Hanu Resinurjati Pitrosadhi Menjemput Semangat Anak Penuh Bakat
Bagi Hanu Resinurjati Pitrosadhi (38), membantu penyandang disabilitas berdiri di podium prestasi menjadi hal yang membanggakan. Dari balik dinding sekolah dan halaman bermain, dia melihat potensi di tengah keterbatasan mereka. Hanu sadar, kekurangan tersebut bukan menjadi penghalang potensi mereka untuk meraih prestasi.
Bagi Hanu Resinurjati Pitrosadhi (38), membantu penyandang disabilitas berdiri di podium prestasi menjadi hal yang membanggakan. Dari balik dinding sekolah dan halaman bermain, dia melihat potensi di tengah keterbatasan mereka. Hanu sadar, kekurangan tersebut bukan menjadi penghalang potensi mereka untuk meraih prestasi.
Siang itu, Rabu (22/5/2019), Hanu sibuk mengisi rapor para murid bimbingannya di ruangan guru Sekolah Pendidikan Luar Biasa Yayasan Pendidikan Luar Biasa (SPLB-C, YPLB) Bandung. Angin semilir mengalir sejuk ke dalam ruangan bekas peninggalan kolonial yang masih kokoh berdiri tersebut.
”Mereka anak-anak yang luar biasa, memiliki potensi meski orang-orang hanya memandang sebelah mata. Dengan mengarahkan di jalur yang tepat, mereka bisa mendapatkan prestasi dan membanggakan lingkungannya,” ujar Hanu.
Seketika muncul Wicherson Thomas Tituhari Wila (30) dari balik pintu. Apabila melihat postur dan pembawaannya, Wicherson, biasa dipanggil Gerson, terlihat seperti difabel grahita umumnya. Namun, pria kurus ini adalah atlet membanggakan. Dia meraih emas pada Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2016 Jawa Barat untuk kategori lari 800 meter T12 (low vision).
”Eh mau ke mana ini? Udah siap pakai seragam olahraga,” ujar Hanu.
Gerson pun menjawab sambil tersenyum lebar, menanggapi pertanyaan Hanu.
”Ini Pak, mau latihan lari di Sabuga. Bapak besok ikut pas seleksi lari saya, ya,” katanya. Gerson kini sedang menyiapkan diri menjalani seleksi tim Jawa Barat untuk Peparnas 2020 di Papua.
Ajakan itu bukan basa-basi. Itu menjadi bentuk penghargaan Gerson kepada Hanu. Tangan dingin Hanu sabar membimbing Gerson selama lebih kurang sembilan tahun. Hasilnya, Gerson mampu membuktikan bisa menjadi yang terbaik di bidang atletik meski menyandang disabilitas.
”Pak Hanu melatih saya sangat keras. Meski yang lain sudah beristirahat, saya tetap disuruh lari sampai beberapa keliling. Saya sampai kesal,” ujarnya sambil tertawa.
”Tetapi, akhirnya saya sadar, semua ini demi kebaikan agar saya bisa berlari lebih baik,” tambah Gerson.
Hanu pun menyimak sambil tersenyum.
Hanu berujar, Gerson memiliki potensi menjadi pelari sejak pertama kali melihatnya. Sebagai Guru Pendidikan Jasmani Adaptif, dia menilai postur tubuh Gerson cocok untuk berlari dan semangatnya menjadi sumber energi untuk terus maju dan mau belajar.
Kemampuan para penyandang disabilitas yang terasah membuat mereka lebih mandiri dan diterima oleh masyarakat. Hal itu yang mendorong Hanu memberikan pelatihan sesuai dengan potensi yang dimiliki dari setiap penyandang.
Ilmu dan pengalaman yang didapatkan selama berkuliah di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (FPOK UPI) membuat Hanu berupaya melatih anak-anak yang berpotensi untuk menjadi atlet profesional. Kemampuan itu menjadi bekal mereka sehingga memberikan tujuan dan kegiatan yang memberikan penghasilan.
