Harapan Nyata pada Kaki-kaki Lincah Maleo
Hingga akhir 2018, 13 desa di sekitar TNBNW dibina mengembangkan ekowisata. Ekosistem wisata dibentuk, mulai dari pemandu, kelompok kuliner, homestay, hingga oleh-oleh.
Di satu titik pengamatan di area peletakan telur Suaka Maleo Tambun, Rabu (22/5/2019), sepasang maleo (Megacephalon maleo) bergerak lincah. Sekejap saja keduanya menghilang di kerapatan pepohonan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dalam senyap pagi.
Tampaknya maleo itu mencari tempat menggali lubang di tanah. ”Kalau mau bertelur, selalu datang berpasangan,” bisik Max Welly Lela, Kepala Resort Dumoga Timur-Lolayan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang mengelola suaka seluas 4,5 hektar ini.
Menggali lubang, bertelur, dan mengubur adalah tugas terakhir pasangan maleo. Telur harus pada rentang suhu 32-37 derajat celsius. Setiap masa bertelur, satu butir dihasilkan. Suaka Maleo Tambun juga sumber mata air panas. Telur maleo dikubur 30 sentimeter. Di lokasi yang cenderung dingin, induk maleo bisa menggali hingga 1,5 meter. ”Entah bagaimana, induk maleo bisa mengetahui kehangatan yang pas untuk telur,” kata Max.
Anak maleo akan keluar dari cangkang setelah 80 hari di dalam tanah. Selama itu pula, telur menghadapi ancaman predator alami, ular dan biawak, yang memangsa kapan saja. Telur menetas, bukan berarti maleo mungil aman. Elang mengintai di langit. Beda dengan anak ayam yang mengekor induknya, anak maleo menghadapi alam sendirian sehingga menjadi satwa soliter.
Demi keamanan, Max dan tim Suaka Maleo Tambun menyiapkan kandang khusus penetasan. Telur menetas, anak maleo dipindah ke kandang lain dan dirawat 2-3 bulan. ”Dalam rentang waktu tersebut, burung maleo cukup kuat bertahan hidup. Kami tambahkan dedaunan dan kayu-kayu agar kandang serupa keadaan alam sesungguhnya sehingga keliaran terjaga,” ujar Max.
Max dan timnya bisa mengumpulkan 7-10 telur setiap hari. Dengan asumsi maleo adalah hewan monogami yang rutin bertelur, Max optimistis ada cukup maleo di area TNBNW. ”Sejak 2000, saya sudah menyaksikan penetasan 4.000 telur di Tambun,” ujar Max.
Tidak jelas berapa jumlah maleo di Sulawesi Utara. Namun, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 16.170 maleo ditetaskan dan dilepasliarkan sejak 2001 hingga Maret 2019 ke hutan TNBNW seluas 282.000 hektar. Sebanyak 20 ekor lain dilepas Rabu siang itu. Butuh upaya besar menetaskan belasan ribu telur. Tahun 2000-an, perdagangan telur maleo marak di pasar tradisional Bolaang Mongondow.
Kini, upaya konservasi tidak main-main. Kepala Seksi Pengelola Taman Nasional (SPTN) Wilayah II TNBNW Agung Triono mengatakan, Rp 1,6 miliar digelontorkan sejak 2016 untuk membangun pusat data, kandang, pagar, dan infrastruktur lain. Biaya operasional, perawatan, dan pakan bisa Rp 100 juta per tahun.
Perlahan, suaka maleo tidak hanya menjadi pusat pelestarian keragaman hayati, tetapi juga destinasi pencinta dan pengamat burung. ”Sejak ada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 (tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam), kami bisa mengembangkan ekowisata di suaka maleo,” kata Agung.
Potensi terlewat
Bolaang Mongondow pun diuntungkan. Apalagi, dari seluruh luas TNBNW, 177.000 hektar membentang hanya di kabupaten itu. Areanya mencakup dua suaka maleo di Tambun dan Muara Pusian. Namun, pemda tak mengarahkan pembangunan wisata ke sana. Maleo yang ikonik sekadar ada.
