Ratusan Pemda Belum Punya Perda Kawasan Tanpa Rokok
Pemberlakuan insentif dan disinsentif ke daerah yang menurut rencana dimulai tahun 2020 diharapkan bisa mendorong perhatian pemerintah daerah untuk menerapkan kawasan tanpa rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 205 kabupaten/kota belum memiliki peraturan daerah kawasan tanpa rokok. Sementara dari 309 kabupaten/kota yang sudah memiliki perda, hanya 29 daerah di antaranya yang sudah betul-betul merealisasikannya. Pemberlakuan insentif dan disinsentif ke daerah diharapkan bisa mendorong perhatian pemerintah daerah untuk menerapkan kawasan tanpa rokok.
Kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Kawasan ini diartikan ruangan atau area yang dilarang untuk merokok, memproduksi rokok, menjual, mengiklankan, ataupun mempromosikan produk tembakau.
Adapun lokasi-lokasi yang perlu ditetapkan menjadi KTR antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat kegiatan belajar-mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum. Selain itu, tempat lain yang ditetapkan sebagai KTR adalah tempat terbuka yang dimanfaatkan bersama untuk kegiatan masyarakat.
”Perhatian dan komitmen pemda (pemerintah daerah) sangat menentukan (dalam memberlakukan KTR),” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Cut Putri Ariane saat acara temu media menjelang peringatan Hari Tanpa Tembakau di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Ia mencontohkan, Pemerintah Kota Bogor sudah menjatuhkan sanksi tindak pidana ringan kepada mereka yang melanggar aturan KTR.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono meyakini, pemberlakuan insentif dan disinsentif pada pemda yang diharapkan sudah mulai diterapkan pemerintah pada 2020 akan lebih mendorong perhatian dan komitmen pemda pada KTR.
Bentuk insentif itu seperti pemberian tambahan dana alokasi khusus kepada pemda yang berhasil mengimplementasikan kebijakan KTR.
Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada pemda yang tidak menerapkan kebijakan KTR. ”Kalau misalnya kabupaten ataupun kota tersebut masih memasang iklan rokok, bentuk disinsentifnya tidak diberi dana alokasi khusus atau kompensasi dari DAK yang seharusnya diterima,” katanya.
Dia menekankan, penerapan KTR tersebut penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari risiko ancaman kesehatan karena asap rokok, baik secara langsung maupun tidak.
Dampak buruk
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto menyampaikan, merokok bisa menjadi faktor risiko utama dari berbagai penyakit berbahaya, salah satunya kanker paru. Setidaknya 87 persen kasus kanker paru berhubungan dengan perilaku merokok.
Penelitian yang dilakukan Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan pada 2011 menunjukkan peningkatan risiko kanker paru sebesar 3,6 kali pada seseorang yang merokok. Setiap penambahan sepuluh batang rokok per hari, risiko meningkat sebesar 2,28 kali pada seorang perokok kretek. Jika kedua faktor tersebut terjadi bersamaan, peningkatan risiko menjadi 8,25 kali.
Selain itu, rokok bisa menimbulkan masalah kesehatan paru lain, seperti infeksi saluran napas, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik atau penyempitan saluran napas kronik, serta asma. Merokok juga signifikan berpengaruh pada penurunan fungsi paru-paru dibandingkan bukan perokok di masa depan.
”Pola hidup tidak merokok dan berhenti merokok harus dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak kesehatan yang buruk. Tidak hanya merugikan bagi perokok, tetapi juga perokok pasif,” ujar Agus.