JAKARTA, KOMPAS — Penetrasi asuransi yang masih rendah menunjukkan potensi bisnis asuransi di Indonesia masih sangat besar. Salah satu solusi untuk meningkatkan kepemilikan asuransi di Tanah Air adalah bekerja sama dengan institusi serta membuat produk asuransi dengan premi yang terjangkau.
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), dalam lima tahun terakhir pertumbuhan premi asuransi di Indonesia sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan produk domestik bruto (PDB). Meskipun demikian, pertumbuhan penetrasi asuransi terhadap PDB lambat.
Pada 2017, penetrasi asuransi terhadap PDB sebesar 2,90 persen. Pada 2018, angka ini meningkat menjadi 3,04 persen.
”Rumus penetrasi asuransi adalah premi dibandingkan dengan PDB. Kami sangat memperhatikan hal ini karena kenaikan penetrasi asuransi umum melambat,” kata Direktur Eksekutif AAUI Dody AS Dalimunthe di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Pada 2015, belanja premi asuransi rata-rata Rp 1,5 juta per orang per tahun. Pada 2018, belanja premi meningkat menjadi Rp 1,6 juta per orang per tahun. Namun, dari jumlah itu, premi asuransi umum hanya sekitar Rp 250.000, sedangkan sisanya berupa premi untuk asuransi jiwa.
Masalahnya, lanjut Dody, belanja premi asuransi umum sebesar Rp 250.000 itu bukan karena keinginan untuk membeli, melainkan karena diwajibkan. Ia mencontohkan, pihak yang mengajukan kredit pemilikan rumah di bank diwajibkan membeli asuransi. Konsumen yang mengajukan kredit kendaraan bermotor juga wajib melakukan pembelian asuransi.
”Asuransi saat ini sifatnya masih belum ’dibeli’, tapi harus ’dijual’. Oleh karena itu, perlu pengenalan secara aktif dari komunitas ataupun instansi kepada anggotanya. Penetrasi asuransi yang efektif memang dalam bentuk kerja sama dengan institusi untuk mengasuransikan anggota-anggotanya,” ujar Dody.
Kerja sama
Kerja sama industri asuransi dengan instansi pemerintah antara lain dengan Kementerian Pertanian melalui asuransi pertanian dan asuransi nelayan yang dibayar dari subsidi pemerintah. Kini sedang dirintis asuransi barang milik negara (ABMN), yakni mengasuransikan properti milik negara. Asuransi itu menjadi pijakan untuk asuransi bencana yang dicanangkan Menteri Keuangan.
Untuk asuransi mikro, industri asuransi bekerja sama dengan instansi swasta, seperti koperasi, yang anggotanya kebanyakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Asuransi mikro dinilai lebih sesuai karena preminya terjangkau. Tantangan yang dihadapi adalah pengumpulan premi yang secara nominal kecil, tetapi dalam jumlah besar.
”Hal ini sebenarnya pas dengan kebutuhan masyarakat,” kata Dody.
Secara terpisah, CEO Adira Insurance Julian Noor berpendapat, pertumbuhan bisnis asuransi umum sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika kegiatan ekonomi terganggu, maka asuransi umum terganggu.
”Penetrasi asuransi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain tergolong rendah, terutama di masyarakat golongan menengah-bawah karena persoalan edukasi dan kesadaran,” kata Julian.
Berkaca pada negara maju, lanjut Julian, asuransi akan menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Sebab, asuransi merupakan cara yang paling efisien untuk memitigasi risiko. Meski demikian, perlu dukungan pemerintah agar industri asuransi semakin tumbuh. (NAD)