Anak Muda Mencintai Indonesia, Melestarikan Budaya
Indonesia kaya akan beragam budaya. Banyak pihak yang penuh semangat melestarikan budaya, tak terkecuali generasi muda. Mereka tak pernah lelah merawat kebudayaan dengan caranya masing-masing.
Anak muda itu adalah Frances Caitilin Tirtaguna (16), penulis buku Ondel-ondel Galau, yang berisi paparan budaya Betawi; Ivana Prisca Mahal (17) yang menuangkan rasa cinta terhadap Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ke dalam lukisan; serta Erlangga Betrant Pashandaru (17) yang sejak SD menjadi dalang.
Perkenalan Frances, siswa SMA Binus Jakarta, dengan ondel-ondel berawal saat dirinya sering melihat ondel-ondel dalam perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Frances yang bukan orang Betawi ini lalu mencari tahu seluk-beluk ondel-ondel. Hasil riset tentang salah satu jenis kesenian itu membawa dirinya menjadi paham budaya lain yang ada pada warga Betawi.
Pengetahuannya itu membuat ia bisa menulis buku berjudul Ondel-Ondel Galau pada 2018. Buku itu berisi tentang sejarah, para tokoh, tarian, baju, lagu, mainan tradisional, serta beragam makanan khas Betawi seperti dodol.
”Saya tahu dodol Betawi karena pernah ke pembuatnya, tetapi saya kecewa karena mereka membuat dodol jika ada pesanan saja. Bukan setiap hari memproduksi dodol,” ujar Frances.
Dari situ, eksplorasi Frances meluas. Dia ingin menyatukan semua informasi itu dalam satu wadah sehingga orang tak pusing lagi mencari tahu tentang Betawi dan budayanya. Jadilah, ia membuat situs tentang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, tempat dia melakukan riset untuk buku.
Kemudian situs www.setubabakanbetawi.com dan situs www.perkampunganbudayabetawisetubabakan.com dia serahkan kepada Unit Pengelolaan Kawasan PBB Setu Babakan. Frances berharap wisatawan yang ingin tahu dan berkunjung ke Setu Babakan mudah mendapat informasi yang diperlukan.
Langkah cewek itu tidak berhenti sampai di situ. Ia ingin membuat aplikasi tentang Betawi. ”Saya makin suka dengan budaya Betawi. Suka dengan makanannya dan ingin memopulerkan budaya Betawi. Teman-teman saya juga tertarik,” ucap Frances senang.
Pesona Flores
Bidang berbeda dilakukan Ivana Prisca Mahal (17), siswa kelas XI SMA Labschool Jakarta. Berawal dari ikut orangtuanya, Gabriel Mahal dan Maswatty Mahal, pulang ke kampung mereka di Flores, Nusa Tenggara Timur, Ivana kini menuangkan beragam budaya Flores ke dalam lukisan.
Semula Ivana hanya mengenang perjalanan pulang kampung dengan melukis. Belakangan pesona alam di pulau itu termasuk komodo menginspirasi Ivana untuk menuangkan ke atas kanvas.
”Aku suka gambar pemandangan, tetapi lagi belajar juga untuk gambar orang. Kalau melukis, ya, mengalir saja, tergantung mood. Selalu saja dalam melukis ada lukisan yang terkait dengan Pulau Flores,” ujar Ivana yang suka melukis sejak kelas IV SD.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini memang ingin menemukan gaya melukis yang unik. Dengan menampilkan lukisan yang berakar dari alam, kehidupan, dan budaya Pulau Flores, khususnya Manggarai, Ivana ingin mengajak orang lebih memahami salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
”Ada keinginan untuk mengenalkan Pulau Flores. Tiap tahun, papa dan mama mengajak pulang kampung, mengunjungi saudara, lalu jalan-jalan,” ucapnya.
”Pemandangannya indah, enggak akan didapat di Jakarta. Sayangnya, di lukisan belum banyak muncul. Lain dengan Bali dan Jawa, sudah dikenal banyak orang,” kata Ivana yang belajar melukis di Hadipranata Art Center di daerah Kemang, Jakarta Selatan, ini.
