilarang Beraktivitas di Lokasi Serangan Harimau
BBKSDA Riau meminta PT RIA untuk sementara tidak melakukan aktivitas panen akasia di lokasi serangan harimau yang menyebabkan kematian seorang pekerja pada Kamis (23/5/2019) lalu.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·5 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau meminta PT RIA untuk sementara tidak melakukan aktivitas panen akasia di lokasi serangan harimau yang menyebabkan kematian seorang pekerja pada Kamis (23/5/2019) lalu. Setelah kawasan itu steril dari aktivitas pemanenan, pihak balai bersama perusahaan akan mengevaluasi keberadaan harimau yang telah memangsa manusia itu.
“Permintaan kami dilaksanakan. Sejak kejadian itu, tidak ada aktivitas pemanenan lagi di lokasi serangan. Kami sedang mengevaluasi harimau itu, tetapi bukan dalam rangka rencana evakuasi atau memindahkannya ke tempat lain," ujar Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Suharyono di Pekanbaru, Selasa (28/5/2019).
Suharyono menerangkan, harimau itu tidak akan dipindahkan karena dia berada di rumahnya, di hutan, walaupun bentuknya HTI (hutan tanaman industri) akasia. "Lokasi itu merupakan kantong harimau yang menyatu dengan ekosistem Suaka Margasatwa Kerumutan,” katanya.
Seperti diberitakan, Muhammad Amri (32), pekerja panen akasia PT RIA, ditemukan tewas dalam kondisi tertelungkup dengan luka menganga di bagian tengkuk dan kepala pada Kamis (23/5). Amri ditemukan di hutan akasia, Kanal Sekunder 41, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Menurut polisi, dari kondisi luka-luka tidak beraturan, diduga korban meninggal akibat serangan binatang buas. Pihak BBKSDA Riau pun memastikan kematian pekerja itu memang disebabkan serangan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Menurut Suharyono, pada Rabu (29/5), pihaknya kembali akan bertemu dengan jajaran PT RIA. Menurut rencana, mereka akan mengajak perusahaan untuk bersikap lebih peka terhadap keberadaan harimau di lingkungannya.
“Kami akan meminta seluruh pekerja perusahaan agar benar-benar mengerti cara beraktivitas di hutan itu. Yang paling utama, harimau tidak diganggu sementara pekerjaan dapat berjalan seperti biasa. Kami akan menekankan bagaimana cara hidup berdampingan dengan harimau,” kata Suharyono.
Langkah konkret lainnya, kata Suharyono, mereka akan menambah frekusensi patroli dan penambahan pemasangan kamera jebak (camera trap) di beberapa wilayah hutan. Hal itu agar apabila sewaktu-waktu ditemukan harimau atau jejaknya, petugas dapat langsung memberi peringatan kepada pekerja dan mengambil langkah antisipasi menghindari konflik.
Suharyono menambahkan, keberadaan harimau yang menyerang pekerja PT RIA sebenarnya sudah terdeteksi sejak 1,5 bulan lalu. PT RIA pun memiliki rekaman video aktivitas harimau dimaksud di dekat lokasi penyerangan. Rekaman itu kemudian diserahkan kepada BBKSDA Riau.
Setelah informasi itu, kata Suharyono, tim BBKSDA Riau langsung turun ke lokasi untuk melakukan koordinasi dengan perusahaan. Para pekerja pun telah diberikan materi pemahaman dasar bekerja di habitat harimau.
Salah satunya yakni setiap pekerja harus bekerja secara berkelompok atau tidak boleh bekerja sendiri. Kalau bertemu harimau, tidak boleh lari atau memisahkan diri dari kelompok. Proses evakuasi pekerja pun harus dilakukan dalam kondisi tenang. Di alam, sangat jarang sekali harimau menyerang manusia yang berkelompok.
“Kalau saja materi pemahaman dasar itu sudah diketahui seluruh pekerja, kami yakin kita dapat menghindari korban serangan di kemudian hari,” kata Suharyono.
Kasus ini sangat umum ditemui. Manusia tidak bersiap atau kurang hati-hati di wilayah jelajah harimau.
Suharyono menambahkan, sejak kejadian serangan pada pekan lalu, harimau itu belum terlihat lagi. Namun, ia yakin, satwa langka dilindungi itu belum bergerak jauh dari lokasi tersebut. “Upaya preventif akan kami tingkatkan. Selain membekali pekerja perusahaan, kami juga berkoordinasi intensif dengan personel polisi dan TNI di sana,” katanya.
Sunarto, ahli satwa liar dari World Wildlife Fund (WWF) Riau mengatakan, dalam peristiwa serangan harimau, terdapat tiga faktor pemicu. Pertama, adanya keteledoran manusia yang beraktivitas di habitat harimau. “Kasus ini sangat umum ditemui. Manusia tidak bersiap atau kurang hati-hati di wilayah jelajah harimau," kata Sunarto.
Namun, dalam kasus serangan terhadap pekerja PT RIA, Sunarto mengamati, selama ini sebenarnya jarang sekali harimau memangsa pekerja di perusahaan HTI. Apalagi, serangan itu terjadi saat pekerjaan pemanenan, yang biasanya sangat bising suara alat berat sehingga seharusnya membuat harimau menjauh. "Ini yang patut dievaluasi,” ujarnya.
Kedua, kata Sunarto, terjadi perubahan konfigurasi habitat satwa akibat fragmentasi wilayah jelajah. Misalnya, hutan habitat harimau yang dahulunya sangat luas dan menyatu, terbelah akibat alih fungsi hutan untuk perkebunan atau permukiman. Dengan kondisi seperti itu, sesekali harimau pasti akan melintasi hutan yang sudah menjadi kampung atau kebun. Interaksi dengan manusia pun dapat terjadi.
“Sekarang ini, fragmentasi habitat semakin banyak. Wajar saja apabila interaksi manusia dan harimau semakin besar. Hal ini terjadi di seluruh hutan di Tanah Air, termasuk dalam kasus serangan harimau di Sumatera Utara kemarin. Yang diperlukan adalah menyiapkan manusia agar siap hidup berdampingan dengan alam,” kata Sunarto.
Faktor ketiga, lanjut Sunarto, harimau mengalami penyakit sehingga tidak mengenal rasa takut lagi terhadap manusia. Dapat pula harimau beradaptasi dengan kehidupan manusia sehingga menganggap manusia sebagai mangsa yang mudah.
“Dalam setiap kejadian serangan, salah satu faktor itu pasti ada. Yang penting, ke depan, harus ada evaluasi menyeluruh agar konflik yang menyebabkan jatuhnya korban dapat dihindari. Hari ini korbannya mungkin manusia, tetapi ke depan dapat saja harimau yang menjadi korban,” ujar Sunarto.
Untuk menghindari serangan harimau di kemudian hari, tambah Sunarto, manusia yang berada di habitat harimau mesti dibekali prosedur standar tentang pengenalan alam. Selain itu dibutuhkan adanya tim respons yang cepat tanggap atas kemunculan harimau.
“Yang paling utama, manusia tidak boleh lengah. Kewaspadaan tetap nomor satu. Selama ini kita selalu cepat lupa. Ketika ada serangan, baru waspada dan berhati-hati. Namun, kalau sudah berlalu lama tidak ada serangan, biasanya manusia lebih abai terhadap keselamatan,” tutur Sunarto.