Tren bencana terus meningkat. Tanpa upaya prioritas untuk mengantisipasinya, bukan hanya korban jiwa akan semakin banyak, perekonomian negara pun semakin tergerus.
JAKARTA, KOMPAS — Lingkungan dan ketangguhan bencana menjadi satu dari tujuh agenda pembangunan nasional 2020-2024. Masuknya kebencanaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diharapkan bisa mengurangi dampak korban jiwa dan kerugian material yang mencapai triliun rupiah tiap tahun.
"Untuk pertama kalinya bencana masuk dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Ini kemajuan besar di tengah tren peningkatan bencana," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, dalam lokakarya bersama Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (United Nation Disaster Risk Reduction/UNDRR), di Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Menurut Doni, frekuensi bencana di Indonesia hingga akhir April 2019 telah meningkat hingga tiga kali lipat dibandingan periode yang sama di tahun sebelumnya. Dalam empat bulan terakhir saja, bencana alam telah menyebabkan korban meninggal dan hilang sebanyak 438 jiwa.
Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Velix Vernando Wanggai mengatakan, serangkaian bencana yang terjadi pada 2018-2019 telah berdampak terhadap sekitar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pada 2018 mencapai Rp 14.837,4 triliun. Besarnya kerugian ini yang menjadi salah satu pendorong pengarusutamaan bencana dalam RPJMN.
Dalam kesempatan ini, utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk UNDRR Mami Mizutori mengatakan, Indonesia telah melakukan banyak kemajuan dalam penanggulangan bencana dan telah memiliki lembaga serta aturan terkait. "Kami mengapresiasi Presiden yang telah membangun upaya mengurangi risiko bencana," kata dia.
Kami mengapresiasi Presiden yang telah membangun upaya mengurangi risiko bencana.
Namun demikian, menurut Mami, frekuensi dan intensitas bencana di dunia berkembang lebih tinggi sehingga membutuhkan upaya yang menerus untuk meningkatkan kapasitas menghadapinya. Terkait dengan bencana di Palu dan Donggala, UNDRR telah melakukan kajian guna belajar dan meningkatkan kapasitas sumber daya maupun sistem yang ada. Salah satu kajian terkait dengan efektifitas sistem peringatan dini tsunami hingga ke masyarakat.
Keterbatasan peringatan
Hasil kajian UNDRR yang dipresentasikan Irina Rafliana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan adanya keterbatasan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. Waktu tiba tsunami sangat cepat, yaitu sekitar tiga menit setelah gempa. Sementara itu, peringatan dini tsunami yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sekitar lima menit setelah gempa juga tidak sampai ke masyarakat di Palu-Donggala karena terputusnya listrik dan komunikasi.
Dalam kajian ini juga ditemukan, masyarakat di pantai barat Donggala, telah mengungsi sejak gempa pertama sekitar pukul 15.00 Wita. Saat gempa utama yang diikuti tsunami pada pukul 18.02 Wita, sebagian besar warga di kawasan ini sudah berada di tempat aman.
Keberhasilan masyarakat di pantai barat Donggala untuk melakukan evakuasi mandiri ini mengingatkan dengan kasus serupa yang dialami masyarakat di Pulau Simeulue yang selamat dari tsunami di Samudera Hindia pada 2004. Baik di pantai barat Donggala maupun di Simeulue, masyarakat masih menyimpan pengetahuan tentang tsunami yang pernah melanda di masa lalu.
Baik di pantai barat Donggala maupun di Simeulue, masyarakat masih menyimpan pengetahuan tentang tsunami yang pernah melanda di masa lalu.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, kajian ini merekomendasikan agar evakuasi mandiri menjadi prioritas utama bagi upaya pengurangan risiko bencana
tsunami di Indonesia. Evakuasi mandiri yang dimaksud adalah menjadikan gempa bumi sebagai tanda bahaya untuk menjauhi pantai, tanpa harus menunggu perintah evakuasi dari pemerintah.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar kasus tsunami yang pernah terjadi di Indonesia berasal dari tsunami jarak dekat dengan waktu tiba dalam hitungan menit seperti terjadi di Palu, sehingga evakuasi mandiri menjadi sangat urgen.