Menakar Potensi Ibu Kota di Pulang Pisau
Kabupaten Pulang Pisau diperhitungkan sebagai calon ibu kota baru. Secara geografis, daerah ini cukup strategis karena berlokasi di pesisir selatan Kalimantan Tengah dan cukup dekat dengan Palangkaraya. Namun bencana banjir dan kebakaran hutan menjadi penghambat pembangunan ibu kota negara baru.
Daerah pemekaran dari Kabupaten Kapuas pada 2002 tersebut ada di bagian selatan Kalimatan Tengah. Daerah ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sisi selatan dan diapit oleh dua kandidat ibukota lainnya yakni Gunung Mas, Katingan dan Kota Palangkaraya.
Berbatasan langsung dengan laut menjadi nilai tambah bagi daerah ini untuk menjadi pusat pemerintahan baru. Adanya pelabuhan baru yang menjadi pintu gerbang wilayah ini dengan Pulau Jawa menjadi modal utama adanya ibu kota baru.
Pada awal pembentukan daerah ini, pelabuhan seluas 58 Ha tersebut akan dikembangkan sebagai pintu gerbang kawasan timur Kalimantan Tengah. Saat ini Pelabuhan Bahaur Pulang Pisau sudah dapat digunakan untuk rute pelayaran Pulang Pisau-Lamongan. Pelabuhan ini menjadi salah satu alternatif pelayaran dengan rute menuju Jawa selain Pelabuhan di Sampit dan Kumai.
Baca juga: Menimbang Pemisahan Fungsi Ibu Kota
Pulang Pisau sudah akrab dengan transportasi sungai. Pada tahun 1970-an, kabupaten ini cukup dikenal karena memiliki pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat transit kapal-kapal pengangkut kayu gelondongan dari dalam dan mancanegara.
Pelabuhan Pulang Pisau tersebut terletak di hilir Sungai Kahayan. Namun seiring dengan mulai berkurangnya jumlah kayu di hutan-hutan Kalimantan Tengah, pelabuhan ini sempat ditinggalkan.
Selain akses jalur pelayaran, daerah ini juga terhubung dengan wilayah lain di Kalimantan melalui jalur Trans Kalimantan. Jalur yang melewati Pulang Pisau merupakan jalur penghubung Kalimantan Tengah yaitu Palangkaraya dan Kalimantan Selatan yaitu Banjarmasin.
Namun, kondisi jalur ini tidak layak. Banyak lubang di jalan yang membahayakan pengguna. Belum lagi jika terjadi banjir, jalan utama ini akan terendam.
Infrastruktur transportasi daerah ini masih membutuhkan perbaikan dan pengembangan jika nanti menjadi ibu kota Indonesia. Pelabuhan Bahaur sudah beroperasi namun masih banyak masyarakat yang belum memanfaatkannya. Di jalur darat, jalan utama yang masih berlubang akan menyulitkan akses daerah jika tidak segera diperbaiki.
Ekonomi
Usaha pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan masih menjadi alat penggerak ekonomi utama di Pulang Pisau. Tahun 2017, sektor primer ini menyumbang 37,22 persen kegiatan ekonomi Pulang Pisau dan merupakan penyumbang terbesar.
Sejak jaman orde baru, Pulang Pisau direncanakan sebagai daerah penghasil produk pertanian melalui proyek pembukaan lahan gambut. Produk pertanian yang menjadi sumber penghidupan masyarakat Pulang Pisau adalah tanaman pangan khususnya padi.
Pada 2018, daerah ini ditargetkan sebagai lumbung beras terbesar di Kalimantan Tengah. Selain itu, juga menjadi daerah penghasil ternak terbanyak di Kalimantan Tengah.
Penggunaan lahan di daerah ini untuk menunjang target daerah lumbung beras terbesar akan diarahkan untuk lahan pertanian berkelanjutan. Bekas lahan gambut dapat menjadi media yang baik untuk kegiatan pertanian.
Apabila pusat pemerintahan dipindahkan ke Pulang Pisau, maka akan ada resiko pembangunan besar-besaran dan perluasan lahan terbangun yang akan menggusur lahan pertanian dan perkebunan, termasuk lahan gambut. Hal ini bisa menjadi pertimbangan penting saat akan memilih lokasi baru ibu kota.
