Menjajal Puasa 16 Jam di Venesia, Italia
Perjalanan liputan ke Venesia, Italia, awal Mei 2019, memberikan kesempatan bagi wartawan Kompas, Ilham Khoiri, untuk mencicipi pengalaman berpuasa dalam dua durasi berbeda. Saat terbang dari Turki ke Venesia, dia menjalani puasa lebih lama, yaitu 16 jam. Ketika pulang dari Istanbul, Turki, ke Jakarta, puasanya lebih pendek, hanya 11 jam. Bagaimana ceritanya?
”Buka puasa di sini pukul 20.30, Mas,” seorang panitia lokal di Paviliun Indonesia di Venice Art Biennale 2019 di Venesia, Italia, menjawab pertanyaan saya. Agak kaget dengan kabar itu, buru-buru saya lihat jam, lantas menghitung dengan jari tangan. Saya pun berguman pelan, ”Hah, berarti saya bakal berpuasa selama 16 jam. Wah, kuat enggak, ya?”
Saat itu baru pukul 18.00 waktu setempat, Kamis (9/5/2019). Kalau di Indonesia, itu jam maghrib, pas waktu berbuka untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tapi, di Venesia, waktu berbuka puasanya masih 2,5 jam lagi. Sadar kalau harus menahan lapar lebih lama, tetiba perut terasa keroncongan.
Melongok di luar ruangan, terlihat matahari masih benderang. Langit di atas sungai di kawasan Arsenale, Venesia, berwarna kekuningan, serasa terang pukul 4 sore di Tanah Air. Bedanya, di kota ini, udara dingin musim semi cukup menusuk. Apalagi, kalau disertai semilir angin. Orang-orang keluar pakai jaket meski tak terlalu tebal.
Panitia tadi melihat saya agak galau. Sambil menunjuk beberapa kue dan kopi di meja, dia bilang, ”Kalau tidak kuat, buka puasa saja sekarang, Mas. Kan, musafir, boleh tidak puasa.”
Di meja Paviliun Indonesia, terhidang tumpeng, jajanan kecil, dan kopi nusantara. Sore itu, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf baru saja membuka Paviliun Indonesia di Venice Art Biennale 2019. Dia memotong tumpeng dan membagikannya kepada seniman yang berkolaborasi menggelar karya seni instalasi berjudul unik, ”Lost Verses: Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”. Banyak tamu undangan datang.
Baca juga: Indonesia untuk Dunia
Agak tergoda juga saya menyaksikan penganan itu. Apalagi, sebagaimana disebut panitia tadi, sebenarnya saya mendapat keringanan (rukhsah) boleh tidak puasa karena sedang bepergian jauh (musafir). Sesuai ajaran Islam, puasa yang saya tinggalkan itu nanti dapat diganti pada hari lain usai bulan Ramadhan.
Namun, saya sudah bertekad untuk menyelesaikan ibadah ini sampai kelar. Saya bilang ke panitia tadi, saya akan berpuasa sekuatnya. Kalaulah nanti lapar tak tertahankan lagi dan mulai terasa mau pingsan, saya akan membatalkan puasa saat itu juga. Tapi, sepanjang masih kuat, saya akan bertahan.
Sambil menunggu waktu berbuka, saya duduk di antara benda-benda seni instalasi yang digelar di ruangan bekas pabrik kapal dari abad ke-15. Ada banyak kabinet dari kaca transparan, satu komidi putar dari kayu, dan ruang merokok yang juga dari kaca transparan. Saya coba masuk ruangan merokok itu, dan mengingat perjalanan dari Indonesia sampai di Venesia, Italia.
Hari kedua puasa
Saya bertolak dari Jakarta ke Italia pada Selasa (7/5/2019). Itu bertepatan dengan hari puasa kedua. Tahun 2019 ini, umat Islam di Indonesia memulai puasa secara serempak, Senin. Menyenangkan melihat tak ada beda awal puasa. Rasanya lebih tenteram.
Saya dijadwalkan berangkat ke Italia bersama beberapa anggota tim juri untuk Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019. Kami dipesankan tiket naik Turkish Airlines nomor penerbangan TK 0057 dengan jadwal berangkat pukul 21.00 WIB. Tidak langsung ke Venesia, perjalanan transit dulu di Turki.
