Penyidik harus mengusut tuntas dan mencari dalang kerusuhan massal seusai penetapan hasil Pemilu 2019. Penyelesaian kasus ini jangan berakhir tanpa ada kepastian, seperti kasus kerusuhan sebelumnya. Jika sampai terjadi, hal itu memberikan preseden buruk bagi demokrasi ke depan.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik harus mengusut tuntas dan mencari dalang kerusuhan massal seusai penetapan hasil Pemilu 2019. Penyelesaian kasus ini jangan berakhir tanpa ada kepastian, seperti kasus kerusuhan sebelumnya. Jika sampai terjadi, hal itu memberikan preseden buruk bagi demokrasi ke depan.
”Dalam sejarah kerusuhan yang melibatkan para purnawirawan militer, baik peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 maupun kerusuhan Mei 1998, itu tidak pernah dibongkar secara utuh. Sebab, agenda Reformasi atas kekebalan hukum militer dengan mekanisme peradilan militer belum tuntas dikerjakan,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Paparan ini mengemuka dalam diskusi publik oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bertema ”Menguak Dalang Makar 22 Mei”. Hadir pula sebagai pembicara, antara lain, Direktur Imparsial Al Araf, pengamat politik Hermawan Sulistyo, mantan Kepala BAIS Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto, dan Juru Bicara DPP PSI Dini Purwono.
Menurut catatan Kompas, purnawirawan militer yang diduga terlibat dalam aksi massa pascapenetapan hasil Pemilu 2019 adalah Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen yang kini menjadi tersangka perkara dugaan makar. Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal (Purn) Soenarko juga sudah jadi tersangka dugaan makar dan penyelundupan senjata untuk aksi 22 Mei 2019.
”Berkaca pada sejarah, saya ragu bahwa pada akhirnya kita dapat sampai pada kesimpulan utuh tentang siapa dan bagaimana kerusuhan 21-22 Mei 2019 itu diciptakan,” kata Usman.
Soleman B Ponto juga menyerukan hal senada. Dia menilai, indikasi dalang hingga pendana dalam aksi massa yang berujung pada kerusuhan sebenarnya sudah diketahui dan kini tinggal bagaimana polisi memproses.
”Kerusuhan ini, kan, datangnya dari proses politik, bukan pertempuran murni. Namun, apakah akan diselesaikan secara politik juga? Kalau pelanggar hukum, kan, harus dihukum,” ujar Soleman.
Secara terpisah, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita juga berharap polisi dapat bekerja sesuai undang-undang yang berlaku dan harus tegas dalam menghadapi semua yang terlibat dalam kerusuhan pascapenetapan hasil Pemilu 2019. Mulai dari aktor intelektual, koordinator lapangan, hingga para pelaku harus diusut tuntas tanpa pandang bulu.
”Sebab, momentum hukum adalah panglima yang harus dikedepankan daripada pertimbangan politik. Sehingga asas equality before the law atau persamaan di hadapan hukum dan asas due process of law atau proses peradilan bagi setiap individu harus konsisten ditegakkan,” tuturnya.
Aksi yang gagal
Al Araf menyampaikan, peristiwa kemarin adalah makar yang gagal sebab para pelaku, baik dari kelompok perusuh maupun kelompok penunggang gelap, tidak membaca kondisi obyektif secara utuh. Jadi, upaya memancing massa yang lebih besar pun tidak berhasil.
”Insiden kemarin berbeda ketika kerusuhan Mei 1998 yang diiringi dengan krisis ekonomi. Kondisi saat ini, secara ekonomi kita relatif stabil sehingga upaya memancing kerusuhan dari masyarakat itu enggak berhasil,” katanya.
Selain itu, kondisi di tubuh Tentara Nasional Indonesia serta Polri jauh lebih solid. Hal ini penting untuk mengukur seberapa jauh kekuatan aparat keamanan dalam menjaga kesatuan bangsa.
Usman juga menyatakan demikian. Insiden from the ballots to the bullet atau dari kotak suara ke peluru memang terjadi. Namun, Indonesia sebenarnya memiliki satu ketahanan politik yang kuat.
”Dalam kejadian kemarin, masyarakat memiliki ketahanan demokrasi yang luar biasa sehingga masih tetap bersatu. Ini dibuktikan dari penyelenggaraan pemilu tanpa adanya interupsi kudeta militer ataupun perang bersaudara,” ujarnya.
Belum usai
Dini Purwono menyampaikan, keputusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pemilu 2019 sejatinya bersifat final dan mengikat. Untuk itu, seharusnya setiap pihak dapat menerima keputusan pada 28 Juni 2019 nanti tanpa adanya delegitimasi kekuatan hukum.
Meski demikian, Al Araf menilai, semua tergantung bagaimana pihak yang menang dalam membangun manajemen konflik yang baik dengan pihak yang kalah. ”Upaya rekonsiliasi perlu dilakukan demi kepentingan bangsa. Jika enggak mau ikut koalisi, beroposisilah dengan sehat dan benar sesuai demokrasi demi kepentingan bangsa,” katanya.