Berbeda dengan final-final di kompetisi Eropa sebelumnya, Baku—ibukota Azerbaijan—masih nampak sepi menjelang duel Arsenal kontra Chelsea di final Liga Europa, Kamis (30/5/2019) pukul 02.00 WIB. Hanya segelintir fans yang telah tiba di kota itu, Selasa (28/5). Sebagian dari mereka bahkan tiba dengan kelelahan dan kekecewaan.
Luke Edwards, jurnalis asal Inggris yang bekerja untuk Daily Telegraph, kaget ketika menginjakkan kakinya di sebuah hotel di Baku yang telah dipesannya sejak jauh-jauh hari. Pihak hotel mendadak memberitahunya, tidak lagi tersedia kamar kosong. Dengan mata yang memerah menahan kantuk, ia hanya bisa pasrah saat diberitahu harus pindah ke hotel lainnya.
Setelah hampir 24 jam menunggu, ia akhirnya tiba di hotel lain. “Baku memang indah dengan arsitektur gedung-gedung tuanya. Namun, sebuah mimpi buruk untuk tiba di sana,” ungkap Edwards menceritakan pengalamannya lewat akun Twitter-nya.
Pengalaman buruk serupa juga dialami Sam Dean, jurnalis Inggris lainnya. Ia dipaksa pindah dari hotel yang dipesannya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pihak hotel itu diyakini “menjual” kembali kamar itu ke pihak lain dengan harga jauh lebih tinggi. “Pastikan Anda mengecek kembali reservasi (hotel) sebelum tiba,” ujarnya memperingatkan pengunjung lainnya agar tidak mengalami hal serupa.
Baku sebelumnya memang tengah disorot. Kota itu dinilai kurang tepat sebagai lokasi final Liga Europa musim ini. Daily Mail sebelumnya memperingatkan, final di Baku itu bisa menjadi “neraka” bagi para fans dan tim sepak bola yang datang. Hal itu lebih dulu dialami bintang Arsenal, Henrikh Mkhitaryan, yang tidak bisa tampil di laga itu akibat masalah visa.
Arsenal memilih tidak memberangkatkan gelandang serang asal Armenia itu akibat ketegangan politik negara itu dengan Azerbaijan. Padahal, kehadiran Mkhitaryan di Arsenal sangatlah dibutuhkan menyusul absennya Aaron Ramsey akibat cedera. Masalah itu dinilai bertentangan dengan slogan “Bersama ke Baku” yang digalakkan di final Liga Europa 2019.
Sepak bola pun tersandera politik. “Ini adalah kabar buruk. Namun, kami tidak bisa melakukan apa pun. Kami harus bisa memahami masalah politik,” ujar Manajer Arsenal Unai Emery yang kecewa atas situasi yang menjerat salah satu pemainnya itu.
Sejumlah fans fanatik kedua tim itu bahkan harus menempuh rute jauh dan memutar untuk tiba di kota yang lebih dekat ke Asia dan Afrika, ketimbang Eropa, itu. Penerbangan langsung dari London ke Baku telah meroket jauh-jauh hari, yaitu sehari setelah semifinal awal Mei lalu. Tiket pesawat menembus 1.000 pounds alias Rp 18 juta dari biasanya hanya Rp 4 juta.
Demi menghemat biaya, Ian dan Sarah McGregor—pasangan dari Inggris—memilih rute tidak langsung, yaitu singgah lebih dulu di Dubai, Uni Emirat Arab. “Saya nyaris tidak bisa tidur. Melelahkan. Namun, untungnya saya suka petualangan,” ujar Tommy Soames, fans Arsenal, yang menempuh perjalanan melewati Italia dan Georgia, sebelum tiba di Baku, dikutip Fox Sports.
Belum habis terjual
Dengan kondisi itu, tidak heran, jumlah 6.000 tiket laga final yang masing-masing dialokasikan untuk Arsenal dan Chelsea, belum habis terjual. Padahal, jumlah tiket khusus itu tergolong sangat sedikit dibandingkan kapasitas stadion di Baku yang mencapai 69.000 kursi. Hingga kemarin, tiket untuk Arsenal dan Chelsea, baru terjual masing-masing 3.500 dan 2.000 lembar.
Terlepas dari hal itu, sebagian fans tidak kecewa atau mengeluh datang jauh-jauh ke Baku. Mereka ingin menjadi saksi dari pertunjukkan hebat, dua tim Inggris, di final Eropa. “Saya ingin merasakan hal spesial dengan menonton laga kompetitif Arsenal untuk pertama kalinya. Ini final bakal fantastis,” ujar Ashraf Ahmed, penggemar Arsenal yang datang dari Houston, Amerika Serikat. (Reuters)