Saya tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, sekitar pukul 17.00. Check in lancar, kelar pas maghrib, sekira pukul 17.47. Saya berbuka puasa di satu rumah makan di Terminal 3 bandara. Cukup ramai. Beberapa orang juga tampak berbuka puasa di sini.
Sampai di ruang tunggu, saya bertemu beberapa anggota tim juri untuk Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019. Ada pematung Dolorosa Sinaga, pengamat budaya Nirwan Dewanto, pengajar budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta St Sunardi, dan Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan Bandung Bambang Sugiharto. Mereka juga sudah check in dan siap terbang.
”Wah, lama juga kita tidak ketemu,” sapa Bambang, seraya menjabat tangan saya dengan hangat.
Selain sebagai narasumber untuk liputan budaya, Bambang juga dosen yang mengajar saat saya ambil program magister di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB).
Bambang salah satu dosen favorit. Saat mengajar, dia gemar tampil informal: berkaus, celana jins, dan sepatu kulit. Meski kuliah berat, filsafat seni, dia selalu punya cara segar untuk membumikan teori filsafat menjadi menu yang renyah untuk dibicarakan. Materinya menjadi segar dan asyik.
Sekitar pukul 20.30, kami masuk pesawat dan pukul 21.00 pesawat lepas landas. Alhamdulillah, keberangkatan lancar sesuai jadwal. Karena >check in terpisah, saya duduk terpisah dari para anggota tim juri. Duduk di sebelah saya, pasangan suami istri asal Italia berusia sekitar 50 tahun. Keduanya sopan. Sepanjang perjalanan, mereka bercakap dalam bahasa Italia. Bahasa itu tidak saya mengerti. Namun, saya senang mendengar intonasi pelafalan kata-katanya yang naik turun dengan tekanan pada konsonan-konsonan tertentu.
Selama sekitar 12 jam perjalanan menuju Turki, penumpang dua kali diberi hidangan makan. Ada beberapa menu pilihan. Makan terakhir disajikan jelang mendarat di bandara internasional Istanbul, sekitar pukul 03.30 waktu setempat. Kebetulan, imsak di negeri itu sekitar pukul 03.50. ”Wah, pas untuk sahur nih,” gumam saya dalam hati.
Menu sahurnya cukup akrab di lidah. Saya pilih gulai ayam dengan nasi, sedikit sayur, roti, dan cokelat. Untuk menghangatkan badan, saya minta teh panas. Seusai makan, tak lupa saya berniat puasa, ”Nawaitu shauma ghodin an adai fardhi syahri ramadhan lillahi ta\'ala... (Saya berniat berpuasa esok hari untuk menjalankan kewajiban Ramadhan karena Allah).”
Sekira pukul 05.00, pesawat mendarat di New Istanbul Airport, Turki. Dari kaca jendela, terlihat suasana masih gelap. Gerimis sedikit menitis. Saya keluarkan jaket untuk mengusir dingin saat keluar dari pesawat.
Seusai pemeriksaan di imigrasi, kami bergegas menuju gate (gerbang) keberangkatan ke Venesia. Sembari menunggu waktu boarding, para anggota tim juri ngobrol santai tentang persiapan pameran Paviliun Indonesia. Semua menghargai langkah Bekraf yang membentuk tim juri untuk memilih seniman yang mewakili Indonesia di Venice Biennale.
Proses semacam ini akan membuat seleksi menjadi lebih terbuka. Semoga tradisi ini dapat dipertahankan untuk partisipasi dua tahun berikutnya dan seterusnya. Jangan sampai ganti pejabat, ganti pula kebijakannya. Selain itu, tim juri berharap agar persiapan pameran Paviliun Indonesia lebih dini sehingga banyak hal dapat ditangani lebih matang dan efisien.
Di tengah mengobrol, ada yang bertanya apakah saya berpuasa. Dengan yakin, saya bilang akan coba berpuasa sekuatnya dalam perjalanan ini. Kalau enggak kuat, ya, nanti mokah (membatalkan puasa sebelum maghrib) saja. ”Puasa di Eropa lebih panjang dan lebih berat, lho. Godaannya juga banyak,” kata Nirwan Dewanto mengingatkan.
