Sistem demokrasi hendaknya dijalankan dengan mengedepankan keadaban. Bersatu dalam keberagaman itu merupakan hal yang harus diutamakan. Perbedaan perlu disikapi sebagai sebuah kewajaran.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Sistem demokrasi hendaknya dijalankan dengan mengedepankan keadaban. Bersatu dalam keberagaman itu merupakan hal yang harus diutamakan. Perbedaan perlu disikapi sebagai sebuah kewajaran.
Hal itu dibahas dalam dialog kebangsaan bertajuk “Momentum Membangun Resolusi Indonesia Baru”, di Universitas Alma Ata, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (29/5/2019). Dialog tersebut dihadiri Anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Abdul Gaffar Karim, dan sejumlah rektor dari universitas lain di Yogyakarta.
Mahfud menyampaikan, Indonesia dibangun dengan kesadaran akan pluralitasnya. Sistem demokrasi pun dipilih para pendiri bangsa ini agar bisa mempertemukan berbagai perbedaan yang ada itu. Sistem tersebut membuat semua pihak memiliki hak yang sama.
“Indonesia itu sangat plural. Maka, dipilih cara bagaimana menyelenggarakan keberbedaan dan dipilih demokrasi dalam negara yang berketuhanan ini,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, salah satu wujud paling nyata dalam berdemokrasi itu adalah pemilihan umum. Mekanisme tersebut memungkinkan setiap warga negara yang amat beragam ini untuk menyalurkan suaranya untuk memilih pemimpinnya. Namun, gelaran pemilu kali ini sedikit kontroversial karena sejumlah pihak merasa adanya kecurangan.
“Kalau kecurangan itu terjadi, demokrasi itu punya pasangan. Pasangannya adalah nomokrasi. Nomokrasi itu mencari kebenaran,” kata Mahfud.
Hal yang dimaksud Mahfud, lewat sistem nomokrasi, ada jalur hukum yang bisa dilalui untuk menggugat ketidakpuasan terhadap hasil pemilu itu. Hukum dianggap sebagai jalan yang bisa memberikan keadilan dalam memutuskan sebuah perkara.
Kalau kecurangan itu terjadi, demokrasi itu punya pasangan. Pasangannya adalah nomokrasi. Nomokrasi itu mencari kebenaran
Mahfud pun menyinggung tentang kerusuhan yang sempat terjadi pada 21-22 Mei 2019 lalu, di Jakarta. Semula ada aksi damai dari kelompok pendukung yang tidak puas terhadap hasil pemilu. Aksi itu berjalan tertib hingga ada sekelompok orang baru yang datang melempari batu hingga massa menjadi ricuh.
“Demokrasi yang seolah dianggap stagnan dan hendak diturunkan ke arah-arah anarkis. Apapun alasannya itu kita bisa berdebat. Apakah cukup alasan atau tidak untuk mengatakan demokrasi ini stagnan. Gangguan kebangsaan kita mulai muncul,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, dalam kondisi seperti ini, hanya Mahkamah Konsitusi (MK) yang bisa menyelesaikan masalah persengketaan pemilu itu. “Tidak ada jalan lain. Keputusan MK bersifat final dan mengikat. Begitu diputus semuanya harus tunduk,” katanya.
Mahfud meyakini, hakim MK juga tidak akan diintervensi oleh pihak manapun dalam memutuskan perkara. Ada mekanisme yang terbuka dan ketat sehingga bisa menjamin keadilan dari suatu perkara. Hal itu berdasar dari pengalamannya menjabat sebagai Ketua MK pada periode 2008-2013.
Mahfud menceritakan, saat itu, ada kondisi yang serupa dan sama panasnya dengan pemilu kali ini, pada Pemilu 2009. Pasangan capres dan cawapres Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono digugat oleh Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto. Namun, setelah MK mengeluarkan putusannya untuk kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Kedua pasangan lainnya menerima putusan itu dan meminta semua pihak untuk bersatu kembali sebagai bangsa Indonesia.
“Itu demokrasi yang mengedepankan keadaban. Percayakan keopada MK membangun demokrasi yan gberadab. Jangan ikut terperangkap pada hoaks dan berita bohong yang tidak jelas arahnya dan akan merusak rasa kebangsaan kita,” kata Mahfud.
Terkait hal itu, pengamat politik dari UGM Abdul Gaffar Karim menyatakan, dari tingkat akar rumput terdapat ketidakmampuan untuk melihat jauh ke depan dalam Pemilu 2019. Masyarakat sibuk ikut bersaing membela pasangan calon yang mereka dukung masing-masing.
“Kita lupa kesepakatan besar dan sering bertengkar untuk hal-hal kecil. Kita mengatakan bahwa yang kita dukung sangat baik sedangkan yang lainnya sangat buruk. Tidak ada perbincangan tentang arah kebangsaan kita,” kata Gaffar.
Kemudian, Gaffar mengungkapkan, terdapat pula ketidakmampuan menerima aturan main dalam sistem yang demokratis. Jika aturan main itu dijalankan, ia meyakini, tidak ada situasi perselisihan yang berkepanjangan ini. Kesadaran politik masyarakat hendaknya disalurkan dengan datang ke bilik suara untuk menggunakan hak pilihnya tanpa perlu memprovokasi dengan pemilih lain yang berbeda pilihan.
“Sebagai warga, kita kembali ke aturan main saja. Tugas kita coblos saja lalu mengawasi jalannya pemerintahan yang sah. Kalau itu diikuti, saya rasa, situasi politik kita akan baik-baik saja,” ujar Gaffar.