Kesukaan Ivana menuangkan Pulau Flores dan kehidupan warganya menjadi lukisan membawanya pada pengalaman baru. Komunitas Perempuan Manggarai mengajaknya ikut misi memajukan perempuan Manggarai lewat pendidikan dan pemberdayaan. Caranya dengan penggalangan dana yang dilakukan awal Mei di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Dalam acara itu, Ivana dalam waktu singkat melukis, lalu lukisannya dilelang guna menghimpun dana. Goresannya menghasilkan lukisan perempuan Manggarai yang bangga akan pakaian daerah, tenun motif nan indah.
Satu lagi, pemandangan yang terinspirasi kehidupan di desa adat Wae Rebo dengan kehidupan perempuan petenun. ”Sempat gugup, bingung. Soalnya enggak nyiapin diri untuk menjelaskan. Sempat mikir juga, emang ada yang mau beli,” ujar Ivana.
Lukisan Ivana laku terjual dan bisa menghasilkan dana Rp 8,5 juta untuk mendukung kegiatan Komunitas Perempuan Manggarai.
Dalang remaja
Nama Erlangga Betrant Pashandaru, siswa kelas XI SMA Negeri Playen, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, di kalangan pencinta wayang kulit di Yogyakarta tidak asing lagi. Sejak usia belia, Betrant, begitu ia biasa dipanggil, sudah mengukir banyak prestasi.
Si dalang ini sering menjadi juara dalam festival dalang di Gunung Kidul ataupun Yogyakarta. Bukan hanya menjadi dalang, Betrant juga menekuni mocopatan (seni melagukan syair berbahasa Jawa), menjadi nayaga (penabuh gamelan), sampai menggambar tokoh dalam pewayangan yang kemudian dibuat menjadi wayang kulit. Berkat kegigihannya menekuni seni pedalangan dan turunannya, ia menjadi Duta Seni Pelajar Nusantara 2018 dan 2019.
Di masa mudanya, Betrant malah sudah membulatkan tekad hendak menekuni kesenian wayang dan turunannya (nayaga, mocopat, dan lainnya).
”Saya ingin menjadi dosen pengajar kebudayaan Jawa seperti bahasa Jawa, tetapi tetap sambil ndalang,” kata Betrant, Senin (27/5/2019).
Menurut Betrant, kecintaan kepada seni pedalangan berawal ketika masih TK saat diajak menonton wayang kulit.
”Saya senang menonton wayang. Kemudian bapak membelikan wayang kulit. Tambah semangat latihan di rumah,” katanya.
Minat Betrant yang besar terhadap seni pedalangan membuat Wahyudi, ayah Betrant, memasukkan anaknya ke Sanggar Pedalangan Pengalasan di Gunung Kidul. ”Waktu itu Betrant berusia lima tahun. Ia belajar seni pedalangan dari Bapak Slamet Hariyadi, guru SMP yang juga dalang,” kata Wahyudi.
Di tempat itulah Betrant mendapat pemelajaran misalnya tentang tokoh-tokoh dalam pewayangan, cara suluk (melagukan tembang yang dilakukan oleh dalang sesuai isi cerita), dan lainnya. Setahun kemudian, Betrant mendapat kesempatan pentas menjadi dalang.
”Pertama kali ndalang grogi dan takut, tapi senang,” ujar cowok yang pemalu ini tentang pengalaman pertama mendalang selama dua jam.
Sejak itu, sambil belajar mendalang, anak tunggal pasangan Wahyudi dan Endarini ini sering naik pentas di banyak tempat. Prestasi yang pernah ia raih antara lain saat berusia 10 tahun dirinya menjadi bintang iklan televisi sebagai dalang wayang dalam iklan Kopi Kapal Api bertema secangkir semangat Indonesia, juara dalang cilik Festival Dalang Gunung Kidul 2013, juara dalang remaja Festival Gunung Kidul tahun 2016, dan penyaji lakon terbaik dewasa Festival Dalang Gunung Kidul 2017.