Tiba waktu boarding, kami naik pesawat pukul 06.55 waktu setempat. Masih dengan pesawat Turkish Airlines, tetapi lebih kecil. Dari Istanbul, penerbangan bernomor TK-1867 itu langsung ke Venesia.
Di pesawat, ada hidangan makan pagi. Harum nasi dan lauk cukup menggoda. Saya menolak ketika ditawari dan coba menyibukkan diri dengan menonton film animasi Bilal. Film ini diproduksi Barajoun Entertainment dari Uni Emirat Arab. Diputar di Festival Cannes, karya ini mendapat penghargaan sebagai Best Inspiring Movie untuk kategori Animasi.
Ini film menarik, terutama karena sudut pandangnya dari seorang budak kulit hitam yang berjuang melepaskan kungkungan majikannya sehingga menjadi manusia merdeka. Bilal tertarik pada ajaran Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad karena menekankan kedamaian dan penghargaan atas semua manusia.
Bilal tertarik pada ajaran Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad karena menekankan kedamaian dan penghargaan atas semua manusia.
Semua manusia dipandang dan diperlakukan sama, tak ada lagi perbedaan kasta antara budak dan majikan. Kemuliaan manusia tak ditentukan dari warna kulit, baju, atau asalnya, tetapi dari tingkat ketakwaan (komitmen dalam menjalankan ajaran) Tuhan.
Penerbangan hanya sekitar dua jam. Pukul 08.25 waktu setempat, pesawat mendarat di Venice Marco Polo Airport, Venesia, Italia. Petugas pemeriksa imigrasi cukup ramah. Di luar, pagi sudah terang. Ini masih musim semi, tapi matahari bersinar hangat.
Beranjak dari bandara, kami memilih naik bus air Alilaguna menuju Arsenale, lokasi pameran Venice Art Biennale 2019. Kenapa bus air? Karena kami ingin menjajal transportasi umum di atas sungai. Perjalanan satu jam lebih lantaran kapal mesti berhenti di banyak stasiun, seperti Pulau Morano, Nove, Bacini, Lido. Penumpang turun-naik. Mirip bus kota atau kereta kota.
Sepanjang perjalanan, saya melongok-longok pemandangan dari jendela kapal. Tak berlebihan jika Venesia masyhur sebagai kota sungai atau kota yang mengapung. Kota ini memang dibangun di atas sempadan sungai yang membelah-belah 100-an pulau di laguna di ujung barat laut Laut Adriatik.
Menurut beberapa catatan sejarah, fondasi awal bangunan di Venesia mulanya berupa tiang-tiang yang dipancangkan di atas lumpur sungai. Kini, fondasi itu terus diperkuat. Air pasang laut secara berkala masuk kota, bahkan kerap bikin banjir. Dinding bawah bangunan ditumbuhi ganggang dan berlumut. Airnya tergolong payau.
Masyarakat di sini sudah berdamai dengan sungai. Sungai menjadi urat nadi kota. Semua bangunan menghadap ke sungai. Transportasi umum mengandalkan kapal, bus air, taksi air, atau speedboat yang semuanya menggunakan mesin modern. Jika mau manual, boleh pilih gondola, semacam sampan yang dikayuh dengan dayung.
Gondola diminati turis sebagai klangenan. Agak lamban, tapi gondola yang mungil memungkinkan turis menelusuri jalur-jalur sungai kecil sampai ke pelosok. Dari gondola pula, wisatawan bisa menengadah melihat warisan arsitektur klasik yang berdiri gagah di sepanjang jalur. Banyak bangunan warisan masa lalu yang masih lestari. Salah satunya, Basilika San Marco dari abad ke-11, yang kini menjadi semacam alun-alun kota.
Baca juga: Denyut Seni 124 Tahun
Venesia sebagai kota tua dengan jalur-jalur sungai itu telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Semua itu menarik perhatian turis. Setiap tahun, sekitar 30 juta wisatawan blusukan di kota ini.
Sekitar pukul 11.00, kami tiba di Arsenale, kawasan tempat Venice Biennale 2019 digelar. Matahari di atas kepala, sinarnya cukup terik, meski tentu tak sepanas Jakarta yang tropis. Para turis berlalu lalang di jalanan di tepian sungai. Bangunan tua berderet padat. Sebagian bangunan masih menampakkan jejak gaya klasik abad pertengahan dengan ornamentasi rumit.
