Gagal Bentuk Pemerintahan, Netanyahu Pilih Opsi Pemilu Lagi
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JERUSALEM, JUMAT – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dihadapkan pada salah satu kekalahan dalam karier politiknya setelah gagal membentuk koalisi hasil pemilu 9 April lalu. Ia memilih menggelar kembali pemilu, yang dijadwalkan pada 17 September mendatang. Pada Kamis (30/5/2019) kemarin, para anggota parlemen membubarkan parlemen.
Kegagalan Netanyahu membentuk koalisi pemerintahan terjadi pada tenggat yang sudah ditetapkan, yakni Rabu (29/5/2019) tengah malam, saat ia tidak bisa meyakinkan mantan Menteri Pertahanan Avignor Lieberman untuk bergabung dengan pemerintahannya. Akibatnya, Netanyahu terpaksa memilih rencana B dan menggelar voting di parlemen untuk menggelar pemilu baru.
Opsi ini kemudian disetujui ketika tenggat waktu membentuk pemerintahan koalisi pada Kamis dini hari terlewati. Sebagian anggota parlemen meneriakkan, "Memalukan!”. Dengan opsi ini, Netanyahu mencegah opsi dan skenario lain, yakni Presiden Israel Reuven Rivlin menunjuk orang lain untuk membentuk pemerintahan.
"Kami akan menang," kata Netanyahu (69), Ketua Partai Likud yang berhaluan sayap kanan itu setelah parlemen menyatakan bahwa tenggat waktu bagi Netanyahu membentuk pemerintahan kelimanya sudah habis.
Di barisan kursi partai Likud, Netanyahu terlihat gugup saat voting parlemen berlangsung. Tak satu pun anggota parlemen dari Likud melambaikan tangan sebagai isyarat mendukung keinginan Netanyahu menggelar pemilu. Sejumlah komentator menyebut ada pemberontakan di internal Likud, menit-menit akhir.
Sejumlah analis melihat, ketidakmampuan Netanyahu membentuk koalisi menunjukkan bahwa karier panjangnya di panggung politik Israel mungkin melemah. Para lawan politiknya juga melihat Netanyahu akan jatuh tidak lama lagi karena tuduhan tiga kasus korupsi.
“Netanyahu adalah seorang dengan sosok yang kuat. Dia bukanlah seseorang yang menyerah dengan mudah, tetapi pasti ini bisa juga menjadi sinyalemen permulaan dari akhir kariernya,” kata Abraham Diskin, pengajar ilmu politik di Hebrew University.
"Ia akan melawan. Namun, tentu dia tidak lagi sekuat seperti dulu.”
Sejumlah analis melihat, ketidakmampuan Netanyahu membentuk koalisi menunjukkan bahwa karier panjangnya di panggung politik Israel mungkin melemah.
Hanya dalam hitungan minggu, kehidupan Netanyahu telah berubah drastis: dari perayaan kemenangan menjadi ketegangan. Bagi perdana menteri berusia 69 tahun itu pertaruhannya mungkin lebih tinggi dari sekadar bisa kembali berkuasa atau tidak. Pertaruhan lainnya adalah kemungkinan dia menghadapi dakwaan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan dalam beberapa bulan ke depan. Netanyahu dilaporkan saat ini mencari cara melalui parlemen agar ia mendapat kekebalan dan jerat dakwaan hukum
Pada Juli mendatang, Netanyahu akan menjadi perdana menteri terlama, melampaui pendiri Israel, David Ben-Gurion. Netanyahu sangat sadar akan tonggak sejarah yang bisa ukir tersebut.
Ganjalan dari Lieberman
Partai nasionalis Yisrael Beitenu pimpinan Lieberman yang memiliki lima kursi di parlemen cukup untuk menjadi ganjalan bagi Netanyahu. Lieberman ingin agar undang-undangan yang ia dukung disetujui tanpa perubahan. Undang-undang itu mewajibkan kaum Yahudi ultra-ortodoks wajib menjalani wajib militer, seperti warga Yahudi Israel lainnya.
Masalah tersebut sangat sensitif di Israel. Undang-undang itu ditentang oleh partai-partai ultra-ortodoks yang menguasai 16 kursi di parlemen dan menjadi bagian penting dari koalisi Netanyahu.
Netanyahu kemudian menyalahkan Lieberman setelah penentuan suara di parlemen. Ia menuduh Lieberman “tidak memiliki niat mencapai kesepakatan dan hanya ingin menjatuhkan pemerintah.”
“Kita akan memiliki kampanye pemilihan yang jelas dan kuat serta memenanginya,” kata Netanyahu.
Berulang kali Leiberman menggambarkan penolakannya bergabung dengan koalisi sebagai sebuah prinsip. Ia telah lama menyuarakan isu ini dan menentang semua upaya kelompok ultra-Ortodok yang memaksakan pembatasan agama pada masyarakat Israel secara umum.
"Kami ingin pemerintahan nasionalis dan sayap kanan, bukan pemerintahan relijius,” tegasnya dalam jumpa pers, Kamis (30/5/2019). “Orang Israel muak dengan menyerah di hadapan ultraortodoks.”
Oposisi utama Biru dan Putih, aliansi yang melibatkan beberapa purnawirawan petinggi militer menyatakan, kesepakatan dengan Likud akan mungkin terjadi jika Netanyahu mengizinkan orang dari aliansi mereka membentuk pemerintahan. Para pemimpin kelompok Biru dan Putih mengatakan, mereka tidak bisa bergabung dengan pemerintahan pimpinan Netanyahu yang menghadapi tuduhan korupsi.