JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah lembaga survei mengemukakan, isu identitas dan agama masih menjadi salah satu faktor utama dalam Pemilu 2019 yang mempengaruhi pilihan pemilih. Pasangan 01, Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, misalnya, lebih unggul di mayoritas wilayah dengan penduduk Muslim sedikit.
CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, Rabu (29/5/2019), mengatakan, kesimpulan itu berdasarkan metode analisis scatter plot yang melihat apabila adanya hubungan antara keterpilihan Jokowi-Amin dengan wilayah yang memiliki mayoritas atau minoritas penduduk Muslim.
Kesimpulannya, "semakin tinggi jumlah penduduk Muslim dalam provinsi itu, maka tingkat keterpilihan Jokowi-Amin semakin rendah," kata Hasanuddin dalam jumpa pers, Rabu.
Fenomena itu terjadi di sebagian besar provinsi Indonesia, kecuali di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kedua provinsi itu dengan mayoritas penduduk Muslim itu, Jokowi-Amin, mengungguli pasangan 02 Prabowo-Sandi.
Dalam hasil exit poll Pemilu 2019 oleh Indikator Politik Indonesia, 49 persen penduduk Muslim Indonesia memilih pasangan Jokowi-Amin. Sementara itu, ada 97 persen penduduk non-Muslim memilih pasangan Jokowi-Amin.
Hasanuddin juga melakukan analisis untuk melihat apabila ada hubungan antara kondisi ekonomi, seperti rasio gini dan keputusan pemilih dalam Pemilu 2019. Kesimpulannya, "Tidak ada pola yang menunjukkan bahwa kinerja ekonomi menentukan pilihan pemilih," ucapnya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menambahkan, di wilayah di mana Presiden Joko Widodo cukup gencar membangun proyek infrastruktur, pasangan Jokowi-Amin tidak menerima kenaikan jumlah perolehan suara.
Di Sumatera Barat misalnya, di mana Jokowi berkali-kali mengunjungi untuk meresmikan proyek infrastruktur, jumlah perolehan suara untuk Jokowi-Amin menurun dibanding sebelumnya.
Pada 2019, Jokowi-Amin memperoleh 14,08 persen suara di Sumatera Barat. Angka itu menurun dibanding Pemilu 2014, di mana pasangan Jokowi-JK memperoleh 23,08 persen suara.
"Jadi, masalah ekonomi tidak semata menjadi isu (yang mempengaruhi pilihan pemilih). Ada juga masalah lain, seperti politik identitas," kata Burhanuddin
Di Aceh, pada Pemilu 2014 pasangan Jokowi-JK memperoleh 45,61 persen suara. Perolehan itu turun signifikan pada 2019 menjadi 12,98 persen.
"Ketika kita tanya kenapa warga Aceh tidak memilih Jokowi-Amin, pada umumnya, Jokowi dianggap melindungi Ahok (Basuki Tjahaja Perunama). Itu, kan, politik identitas," ujar Burhanuddin.
Fenomena global
Bagi Burhanuddin, politik identitas merupakan fenomena global. Kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Pemilu 2016 dan terpilihnya Inggris untuk keluar dari Uni Eropa pada Referendum 2016 misalnya, turut didorong oleh isu identitas.
"Politik identitas menjadi negatif bagi demokrasi ketika mencoba mengkapitalisasi elemen primordial dalam politik dan mengeksklusifkan identitas lain dengan menganggapnya bukan bagian dari mayoritas," kata Burhanuddin.
Di sisi lain, tidak semua politik identitas berdampak negatif terhadap demokrasi. Contohnya, yang bersifat inklusif, seperti gerakan perempuan dan buruh.
"Gerakan itu tidak negatif karena berupaya memasukkan elemen yang selama ini termarjinalkan ke dalam politik," tambah Burhanuddin.