Banyak bagian depan bangunan itu yang disulap menjadi kafe untuk menjual makanan, terutama berbagai jenis piza, makanan khas Italia. Siang itu, hampir semua kafe dipenuhi pengunjung. Aroma piza menguar di udara. Lapar mulai terasa, tapi segera tersadar bahwa saya sedang berpuasa.
Tak berapa lama menunggu, panitia Paviliun Indonesia, Harry Purwanto, menyambut kami di stasiun Arsenale. Dia tunjukkan hotel untuk para anggota tim juri, lantas mengajak saya ke hotel yang sudah dipesan. Ini tempat penginapan kecil, hanya beberapa lantai, tapi lokasinya strategis. Hanya masuk sedikit dari jalan utama di pinggir sungai.
Berbuka puasa
Saya masih bertahan berpuasa hingga sore, saat mengikuti pembukaan Paviliun Indonesia di Venice Biennale. Percakapan dengan panitia lokal sore itu menyadarkan saya bahwa proses puasa masih berlangsung beberapa jam lagi. Begitu acara kelar dan paviliun mau ditutup, saya bergegas pamit.
Di luar, cuaca makin dingin. Gerimis berubah menjadi hujan deras. Agak lama saya berteduh di ruang pameran internasional Venice Biennale. Beberapa karya sungguh menarik. Seniman Indonesia yang tinggal di Yogyakarta, Handiwirman Saputra, memajang dua karya di sini selain berkolaborasi dengan beberapa seniman lain di Paviliun Indonesia.
Handiwirman sudah beberapa pekan di sini untuk menginstal karya seni. Sejak awal, dia sudah bertekad berpuasa. Untuk sahur, dia masak sendiri dengan bahan-bahan yang akrab untuk lidah Indonesia. Dia tinggal di satu apartemen bersama beberapa seniman dan panitia.
”Enggak enak rasanya kalau enggak puasa. Lebih berat puasa di sini karena lebih lama, tapi sekarang sudah terbiasa,” katanya di sela-sela pameran.
Hujan mereda. Tinggal gerimis yang menitis. Pukul 19.30 waktu setempat, masih sekitar satu jam jelang berbuka. Saya menembus gerimis, menyusuri jalanan pinggiran sungai yang basah. Kepala saya tutupi topi jaket. Setelah berjalan dan melongok kiri kanan, masuk jalan kecil dekat hotel tempat saya menginap, ketemulah sebuah kafe. Cleopatra namanya.
Entah kenapa, tetiba saya merasa cocok untuk berbuka di sini. Mungkin karena namanya yang merujuk penguasa perempuan asal Mesir Kuna, Cleopatra, atau ada sedikit unsur interior berbau Timur Tengah di sini. Yang jelas, saat baca daftar menu, tertera piza dari ikan tuna. Makanan yang tak diragukan kehalalannya.
Masuk ke kafe, seorang pemuda menyambut dengan ramah. Wajahnya ganteng. Pipinya cabi-cabi. Ada sisa berewokan di dagu yang tercukur rapi. Perawakannya sedang: tidak setinggi kebanyakan orang Italia, tapi juga tidak sependek rerata orang Asia. Saya merasa, dia tidak sepenuhnya berdarah Italia.
Pemuda tadi menyodorkan daftar menu. Saya susur kembali daftar yang sudah saya intip di luar tadi. Sambil menunjuk, saya bilang, mau piza ikan tuna, lalu cokelat hangat, juga air mineral. ”Ini halal, kan?” saya bertanya. ”Ya, halal,” jawabnya ringkas.
”Bisakah menu itu disajikan pas saat berbuka puasa?” saya meminta.
”Tentu saja bisa. Wah, rupanya Anda berpuasa. Saya juga berpuasa.” Dia menjawab lagi. Kali ini, dengan mata lebih berbinar.
”Oh, Anda orang Italia dan berpuasa.” Saya agak kaget merespons.
”Ya, saya selalu berpuasa. Ibu saya asli Venesia, ayah dari Mesir.” Dia menceritakan asal-usulnya sambil tersenyum lebar.