”Mereka memiliki potensi masing-masing. Ada yang bisa musik, menari, olahraga, dan sebagainya. Saya memiliki kapasitas di bidang olahraga. Dengan kemampuan ini, saya bisa melatih anak-anak yang memiliki potensi olahraga yang baik,” tuturnya.
Restu orangtua
Hanu tidak menyangka bisa masuk ke dalam dunia pendidikan disabilitas. Sebelumnya, dia bercita-cita ingin menjadi pelatih atlet profesional. Lahir di antara keluarga yang normal pun membuatnya tidak terpikir untuk berkarier sebagai pelatih dan pendidik difabel.
Hanu bercerita, pada hari pertama mengajar tahun 2005, awalnya dirinya hanya melihat kondisi lapangan dan peralatan seperti biasa. Namun, saat anak-anak keluar dan menyambutnya, dia melihat keceriaan dan semangat mereka di tengah keterbatasan. Hatinya terketuk. Hanu ingin membuat anak-anak itu lebih bahagia sesuai dengan potensi yang dimiliki.
”Saya diarahkan dosen mendaftar di sekolah ini. Awalnya saya tidak begitu antusias karena harus mengajari anak-anak berkebutuhan khusus. Tetapi, ketika saya masuk dan melihat mereka, niat saya berubah. Saya ingin membuat mereka berdaya dan tidak dipandang sebelah mata,” paparnya.
Semenjak itu, Hanu menjadi guru pendidikan jasmani adaptif yang gemar mengasah bakat anak-anak. Awalnya, banyak perlakuan tidak menyenangkan yang dialami Hanu. Namun, dia sadar, yang dihadapi bukan anak-anak biasa. Mereka butuh perhatian dan kesabaran khusus.
”Kadang saya digigit atau diludahi, dimaklumi saja. Belum lagi kalau sudah bertemu yang hiperaktif. Tidak bisa antre. Jadi, saya harus sabar. Kadang orangtuanya yang meminta maaf. Tapi, saya tidak memasukkan itu dalam hati, namanya juga anak-anak,” katanya tersenyum.
Tidak hanya kesulitan mengajari anak-anak, penghasilan yang didapatkan dari menjadi guru di sekolah ini juga tidak sebanyak mengajar di tempat lain. Karena itu, dari awal masuk, Hanu meminta izin kepada pimpinan sekolah untuk mencari penghasilan di tempat lain.
Beberapa bulan kemudian, Hanu pun diminta memilih, fokus mengajar ke sekolah lain atau tetap mengajar anak-anak disabilitas di sekolah luar biasa ini. ”Waktu itu, orangtua merestui saya untuk fokus mengajar di sekolah ini. Barangkali karena di sini saya bisa lebih berguna, membantu orang-orang yang membutuhkan,” katanya.
Peduli
Saat Hanu melihat anak yang berpotensi untuk menjadi atlet, dirinya memutuskan untuk mengasah kemampuan mereka dengan melatihnya. Namun, waktu olahraga di sekolah cenderung terbatas.
Dia pun memutuskan untuk mendirikan yayasan pembinaan bakat olahraga untuk penyandang disabilitas. Diberi nama Yayasan Humaniora, sejak tahun 2016, dia membantu mengarahkan potensi mereka sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing. Pada awalnya, ujar Hanu, peserta tidak dipungut biaya selama pendidikan di yayasan itu. Baginya, membantu anak-anak dalam mencapai impian sesuai dengan minat menjadi amal baik.
Ternyata kegiatan itu mendapatkan respons positif dari keluarga penyandang disabilitas yang dibimbingnya. Hanu berujar, mereka berterima kasih karena anak-anaknya mendapatkan kegiatan yang bisa meningkatkan kemampuan motorik mereka.
