Libatkan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pembahasan DIM
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah harus memastikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang akan dibahas di DPR mengakomodasi kepentingan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sipil dalam diskusi dan pembahasan substansi materi rancangan undang-undang itu sangat penting agar undang-undang yang dihasilkan nanti benar-benar menjadi terobosan hukum di Indonesia.
Karena itu, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mengingatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan (PPPA) selaku leading sector atau kementerian yang memimpin proses rancangan undang-undang itu agar tidak mengabaikan partisipasi publik.
”Sejauh ini, keterlibatan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam proses pembahasan substansi yang dilakukan pemerintah, termasuk dalam pembahasan daftar isian masalah, sangat minim,” ujar Koordinator JKP3 Ratna Batara Munti dalam acara pernyataan sikap organisasi masyarakat sipil terkait dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Rabu (29/5/2019), di Jakarta.
Ratna bersama Siti Aminah (peneliti The Indonesian Legal Resource Center), Siti Marzuma (Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta), dan Aprilia (LBH Jakarta) mengungkapkan, sejak awal Mei 2019, Kementerian PPPA melakukan sejumlah pertemuan bersama dengan kementerian/lembaga terkait untuk memperkuat daftar isian masalah (DIM) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Namun, dalam proses itu, kelompok perempuan yang berkepentingan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak diberi ruang untuk memberikan masukan atas DIM yang disusun pemerintah.
Padahal, sebelumnya, menurut Ratna, ada tiga kali pertemuan antara pemerintah dan masyarakat sipil pada akhir 2018 dan awal 2019. ”Pihak Kementerian PPPA selalu menjanjikan adanya ruang diskusi bersama antara masyarakat sipil dan pemerintah, tetapi hingga kini belum terlaksana. Pemerintah terkesan menutup ruang diskusi dan enggan mendengarkan masukan masyarakat untuk memperbaiki DIM-nya,” ujar Ratna.
Pihak Kementerian PPPA selalu menjanjikan adanya ruang diskusi bersama antara masyarakat sipil dan pemerintah, tetapi hingga kini belum terlaksana.
Padahal, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dalam proses penyusunan undang-undang, ruang partisipasi publik harus dibuka bukan hanya saat di DPR, melainkan juga saat pembahasan di pemerintah. ”Selain berpotensi melanggar UU, pemerintah mengalami kemunduran kalau proses RUU ini tidak mendengarkan masukan kelompok yang berpentingan,” kata Aminah.
Pemerintah terkesan tertutup
Aminah menilai, pemerintah terkesan menutup ruang diskusi terhadap kelompok masyarakat, terutama kelompok perempuan yang sangat berkepentingan dengan hadirnya RUU ini. Hal itu terlihat dari rumusan DIM yang masih jauh dari harapan, bahkan terkesan mereduksi terobosan-terobosan penting dalam RUU.
Ia mencontohkan, langkah pemerintah yang memangkas sembilan tindak pidana kekerasan seksual menjadi empat tindak pidana kekerasan seksual serta mempersempit rumusan pemerkosaan yang sudah diperluas, dan masih digunakannya istilah persetubuhan dan pencabulan yang selama ini problematis dan mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban.
Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman pembahasan UU yang sebelumnya, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Kesetaraan Gender, yang dalam prosesnya sejak awal hingga akhir melibatkan organisasi masyarakat sipil.
”Ini belum terlambat untuk melibatkan masyarakat sipil dalam proses pembahasan yang dilakukan pemerintah. Jika tidak dilibatkan, kami akan menolak DIM pemerintah karena tidak partisipatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan dan pengalaman perempuan yang menjadi sasaran utama dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Ratna.
Jika masyarakat sipil tidak dilibatkan, kami akan menolak DIM pemerintah karena tidak partisipatif dan tidak mempertimbangkan kepentingan dan pengalaman perempuan. (Ratna Batara Munti)
Pertahankan 6 elemen kunci
Aminah, Mazumah, dan Aprilia berharap, sebelum pembahasan di DPR, pemerintah membuka ruang dengan organisasi masyarakat sipil. Salah satu yang menjadi harapan organisasi masyarakat sipil adalah tetap dipertahankannya enam elemen kunci dalam RUU itu, yakni mengatur pencegahan, sembilan bentuk kekerasan seksual, hukum acara pidana, ketentuan pidana, pemulihan, dan pemantauan.
”Tujuan dari RUU ini adalah terobosan dengan enam elemen kunci. Kalau enam elemen itu dihilangkan, maka tidak ada bedanya dengan UU yang lain. Karena itu, kami berharap lembaga pengada layanan yang sudah memiliki pengalaman penanganan perempuan korban kekerasan seksual harus dilibatkan dalam proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Mazumah.
Tujuan RUU ini adalah terobosan dengan enam elemen kunci. Kalau enam elemen itu dihilangkan, maka tidak ada bedanya dengan UU yang lain.
Anggota JKP3 terdiri dari 45 lembaga di tingkat nasional yang memiliki jaringan dan cabang-cabang di banyak daerah, seperti Asosiasi LBH APIK Indonesia di 16 provinsi, Kelompok Perempuan Pendamping Korban (KePPaK) dan jaringan pendamping di beberapa wilayah, Kalyanamitra, YLBHI, LBH Jakarta, Institut Perempuan, MaPPI Fakultas Hukum UI, dan Yayasan Pulih.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia R Danes menyatakan, selama ini, Kementerian PPPA sudah melibatkan organisasi masyarakat sipil, antara lain dengan mengundangnya di beberapa pertemuan. ”Setelah Lebaran, kami akan mengagendakan lagi pertemuan dengan organisasi masyarakat sipil,” kata Vennetia.