Dalam hati saya bergumam. Pantas saja, saya merasa dia tak sepenuhnya Italia. Rupanya ada darah Mesir mengalir dalam tubuhnya. Percampuran darah antara Italia dan Mesir menghasilkan paduan yang unik.
Lalu, saya coba tanya dalam bahasa Arab, kapan buka puasa di sini. ”Fi ayyi sa\'ah nafthur huna?”
Dia bilang, ”Nahnu nafthur fi sa\'ah as-tsanimah wa nishf lailan (Kami berbuka puasa pukul 8.30 malam).”
Dia bilang, kalau pas musim panas (summer), waktu puasa di Italia akan lebih lama, yaitu 17 sampai 18 jam. Masyarakat Muslim di sini sudah terbiasa.
Obrolan berlanjut kian akrab dalam bahasa Arab. Dia penasaran, bagaimana saya belajar bahasa Arab. Saya ceritakan, saya belajar di madrasah tingkat dasar, menengah, dan atas di Indonesia. Semuanya punya mata pelajaran bahasa Arab.
Dia mengaku tidak terlalu sering menyambangi kampung halaman ayahnya. Dalam setahun, biasanya dia pulang sekali, sekira sebulan atau dua bulan, lantas balik lagi ke Venesia, bekerja di kafe ini.
Percakapan itu lumayan mengurangi rasa lapar yang mendera sejak sore tadi. Sambil bersandar di kursi, saya melongok ke luar. Gerimis masih belum berhenti. Orang-orang masih berlalu lalang.
Saya periksa waktu di telepon genggam. Sebentar lagi berbuka. Waktu di Indonesia pukul 01.30 atau lima jam lebih cepat dari waktu Italia.
Beberapa menit jelang waktu buka, pemuda tadi mengantar pesanan. Piza, cokelat hangat, dan air putih. Tetiba, dia menyodorkan segelas minuman tambahan yang tak dipesan. Katanya, ”Ini hadiah untuk Anda yang berpuasa. Selamat berbuka.”
Ini hadiah untuk Anda yang berpuasa. Selamat berbuka.
Saya tanya, apa ini? Dia jelaskan, minuman itu khas Mesir. Dibuat dari campuran beberapa biji kurma, parutan kelapa, susu, dan pemanis. Orang-orang Mesir menyeruput minuman ini sebelum makanan utama.
Tiba saat berbuka, saya coba minuman itu. Rasanya manis-manis gurih. Seger sebagai pembuka ifthar. Saya bilang terima kasih atas hadiahnya, ”Alhamdulillah, syukran ala al-hadiyah.”
Baca juga: Menikmati India dalam Wajah Berbeda
Pemuda itu masuk ke ruangan lain, juga untuk berbuka. Saya lanjutkan makan sendirian. Pelan-pelan saja biar perut tidak kaget setelah puasa selama 16 jam. Imsak di Italia sekitar pukul 04.00, maghrib pukul 20.30.
Ini lebih lama empat jam dari kebiasaan waktu puasa di Indonesia yang hanya 13 jam. Imsak di Tanah Air lazimnya sekitar pukul 4.30 pagi, dan maghrib pukul 17.47.
Sekadar perbandingan, waktu puasa di sejumlah negara memang berbeda. Kenapa demikian? Karena waktu puasa berpatokan sejak subuh, saat matahari terbit pagi, sampai matahari terbenam sore. Nah, durasi matahari di tiap-tiap negara berbeda-beda, dan juga dipengaruhi musim.
Di Australia, misalnya, puasa berlangsung sekitar 12 jam. Ini lebih pendek ketimbang puasa di Indonesia yang 13 jam. Puasa terlama dapat terjadi di Greenland, sepanjang 19 jam lebih. Di Rusia sekitar 18 jam. Di Italia sekitar 16 jam.
Seusai makan, saya bayar dan pamitan. Pemuda tadi mengantar dan membukakan pintu. Dari situ, tampak sungai masih sibuk. Satu-dua kapal masih melintas.
Saya bergegas kembali ke hotel dengan menenteng separuh piza yang tak habis disantap. Saya menyesal tidak menanyakan nama pemuda tadi. Mungkin lantaran saya terlalu antusias mengobrol sampai akhirnya kelupaan bertukar kartu nama. Bahkan, foto pun tak kepikiran. Sayang sekali.