Lahan Sempit
Luas wilayah Pulang Pisau relatif lebih kecil dibandingkan calon pusat pemerintahan baru lainnya seperti Katingan, Gunung Mas, dan Kutai Kartanegara.
Pulang Pisau memiliki luas wilayah 8.997 km2 atau 5,9 persen luas wilayah Kalimantan Tengah. Sementara Katingan dan Gunung Mas memiliki luas wilayah 17.500 km2 dan 10.804 km2.
Dari sisi penyediaan lahan, Pulang Pisau sudah tidak masuk kriteria ibu kota negara yang harus memiliki wilayah luas. Wilayah yang sempit tersebut, sebagian kecil merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Sebangau. Sisanya merupakan lahan gambut, serta pertanian dan perkebunan yang menjadi modal utama lumbung pertanian Kalimantan Tengah.
Pembangunan besar-besaran di wilayah yang “rentan” dalam sektor lingkungan hidup ini akan menyebabkan keberlanjutan lingkungan terganggu. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pulang Pisau tahun 2014 mencatat, perubahan tata guna lahan di lahan gambut dan hutan memang menjadi tantangan utama kabupaten ini.
Resiko Bencana
Hampir sama dengan daerah-daerah lainnya di Kalimantan Tengah, 60 persen wilayah Pulang Pisau terdiri dari area hutan dan lahan gambut. Luasnya area gambut di wilayah ini menjadi perhatian penting bagi pemerintah.
Kawasan gambut ini sempat menjadi proyek “Lahan Gambut Sejuta Hektar” di era Presiden Soeharto pada 1995. Dari 1,45 juta Ha luasan pengembangan lahan gambut sejuta hektar (PLG), 42 persen wilayah Pulang Pisau menjadi bagiannya.
Akibat pembukaan lahan gambut untuk area pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah perencanaan, program ini gagal. Lahan gambut yang dikeringkan menyebabkan kebakaran. Sampai pada kebakaran tahun 2015 yang menyebabkan 574.530 hektar rawa gambut di Kalimantan Tengah hangus, termasuk daerah Pulang Pisau.
Apabila pusat pemerintahan dipindahkan ke Pulang Pisau, maka akan ada resiko menggusur lahan pertanian dan perkebunan, termasuk lahan gambut.
Bencana banjir tahunan juga kerap melanda daerah ini. Penyebab banjir ada beberapa hal. Diantaranya, hujan berintensitas tinggi yang mengakibatkan air rawa di sekitar jalan meluap. Tingginya sedimentasi juga mengakibatkan pendangkalan dan rawan meluap. Selain itu karena lahan di bagian selatan yang terdiri dari pesisir dan rawa menjadi rawan banjir terutama banjir karena pasang air laut.
Kecamatan yang rawan banjir yaitu Kecamatan Kahayan Tengah, Jabiren Raya, Sebangau Kuala, dan Kahayan Kuala. Banjir tersebut melanda jalur trans Kalimantan yang menghubungkan Kota Palangkaraya dengan Kabupaten Gunung Mas, Barito Selatan, sampai ke Kalimantan Barat. Awal Mei lalu, banjir setinggi 30-40cm menggenangi ruas jalan Trans Kalimantan KM 8- KM 10.
Tak hanya bencana banjir dan kebakaran lahan, faktor pencemaran sungai juga harus menjadi pertimbangan utama. Sumber air untuk penduduk Pulang Pisau berasal dari Sungai Kahayan dan air tanah.
Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau yang melintasi Pulang Pisau pada 2013, terindikasi tercemar kategori sedang. Kandungan TSS, BOD, COD, timbal, klorida, dan phenol terdeteksi pada pengujian kualitas air dua sungai ini.
Meski Pulang Pisau unggul dari sisi aksesibilitas transportasi air dan darat. Namun, faktor lahan yang sempit, risiko bencana, pencemaran menjadi kendala terkuat yang perlu digaris-bawahi untuk menjadikan daerah ini sebagai ibu kota negara yang baru.
Di sisi lain, keberadaan kawasan konservasi serta predikat menjadi lumbung pangan Kalteng juga menjadi pertimbangan jika ingin menjadikan Pulang Pisau sebagai lokasi baru ibu kota Indonesia. Bisa jadi, peluang Pulang Pisau untuk menjadi lokasi ibu kota baru sangat kecil bahkan bisa dicoret dari kandidat lokasi ibu kota. (LITBANG KOMPAS)