Mudik bukan sebatas perjalanan membayar rindu. Pulang kampung juga momen menepikan pikiran dari tensi politik yang belum surut di negeri ini. Menjemput ide-ide segar yang melahirkan ketenangan saat Lebaran.
Pemilu 2019 membentuk polarisasi di tengah masyarakat karena perbedaan dukungan politik. Lebaran bisa dijadikan momentum mendinginkan gesekan politik. Kampung halaman menawarkan cerita untuk menenangkan pikiran.
Menurut sastrawan Agus Noor (50), kesejukan perlu dibangkitkan lagi lewat bercengkerama bersama keluarga dan sanak kerabat. Tanpa perlu menyinggung demarkasi politik di antara sesama.
”Masyarakat butuh banyak ruang bertemu berkualitas bersama keluarga. Semoga ketika mudik, ada obrolan di luar politik. Jadi, pikiran kembali sejuk saat kembali beraktivitas,” ujar Agus saat dihubungi, Jumat (24/5/2019).
Saat mudik, masyarakat juga dapat berintrospeksi diri dengan melihat keadaan di sekitarnya. Salah satunya dengan mengingat kembali kisah-kisah di masa lalu yang merupakan pengalaman spiritual yang berharga. Bahkan, hal ini dapat menjadi inspirasi dalam berkarya di dunia sastra, seperti menulis cerita pendek.
Dalam cerpennya, Agus sering mengisahkan sosok kiai kampung bernama Karnawi. Sosok itu yang mengajarkan Agus mengaji di kampung halamannya di Tegal, Jawa Tengah. ”Dulu saya dan teman-teman belajar mengaji bersama kiai di surau. Sekarang, banyak pendidikan agama diserahkan ke lembaga formal. Prosesnya kehilangan sisi kemanusiaan,” ujar Agus.
Di sisi lain, mudik juga mengundang pertanyaan tentang esensi diri. Sebab, dalam kenyataannya, manusia kerap mengalami hal-hal yang bertolak belakang. Berjalan pulang dalam keramaian mudik, tetapi justru merasa sepi karena ruang silaturahmi semakin terimpit individualisme.
Situasi ini mirip dengan sajak karya Agus berjudul ”Mudik Lebaran”. Sajak ini ditulis di Jakarta pada 2009. Saat itu, dia sedang teringat pengalaman kuliah di Yogyakarta dalam balutan kerinduan pulang ke kampung halaman. (TAM)