Sahur roti
Tiba di hotel, saya bilang bahwa saya puasa dan akan sahur. ”Apakah mungkin sarapan dihidangkan di kamar pukul 3 dini hari?” pinta saya kepada petugas yang berjaga.
Petugas minta maaf karena tak bisa memenuhi permintaan itu. Jam segitu sarapan belum siap. ”Tapi, saya akan siapkan dan antarkan roti ke kamar Anda malam ini. Terserah, Anda mau makan jam berapa,” katanya dengan ramah. Saya setuju.
Saya tidur setelah memasang alarm pukul 03.00. Benar saja, jam segitu, petugas hotel tadi mengantar beberapa jenis roti, susu, mentega, dan selai. Di kamar sudah ada kopi, teh, dan alat pemanas air. Dini hari itu, saya sahur dengan roti, beberapa potong piza sisa sore tadi, dan secangkir teh hangat.
Selama dua hari puasa di sini, semua berjalan lancar. Saya tetap bisa menjalankan tugas liputan di Venice Biennale yang digelar di dua tempat, yaitu Arsenale dan Giardini. Arsenale adalah area pergudangan kapal dari abad ke-15. Giardini merupakan taman terbuka yang dipenuhi galeri seni. Keduanya berdekatan, bisa ditempuh dengan jalan kaki menyusuri tepian sungai selama sekitar 15 menit.
Saat liputan, saya berusaha hemat energi agar tidak cepat lapar dan haus. Sebelum menyusuri galeri, saya cermati betul peta lokasi pameran. Dengan begitu, saya bisa atur jalur yang efisien sehingga tidak berputar-putar. Ini penting karena ini pameran besar. Total ada 79 seniman undangan internasional dan lebih banyak lagi seniman pilihan negara dari 90 paviliun nasional yang menggelar karyanya di ajang ini.
Di Paviliun Mesir, ada seniman bernama Islam Abdullah. Dia tiba di Venesia sejak sebelum puasa untuk menata instalasi. Sambil pameran, dia juga mengatakan tetap berpuasa meski lebih panjang dari puasa di negerinya.
”Anda diuji lebih berat untuk puasa di sini. Saya tak pernah menghitung jam karena itu akan membuat saya terus terpikir waktu berbuka,” katanya.
Ujian buat saya benar-benar datang pada hari ketiga, Sabtu (11/5/2019). Karena Jumat malam saya banyak jalan hingga larut, saya tidak terbangun saat waktu sahur. Bunyi keras alarm dari telepon genggam tidak menggoyahkan tidur yang lelap. Saya baru terbangun sekitar pukul 6 pagi. Menerawang dari jendela, langit benderang. Saya menimbang-nimbang. Dengan sahur saja, puasa 16 jam di Venesia lumayan berat. Bagaimana kalau tidak bermodal sahur sama sekali? Saya pun memutuskan untuk tidak berpuasa hari itu.
Sekira pukul 08.00, saya turun dari kamar, menuju ruang makan hotel. Saya menikmati sarapan pagi itu. Tak lupa saya pesan kopi cappuccino, yang langsung dibikinkan oleh orang Italia. Rasanya memang berbeda.
Puasa lebih pendek
Terbalik dengan puasa panjang saat perjalanan pergi, saya justru mencicipi puasa lebih pendek saat kembali ke Indonesia. Pengalaman ini juga memberikan sensasi yang unik.
Sabtu (11/5/2019), saya bertolak dari Venice Marco Polo Airport, Venesia, pukul 20.25 waktu setempat, menuju Istanbul, Turki. Sama dengan saat berangkat, kami juga naik pesawat Turkish Airlines. Kali ini bernomor penerbangan TK 1870. Anggota rombongan sama dengan saat berangkat dari Jakarta.
Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami tiba di bandara internasional Istanbul, Turki, sekitar pukul 23.50 waktu setempat. Di bandara ini, kami transit selama sekitar 2,5 jam. Kami bertemu dengan banyak jemaah umrah asal Indonesia yang hendak pulang dari Arab Saudi lewat Istanbul. Mereka umumnya berseragam. Umrah saat Ramadhan banyak diminati karena dianggap lebih khusyuk. Obrolan dalam bahasa Indonesia mengalun di udara.