”Para orangtua melihat hal itu lebih berguna dibandingkan dengan berdiam di rumah kalau sudah tidak sekolah. Mereka pun lega jika anak-anak berkegiatan yang berguna, memacu minat dan bakatnya sehingga anak-anak itu merasa diterima,” tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, orangtua yang ingin menitipkan anak-anaknya semakin banyak. Hanu pun kewalahan jika harus mengurus semua berdua dengan rekannya, Marsudi. Mau tidak mau yayasan ini merekrut pelatih lain yang otomatis akan menambah biaya operasionalisasi.
”Akhirnya dengan berat hati saya meminta iuran sukarela kepada orangtua. Mereka sepakat untuk membayar. Saya salut, meskipun banyak dari masyarakat menengah ke bawah, para orangtua masih menghargai usaha saya dengan bersedia membayar iuran,” ujarnya sambil berkaca-kaca.
Berkat restu orangtua dan dukungan orangtua penyandang disabilitas tersebut, ketekunan Hanu pun membuahkan hasil. Sebagian anak-anak binaannya mendapatkan prestasi.
Terakhir, dalam Pekan Paralimpiade Pelajar Daerah (Peparpelda) Jabar 2018, 30 anak asuh Hanu mendapatkan medali emas dari beberapa cabang olahraga, di antaranya atletik dan renang. Tidak hanya itu, di tahun 2019 Yayasan Humaniora telah membimbing 203 penyandang disabilitas, baik untuk prestasi maupun terapi.
Laboratorium
Perhatian dan pengetahuan yang didapatnya membuat Hanu dipercaya sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kota Bandung. Selain itu, sebagai praktisi, Hanu sering kali diundang ke berbagai seminar, baik kampus maupun nasional, yang membahas pembinaan prestasi bagi atlet difabel.
Hanu menuturkan, pembelajaran yang didapat selama kuliah belum sedalam dan sekompleks aktivitas di lapangan. Karena itu, hingga saat ini dia masih menganggap sekolah tempat mengajar dan yayasan menjadi laboratorium untuk melihat dan belajar bagaimana bersikap, melatih, dan memotivasi penyandang disabilitas untuk tetap berolahraga.
Pengalaman yang kerap Hanu temui dalam melatih adalah perubahan sikap dari anak-anak bimbingannya. Dengan membuat anak-anak bergerak, dia bisa mengubah perilaku anak yang hiperaktif menjadi lebih kalem dan akhirnya bisa menerima pelajaran di sekolah.
”Saya juga belajar untuk bersikap ke anak-anak yang sudah tidak mau diatur. Kalau sudah tidak bisa dibilang, tunjukkan ketidaksenangan dengan diam, bukan marah-marah. Nanti mereka pasti sadar sendiri,” tuturnya.
Menurut Hanu, mengajari penyandang disabilitas harus dengan hati dan keikhlasan. Jika menggunakan emosi, mereka tidak akan mau diarahkan karena merasa tidak dihargai dan diterima. ”Sekalinya mereka benci saya, mereka tidak akan mau saya ajari, sampai kapan pun,” ucapnya.
Bunyi serangga pun kembali ramai terdengar, berbanding jauh dari kelas yang sepi ditinggal para murid karena sudah lewat tengah hari. Gerson bersiap untuk latihan lari sambil sesekali meminta arahan dari Hanu untuk persiapan seleksi yang akan ditempuh dalam waktu dekat ini.
”Saya senang diajar Pak Hanu karena dia mengajar saya sepenuh hati dan tidak memandang saya sebelah mata,” ujarnya sambil tersenyum lebar. Bagi difabel, itulah yang terpenting, penerimaan penuh dari masyarakat, menganggap mereka sebagai manusia seutuhnya meski terbatas.
Hanu Resinurjati Pitrosadhi
Lahir: Sumedang, 4 April 1981
Pendidikan: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (lulus 2005)
Jabatan:
- Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi National Paralympic Committee Indonesia Kota Bandung (2015-sekarang)
- Sekretaris Jenderal Yayasan Humaniora Indonesia (2016-sekarang)
- Guru Pendidikan Jasmani Adaptif SPLB-C YPLB Bandung (2005-sekarang)
Surat elektronik: hanu_rp@yahoo.com