Jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 129,36 juta orang di antaranya bekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 74,08 juta orang di antaranya bekerja di sektor informal. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, tingkat pengangguran terbuka 5,01 persen.
Yang ironis, tingkat pengangguran terbuka pada angkatan kerja dengan pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) sebesar 8,63 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran terbuka pada tingkat pendidikan lain. Tingkat pengangguran terbuka pada angkatan kerja berpendidikan diploma I, II, dan III sebesar 6,89 persen. Kemudian, berturut-turut, pada pendidikan sekolah menengah atas (SMA) 6,78 persen, universitas 6,24 persen, sekolah menengah pertama (SMP) 5,04 persen, dan sekolah dasar (SD) 2,65 persen.
Menurut BPS, angkatan kerja dengan pendidikan SD umumnya mau bekerja apa pun. Akibatnya, tingkat penganggurannya rendah.
Sebaliknya, penyerapan tenaga kerja per Februari 2019 didominasi penduduk bekerja berpendidikan SD ke bawah, yakni 52,4 juta orang (40,51 persen). Sementara, yang berpendidikan SMA 23,1 juta orang (17,86 persen), berpendidikan SMP sebanyak 22,97 juta orang (17,75 persen), SMK sebanyak 14,63 juta orang (11,31 persen). Catatan BPS, penduduk bekerja berpendidikan SMK turun 0,14 persen dalam setahun terakhir.
Padahal, pemerintah berharap pendidikan vokasi atau yang mengajarkan keterampilan akan mampu menjawab tantangan kebutuhan dunia kerja. SMK dinilai mampu menjawab kebutuhan tersebut. Namun, kenyataannya, justru persentase angkatan kerja berpendidikan SMK yang menganggur paling tinggi dibandingkan dengan angkatan kerja berpendidikan lain.
Ada yang berpendapat, kondisi ini akibat ketidaksinkronan antara kebutuhan dan suplai. Dengan kata lain, industri memerlukan tenaga kerja dengan keterampilan A, B, dan C. Namun, yang bisa disediakan ada tenaga kerja dengan keterampilan X, Y, dan Z. Akibatnya, tenaga kerja ini tidak terserap. Di sisi lain, perusahaan kekurangan tenaga kerja yang memenuhi syarat.
Pemerintah mendorong korporasi untuk terlibat menyiapkan tenaga kerja dengan keterampilan yang sesuai kebutuhan industri. Dengan cara itu, industri bisa memenuhi kebutuhannya akan tenaga kerja. Di sisi lain, tenaga kerja juga digunakan industri, tidak menjadi penganggur.
Dorongan agar korporasi menyiapkan tenaga kerja terampil itu diiringi janji kemudahan perizinan dan pengurangan pajak. Dengan cara itu, pelaku industri akan tertarik membangun pendidikan vokasi di Indonesia (Kompas, 10 Mei 2019).
Industri di dunia bergerak cepat. Tuntutan terhadap keterampilan dan keahlian tenaga kerja terus meningkat. Tanpa kesiapan memadai, maka lapangan kerja yang membutuhkan keahlian spesifik tak bisa diisi. Di sisi lain, tenaga kerja dengan keterampilan yang kurang relevan dengan perkembangan industri, akan tertinggal. Ketidaksesuaian ini yang mesti diatasi. (Dewi Indriastuti)