Kini, ia sudah lulus dari sanggar pedalangan dan ayahnya sudah membuatkan Sanggar Seni Basiyo di Gunung Kidul lengkap dengan sekitar 100 wayang, gamelan dan kelir (latar belakang untuk mendalang).
Namun, Betrant masih membantu melatih para calon dalang cilik yang berlatih di Sanggar Pengalasan. ”Memang tidak dibayar, tapi saya suka melakukannya karena dengan cara ini saya bisa ikut melestarikan kesenian Jawa,” tutur Betrant.
Belajar membatik
Sementara itu, anak-anak muda di Madiun, Jawa Timur, ini justru tertarik belajar membatik di Galery Batik Tembo Madiun.
Dyah Astrid SPT, siswa kelas VIIE SMPN 2 Madiun, dan teman-temannya—Alief, Nur, Fatiha, Rafi, Jovan, dan Elvandra—pekan lalu, melakukan kegiatan membatik bersama-sama. Tujuan awal membatik karena ada tugas sekolah. Namun, seiring dengan keasyikan membatik itu, mereka pun ingin belajar membatik lebih lanjut.
Kebetulan Dyah belum pernah mencanting, apalagi membatik. Jadi, dia ingin merasakan bagaimana membatik itu. Akhirnya Dyah mencoba mencanting walau hasilnya tidak terlalu bagus karena masih pemula.
”Meski baru mencoba membatik, saya merasa senang. Saya jadi tahu ’sensasinya’ mencanting itu seperti apa. Membatik itu memang seru, apalagi waktu mewarnai menggunakan teknik colet. Menurut saya, itu seru banget,” kata Dyah.
Kesulitan saat membatik itu, menurut Dyah, pertama karena Dyah dan teman-temannya memakai canting elektrik yang harganya terbilang cukup mahal untuk ukuran kantong pelajar. Jadi, mereka hanya membeli satu canting elektrik sehingga mereka bergantian mencanting. Karena bergantian, hal itu memerlukan waktu cukup lama agar bisa selesai mencanting.
Kedua, mereka menggunakan canting elektrik yang lubang untuk memasukkan malam (lilin untuk membatik) terbilang kecil. ”Saat memasukkan malam harus dibentuk bulat-bulat kecil dan bertahap, jangan sampai kebanyakan malam. Karena berdasar pengalaman kami, kalau memasukkan malam terlalu banyak dan mencantingnya tidak langsung selesai, maka itu menyebabkan malam menjadi mengering dan menyumbat lubang untuk mencanting,” kata Dyah.
Otomatis kalau lubang cantingnya tersumbat cairan malam yang sudah mengering, maka malam cair yang ada di dalam canting elektrik itu tidak akan bisa keluar. Lubang cantingnya harus dibersihkan dengan menggunakan lidi atau peniti kecil agar tidak tersumbat malam dan itu sangat membuang waktu.
Ketiga, harus hati-hati kalau mencanting karena cairan malam panas. Jangan sampai cairan malam tumpah ke atas kain dan merusak motif. Dyah dan teman-temannya pernah menumpahkan cairan malam di atas kain. Tetapi, dengan kreativitas, mereka berhasil menutupi tumpahan malam tersebut.
”Saya juga sudah dua kali menumpahkan malam di atas tangan saya. Rasanya sakit dan panas. Itu adalah pelajaran bagi saya dan teman-teman agar selalu berhati-hati dan waspada dalam mencanting karena berisi cairan malam panas,” tuturnya.
Setelah proyek membatik tugas sekolah mereka selesai dan berhasil dengan baik, Dyah merasa ingin tetap membatik dengan menggunakan canting tradisional soalnya Dyah belum pernah menggunakan canting tradisional untuk membatik.
”Saya senang dan lega bisa membuat batik sendiri yang merupakan budaya asli Indonesia. Kami merasa bangga dengan hasil karya kami walaupun masih banyak kekurangan,” kata Dyah Astrid.
Peran yang dilakukan keempat anak muda itu hanyalah sebagian kecil. Tentunya masih banyak anak muda yang bergelut merawat Indonesia dengan caranya masing-masing. Jangan pernah lelah mencintai Tanah Air kita.