Pemahaman Islam yang Eksklusif Merambah Kaum Terpelajar Indonesia
JAKARTA, KOMPAS - Pemahaman Islam yang eksklusif diterima sebagian kaum terpelajar Indonesia. Gelombang gerakan islamisasi yang eksklusif ini berada dalam palagan budaya populer dan ditandai dengan semakin tumpulnya cara berpikir kosmopolitan. Dibutuhkan diskursus tandingan untuk menangkal paham yang bersifat transnasional itu.
Lembaga penelitian Setara Institute dalam diseminasi hasil penelitian bertajuk "Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di Perguruan Tinggi Negeri (PTN)", Jumat (31/5/2019), di Jakarta, menyatakan, wacana Islam eksklusif bernaung di kampus negeri yang notabene menjadi representasi Indonesia mini.
Subyek penelitian yang diadakan Setara Institute tahun 2019 ini adalah 10 PTN yang ada di Indonesia, di antaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Penelitian melibatkan akademisi yang berada di 10 kampus tersebut. Hadir sebagai pembicara Direktur Riset Setara Institute Halili, peneliti UIN Jakarta Iif Fikriyati Ihsani, Peneliti UI Ade Armando, Peneliti IPB Eko Cahyono, dan Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos.
Halili menjelaskan, penelitian dengan metode kualitatif ini ingin membuktikan dua hal, yakni kesempatan struktural (structural opportunity) dan lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) bagi gerakan Islam eksklusif di PTN. Menurutnya, dunia pendidikan merupakan lokus strategis bagi ideologi kontra-Pancasila untuk menanamkan pengaruhnya.
Penelitian ini menghasilkan 14 poin penting yang harus dijadikan catatan. Beberapa poin itu, antara lain kegiatan keislaman di PTN bersifat monolitik, homogen, dan tidak mengakomodasi kelompok lain di luar kelompoknya. Kelompok tarbiyah dan eks-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi aktor utama gerakan ini.
Selanjutnya, penelitian juga mengonfirmasi bahwa menguatnya gerakan ini disebabkan oleh minimnya wacana tandingan dari kalangan gerakan Islam moderat, seperti kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Di UIN Jakarta, Iif Fikriyati Ihsani, mewawancarai 30 mahasiswa untuk membuktikan tiga narasi yang membangun kesetiaan transnasionalisme sebagaimana teori Alex P Schmid. Teori ini diturunkan ke dalam tiga poin, yaitu Islam murni, persatuan Muslim, dan emigrasi (hijrah).
Sebanyak 62 persen responden mengaku tertarik dengan persatuan Muslim. Persatuan Muslim dimaknai sebagai kewajiban umat Islam untuk bersatu di bawah satu pemimpin.
Hal ini sejalan dengan berubahnya kultur di kampus itu. UIN yang dulu dikenal sebagai komunitas desa, kini berubah menjadi komunitas kota, yang diisi oleh para individualis. Komunitas kota hadir sebagai konsekuensi cikal mahasiswa UIN yang didominasi lulusan SMA, tidak lagi pesantren.
Sementara Eko Cahyono menerangkan, di IPB, wacana keislaman masih timpang dan cenderung bersifat intoleran. Kelompok ini kurang simpatik terhadap mahasiswi yang berada di luar Islam.
Pejabat teras IPB mencoba mengatasi hal itu dengan menelurkan sejumlah kebijakan, antara lain menyediakan fasilitas beribadah bagi agama lain. Kegiatan Islam eksklusif yang tersebar di beberapa titik di sekitar kampus, dijadikan terpusat di masjid.
Meski tidak sekuat di IPB, gerakan keagamaan yang ekslusif juga terasa di UI. Menurut Ade Armando, gerakan ini dimotori oleh kelompok Islam Tarbiyah.
Ade mendefinisikan tarbiyah sebagai gerakan yang menitikberatkan pendekatan kultural untuk membangun sebuah gerakan yang patuh pada aturan Tuhan dan kitab suci. Dalam praktiknya, kata Ade, gerakan ini berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera.
Semua pembicara sepakat bahwa harus ada gerakan tandingan sebagai kontra-aksi dari gerakan Islam yang eksklusif ini. Hal itu bisa dilakukan dengan menguatkan organisasi keagamaan moderat dan menumbuhkembangkan organisasi dalam kampus yang berbasis hobi. Mereka semua menempatkan gerakan islamis ini sebagai pertarungan ideologi.
"Dan tidak boleh ditangani secara represif," tegas Halili.
Sosiolog Ariel Heryanto dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan (2015) menyatakan, gerakan islamisasi lebih dari sekedar berkembangnya politik Islam, seperti yang sering muncul dalam diskusi Indonesia kontemporer. Prosesnya melibatkan banyak aktor dan kelompok Muslim yang belum tentu bersetuju dalam banyak hal. Selain motif perluasan praktik agama, islamisasi juga didorong oleh sesuatu yang tak memiliki motivasi religius, seperti ekspansi kapitalisme global dalam barang dan jasa, serta politik pasca otoritarian.
"Ciri khasnya adalah terjadi perluasan yang besar-besaran terhadap unsur material dan praktik-praktik yang mudah dipahami dalam masyarakat Indonesia sebagai mengandung nilai islami atau yang \'terislamkan\'," tulis Ariel.
Islamisasi menjadi ciri paling mencolok yang mewarnai dekade pertama Indonesia sesudah Orde Baru (1966-1998) atau Reformasi. Pada masa ini, terjadi kekosongan hegemonik kekuasaan yang sebelumnya begitu ketat mengatur masyarakat.
"Ada ledakan emosi dan energi yang berhamburan setelah periode panjang ketertiban yang dipaksakan lewat ketakutan dan penampilan berpura-pura patuh di permukaan," katanya.
Kebangkitan islamisasi itu berada dalam gelanggang budaya populer. Ariel menjelaskan budaya populer sebagai suatu karya atau perilaku sosial yang mudah diakses dan langsung menarik perhatian banyak orang. Kelompok terpapar kebanyakan merupakan kelas menengah yang tinggal di wilayah urban dan kawasan industri.
Banyak pengamat, kata Ariel, yang berbeda pendapat ihwal kebangkitan islamisasi dalam ranah budaya populer ini. Kebanyakan mereka menjelaskan ini sebagai kasus komersialisasi kaum Muslim dan komodifikasi simbol-simbol agama. Ada pula yang meletakkan kebangkitan islamisasi itu dalam pertentangan antara ketakwaan moral berbasis agama dan daya rusak industri hiburan.
Kosmopolitanisme
Menurut Ariel, Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayaan, tetapi juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang. Ini merupakan hasil dari persaingan dan perdebatan dari orang-orang yang berpikir secara kosmopolitan.
Namun, sejak pertengahan abad lampau, kosmopolitanisme dihapus oleh sejarah resmi dan tercoret dalam ingatan bersama.
Sekarang, sisa keragaman dan kosmopolitanisme ini menjadi sasaran serangan kelompok modernis yang sedang bersaing. Dan, semuanya berusaha memaksakan batasan sempit mengenai makna menjadi Indonesia.