Minggu (12/5/2019) sekitar pukul 02.20 waktu setempat, kami bertolak dari Istanbul ke Jakarta dengan Turkish Airlines bernomor penerbangan TK 56. Kami disajikan dua kali makan. Salah satu sajian sekitar pukul 03.30. Saya lupa memeriksa, persisnya jam segitu kami berada di atas negara mana. Yang jelas, dari kaca jendela, langit masih gelap gulita. Belum terlihat semburat merah tanda fajar.
Untuk makan dini hari itu, saya pilih menu daging sapi rendang, sayur, dan nasi. Ada juga roti hangat, mentega, dan selai. Meski rasanya tidak persis nasi padang, menu ini cukup bersahabat di lidah. Tak lupa, saya akhiri dengan air putih. Ini langsung saya niatkan sebagai sahur.
Perut kenyang, masih segar, saya coba menonton beberapa film laga lama yang terlewat di bioskop. The Legend of Tarzan (2016) dan Black Panther (2018) lumayan menghibur. Sebagaimana umumnya film laga, adegan demi adegan mudah dinikmati, tetapi juga segera mudah dilupakan. Bosan dengan aksi orang berantem, saya lantas menghanyutkan diri dengan mendengarkan musik jazz. Saya pun tertidur.
Sebenarnya perjalanan berlangsung sekitar 12 jam. Namun, karena ada beda waktu empat jam antara Turki dan Jakarta dan perjalanan ke arah timur, waktu seolah berjalan lebih cepat. Begitu pula durasi puasa.
Kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, pukul 18.00 WIB. Ini pas waktu maghrib alias buka puasa untuk Jakarta dan sekitarnya. Jadi, kali ini saya berpuasa hanya 11 jam.
Sambil naik taksi dari bandara ke rumah, saya berbuka dengan minum air. Karena belum terlalu lapar, saya tidak langsung makan berat. Saya menikmati perbedaan suasana antara Venesia, kota sungai yang tertata indah, dan Jakarta, ibu kota Indonesia yang masih saja semrawut.
Jika di Venesia sungai jadi urat nadi kehidupan, di Jakarta sungai menjadi urat nadi bencana. Di sini, sungai kurang dihargai. Rumah-rumah memunggunginya. Sungai menjadi tempat membuang berbagai limbah. Airnya hitam, berbau menyengat. Belum lagi sempadan sungai yang dijajah dan dirangsek oleh berbagai bangunan dan rumah. Sama sekali tak indah dipandang.
Sebagian besar orang cenderung hanya tergugah untuk memelihara sungai ketika banjir menerpa. Namun, selepas banjir mereda, pemeliharaan sungai biasanya kembali tenggelam oleh hiruk-pikuk isu politik praktis yang lebih heboh. Program itu baru diingat kembali pada siklus banjir berikutnya. Tapi kemudian terlupakan dan terlupakan lagi.
Baca juga: Kisah Fotografer ”Kompas” Memotret Kerusuhan hingga Motor yang Dirusak
Sebenarnya sudah banyak ahli yang mengingatkan. Kalau ingin mengubah Jakarta menjadi lebih ramah pada sungai, perlu revolusi yang radikal di semua lini. Semua pemangku kepentingan hendaknya sadar dan mau bekerja keras untuk menjaga sungai sebagai sumber kehidupan. Ini mesti menjadi gerakan semesta. Tapi siapa yang akan memulai aksinya, dari mana, dan bagaimana caranya?
Taksi terus meluncur, saya terus merenung. Tak terasa, taksi sudah tiba di depan rumah di kawasan Tangerang Selatan, Banten. Istri dan anak-anak menyambut. Mereka bertanya, apakah saya sudah berbuka? Saya bilang belum karena memang belum terlalu lapar.
Saya lantas disuguhi menu yang saya pesan sejak dalam perjalanan dari Italia ke Jakarta: nasi putih, sayur asem, dan ikan gurami goreng. Pelan-pelan saya makan. Seraya menikmati menu lokal yang segar nikmat itu, saya mengucap syukur dalam hati karena berkesempatan mencicipi berpuasa selama 16 jam di Venesia, juga puasa yang lebih pendek 11 jam dalam perjalanan pulang Istanbul-Jakarta.