Kawasan perkotaan memerlukan sistem penyediaan hunian massal terpadu. Untuk itu, pemerintah perlu menjalin kerja sama dengan banyak pihak agar pembangunan hunian massal tersebut bisa terealisasi.
Sistem penyediaan hunian massal itu merupakan solusi atas kebutuhan hunian dengan harga terjangkau.
Sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid, pemerintah ingin meningkatkan pasokan rumah bagi masyarakat. Setiap tahun, diperkirakan ada kebutuhan 800.000 unit rumah. Adapun angka kekurangan rumah sekitar 11,4 juta unit.
“Selain skema rumah subsidi, nantinya juga ada BP Tapera untuk pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Khalawi, Kamis (30/5/2019), di Jakarta.
Namun, skema pembiayaan rumah subsidi tersebut perlu didukung upaya lain. Salah satunya, dengan skema pembangunan rumah berbasis komunitas, seperti yang dilakukan para pemangkas rambut di Garut, Jawa Barat. Melalui skema tersebut, kelompok pekerja informal dapat memiliki rumah subsidi. Saat ini ada 13 kabupaten/kota yang mengajukan program serupa dengan lahan yang telah tersedia.
Adapun angka kekurangan rumah sekitar 11,4 juta unit.
Pemerintah, lanjut Khalawi, sedang mempelajari mekanisme penyediaan hunian rakyat yang terjangkau. Mekanisme ini telah dilaksanakan di negara-negara lain, yang diharapkan bisa diadopsi di Indonesia. Konsep yang sudah dipelajari antara lain di Singapura dan dalam waktu dekat akan mempelajari konsep di Korea Selatan.
Sejumlah hal yang dipelajari, antara lain, sumber pembiayaan dan mekanisme pengelolaan hunian secara sewa. Sumber pendanaan bisa sepenuhnya dari pemerintah atau bekerja sama dengan swasta.
Kawasan industri
Terkait kebutuhan hunian di kawasan industri yang mendesak, Khalawi menuturkan, saat ini PUPR sedang menjajaki kerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dalam penyediaan hunian sewa bagi pekerja. Hunian sewa dinilai paling sesuai karena mayoritas pekerja kembali ke tempat asal mereka setelah tidak bekerja lagi.
Akan tetapi, penyediaan hunian sewa di perkotaan dan kawasan industri tidak mudah karena keterbatasan lahan. Selama ini, pemerintah pusat membangun hunian sewa berupa rumah susun, sedangkan pemerintah kota atau kabupaten menyediakan lahan.
Akibatnya, dari pembangunan rumah susun sewa terkendala. Pada 2015-2018, rusunawa yang dibangun pemerintah sebanyak 43.158 unit atau 756 menara. Rusunawa itu antara lain ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (16.026 unit), pegawai negeri sipil (2.903 unit), pekerja (3.520 unit), TNI (4.267 unit), Polri (3.307 unit), dan peserta didik perguruan tinggi (7.488 unit). Jumlah itu jauh di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni 550.000 unit.
Secara terpisah, Pengajar dari Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar berpendapat, masalah hunian di perkotaan berkaitan dengan urbanisasi yang terus terjadi. “Fenomena yang sama terjadi terutama di negara-negara berkembang. Untuk mengelola urbanisasi yang tinggi secara berkelanjutan diperlukan hunian yang terjangkau,” kata Jehansyah. (NAD)