”Para birdwatcher sudah punya jadwal berkunjung dalam setahun sejak saya bekerja di sini pada 1984. Namun, tidak ada langkah nyata pemerintah kabupaten mengembangkan pariwisata,” kata Max.
Kepala Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow Ulfa Paputungan yang Rabu siang ikut melepasliarkan anak maleo menyatakan, Bolaang Mongondow belum punya ikon pariwisata yang kuat. Suaka maleo pun belum menjadi destinasi wisata prioritas. Pemkab fokus pada pengembangan Pulau Tiga di pesisir utara kabupaten.
”Namun, sesuai rencana induk pengembangan pariwisata daerah, tiga lokasi utama akan dikembangkan, yaitu pengembangan maleo di TNBNW, Pulau Tiga, dan wisata tanaman hortikultura. Maleo ini bisa menjadi ikon,” kata Ulfa.
Ulfa belum tahu pasti potensi jumlah wisatawan di Suaka Maleo Tambun. ”Perkiraan petugas 40-50 wisatawan per hari. Saya akan laporkan kepada Bupati (Yasti Supredjo Mokoagow) agar maleo bisa menjadi brand wisata kami,” kata Ulfa. Memang, suaka maleo di Bolaang Mongondow, seperti Suaka Maleo Tambun di Muara Pusian, Dumoga Barat, ada di bawah KLHK. Potensi pemasukan per tahun Rp 90 juta masuk kas nasional. Di Pulau Tiga, masuk ke kabupaten.
Libatkan masyarakat
Saat pemkab gagap bersikap, masyarakat menyadari potensi pariwisata maleo. Misalnya, kelompok usaha Maleo Leosan dari Desa Pinonobatuan. Atas bimbingan dan dana SPTN II TNBNW dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS), yang ada di bawah Program Pembangunan PBB (UNDP), mereka membuat oleh-oleh gantungan kunci dan boneka burung maleo.
Potensi wisata maleo juga direspons dengan membuat kelompok usaha kuliner, homestay, dan pelatihan pemandu wisata. Semua didorong TNBNW demi relasi positif warga dengan area konservasi.
Menurut Agung Triono, di Dumoga Timur, kecamatan dua suaka maleo, area hutan konservasi TNBNW langsung berbatasan dengan area penggunaan lain (APL) masyarakat, seperti perkebunan dan tambang. Akibatnya, kerap ada perambahan.
”Tugas pokok dan fungsi kami sebenarnya konservasi. Namun, karena cakupan area luas sekali, kami tidak bisa sendirian. Pelibatan masyarakat dengan mengubah merambah hutan ke kegiatan ekonomi lain. Salah satunya mengembangkan ekowisata,” katanya. Upaya konservasi maleo dan habitatnya diyakini berhasil jika masyarakat paham. Warga desa dilatih menjadi pemandu dan pengelola wisata.
Dengan begitu, alam memberi manfaat ekonomi bagi warga. ”Tujuan besar kami menjadikan masyarakat pengelola wisata keberadaan maleo. Karena itu, mereka harus juga menjadi subyek konservasi, harus dilibatkan dalam perencanaan dan eksekusinya,” ujar Agung.
Hingga akhir 2018, 13 desa di sekitar TNBNW dibina mengembangkan ekowisata. Ekosistem wisata dibentuk, mulai dari pemandu, kelompok kuliner, homestay, hingga oleh-oleh. Menurut Agung, lembaga seperti dinas pariwisata serta dinas koperasi dan UMKM perlu berkolaborasi mengembangkan apa yang dimulai TNBNW.
”Tantangannya perbedaan perspektif pariwisata. Kami ingin jadi ecotourism, tetapi perspektif pemerintah mass tourism. Maleo memang jadi daya tarik, tetapi daya tahan alam perlu dijaga. Jangan sampai seperti terumbu karang di Taman Laut Bunaken (Manado) yang rusak karena kunjungan berlebihan,” kata Agung.
Maleo tidak hanya unik, tetapi juga kisah satwa endemik Sulawesi. Jika pemerintah serius, kesejahteraan masyarakat pun terungkit.