Caleg Baru Dominasi DPR
Wajah-wajah baru mendominasi DPR 2019-2024. Ini menandakan ada evaluasi dari rakyat terhadap DPR. Namun, kinerja DPR mendatang diprediksi tak banyak berubah.
JAKARTA, KOMPAS - Kursi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 diproyeksikan mayoritas akan diisi anggota legislatif non-petahana. Meskipun didominasi wajah baru, kinerja DPR diprediksi tidak banyak berubah selama sistem di internal partai politik tidak dibenahi.
Dari hasil Pemilu 2019, sembilan partai politik diprediksi lolos ke Senayan untuk menduduki 575 kursi anggota DPR periode 2019-2024. Sembilan parpol itu adalah PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Hasil kompilasi Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, dari 575 kursi DPR tersebut, sebanyak 65 persen atau 373 di antaranya diproyeksi akan diisi anggota legislatif yang baru. Sebelumnya, caleg petahana periode 2014-2019 yang maju dalam Pemilu 2019 sebanyak 94 persen atau 526 orang, dan diperkirakan hanya 202 orang yang kembali ke DPR.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, Selasa (28/5/2019), di Jakarta, mengatakan, perubahan komposisi wajah keanggotaan di DPR cenderung terus terjadi di setiap pemilu. Hal ini mengindikasikan adanya keinginan dari konstituen untuk mengevaluasi dan membenahi kinerja wakilnya di DPR dengan cara memilih orang yang baru.
”Masyarakat tidak punya ikatan yang tetap dan kontinu dengan wakilnya sehingga dengan mudah bisa berganti pilihan. Di sini sebenarnya bentuk mekanisme evaluasi atau ’hukuman’ dari publik bagi anggota Dewan yang performanya tidak baik,” katanya.
Berkaca pada pengalaman Pemilu 2014, meski hasil pileg didominasi caleg non-petahana, kinerja DPR periode 2014-2019 cenderung tak berbeda dengan DPR periode sebelumnya.
Terkait itu, menurut Aditya, meski didominasi wajah baru, kinerja DPR diprediksi tetap tidak akan banyak berubah selama belum ada perbaikan pada sistem partai politik. Kaderisasi yang belum berjalan maksimal di parpol membuat parpol memilih mencalonkan figur yang mampu menarik suara. Akibatnya, caleg banyak diisi oleh figur publik, selebritas, atau sosok yang punya hubungan kekerabatan dengan pejabat di daerah atau elite politik nasional.
Untuk menjamin kemenangan di pemilu legislatif, parpol juga cenderung mencari figur yang memiliki jaringan sosial, politik, dan modal finansial yang mumpuni. ”Ini adalah dampak dari persoalan paling klasik dan mendesak di parpol, yaitu minimnya kader mumpuni akibat proses kaderisasi yang macet,” kata Aditya.
Hubungan keluarga
Beberapa caleg non-petahana yang lolos menjadi anggota DPR masih memiliki hubungan keluarga dengan elite politik nasional, anggota DPR petahana, atau hubungan keluarga dengan kepala daerah di dapilnya. Di luar itu, sejumlah caleg petahana yang kembali lolos untuk periode kedua juga memiliki hubungan keluarga dengan elite politik nasional.
Kondisi ini, menurut Aditya, akan semakin menguatkan dominasi elite tertentu yang berpotensi memengaruhi keputusan di parlemen dan melanggengkan politik oligarki.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat (PAN) Nasional Eddy Soeparno mengatakan, sekitar 40 persen dari total 44 kursi DPR yang diperkirakan didapat PAN di pemilu 2019 akan diduduki caleg non-petahana. Beberapa caleg non-petahana dari PAN dan lolos ke DPR itu memang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat di daerah.
Ia mengakui, mereka lebih berpotensi menang karena mempunyai modal jaringan politik, sosial, serta finansial. Selain itu, caleg baru PAN yang lolos ke DPR juga merupakan aktivis dan pengusaha.
Eddy berharap, kehadiran caleg non-petahana dapat memperbaiki kinerja PAN. Apalagi, sekitar 70 persen dari total 44 orang anggota DPR dari PAN adalah anak muda. ”Ini bisa membuat DPR bergerak lebih lincah karena didominasi legislator muda,” tuturnya.
Adapun Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria tetap pesimistis kinerja DPR ke depan akan banyak berubah dibandingkan saat ini. Banyaknya caleg baru yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat daerah atau anggota DPR petahana bisa menjadi potensi masalah baru.