Pendeta Winantea Listiahadi Puluhan Tahun Merawat Toleransi
Saat krisis moneter mendera Indonesia, dua dekade lalu, Pendeta Winantea Listiahadi (71) mencetuskan gagasan untuk mengadakan buka puasa bersama untuk kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa mereka di bulan Ramadhan. Kegiatan itu bertahan sampai sekarang. Wujud nyata langkah toleran itu dilakukan satu bulan penuh selama Ramadhan dalam 21 tahun terakhi
Di usianya yang senja, pendeta Winantea atau biasa dipanggil dengan sebutan Romo oleh umat Budha Wihara Bodhimanda-Sanggar Suci Lawang, masih menyempatkan diri berbaur dengan puluhan orang yang memenuhi bangunan semi permanen di tepi Jalan Dr Wahidin, Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (23/5/2019) petang. Di lokasi itulah acara buka puasa yang sudah berlangsung puluhan tahun digelar.
Winantea pun ikut sibuk membagikan piring demi piring nasi hidangan berbuka yang sore itu berupa menu kare ayam. Setelah semua nasi dibagikan dan habis disantap orang mereka yang hadir, Winantea kembali bersiap membagikan bingkisan berupa makanan ringan sebagai pelengkap berbuka. Bingkisan yang dibagi-bagikan itu isinya bervariasi, terkadang berupa mi instan, snack, dan teh atau susu kotak.
Para peserta buka puasa dari anak-anak, orang tua hingga dewasa pun menyambut bingkisan itu dengan gembira. Apalagi sebagian dari mereka merupakan warga kurang mampu, janda, maupun anak jalanan yang bermukim di sekitar wihara. Selain mereka, para pengguna jalan yang melintas di kawasan itu pun banyak yang sengaja mampir ketika waktu berbuka puasa tiba.
Pria yang empat tahun terakhir menjabat sebagai pimpinan Pondok Metta, yang berada di sisi kanan Wihara Sanggar Suci, itu tidak mau tinggal diam. Dia datang untuk membantu panitia menyiapkan makanan berbuka yang rutin dilakukan selama 18 hari terakhir di Bulan Ramadan 1440 H. Lokasi berbuka puasa itu hanya berjarak sekitar 150 meter dari kediamannya, tepat di pinggir jalan raya Malang-Surabaya.
“Kalau masih sempat, ya, saya ikut membantu. Soalnya jalan menuju lokasi buka puasa tidak halus, ada lubang-lubang. Selain itu saya juga ada asam urat,” ucapnya sambil tersenyum ringan saat berbincang dengan Kompas, beberapa jam sebelum buka bersama dilakukan.
Winantea menceritakan bagaimana buka puasa ini bisa terwujud pada tahun 1998 lalu. Dia mengagas kegiatan buka bersama itu saat dirinya masih memimpin wihara Sanggar Suci pada kurun waktu 1974-2015. Saat itu, dia melihat banyak buah-buahan dan makanan sumbangan dari umat di viharanya menumpuk. Padahal, makanan yang masih bagus dan layak makan itu tentu akan lebih bermanfaat jika diberikan ke orang lain yang membutuhkan.
Ia pun berinisiatif bagaimana jika makanan yang ada bisa diberikan ke orang lain dalam bentuk kegiatan berbuka puasa. Biasanya makanan-makanan kecil tersebut dibagikan kepada warga kurang mampu dan pengemis yang melintas di depan wihara. Banyak warga yang memanfaatkan kesempatan itu. Terlebih, saat itu harga kebutuhan pokok melonjak tinggi akibat krisis ekonomi.
Winantea pun kemudian menghubungi anggota Paguyuban Metta terkait idenya itu. Paguyuban Metta merupakan komunitas arisan yang berdiri tahun 1995. Saat ini, anggotanya mencapai ratusan orang dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar anggota adalah umat Budha dan sebagian lainnya memiliki keyakinan lain, termasuk Islam.
Dana dari kegiatan arisan ini disisihkan untuk buka puasa yang dilakukan setiap tahun. “Tidak ada rasa keberatan dari Paguyuban Metta. Mereka justru sangat mendukung sampai sekarang,” tuturnya pria yang lahir di Tegal, Jawa Tengah itu.
Bukan politis
Winentia tidak menampik apa yang dilakukannya pernah memunculkan pro dan kontra. Namun, ia yakin apa yang dilakukan tidak mengandung unsur politis, sukarela, dan bentuk toleransi kehidupan beragama. Kegiatan buka bersama ini pun bisa bertahan puluhan tahun karena bermaksud baik dan mendapat dukungan dari banyak orang.
Demikian halnya sebagai seorang vegetarian, pria yang mengenyam pendidikan di Jurusan Kimia di salah satu perguran tinggi di Surabaya ini acap kali mendapatkan keberatan karena memberikan makanan berasal dari unsur hewani.
Winantea menceritakan bagaimana buka puasa ini bisa terwujud pada tahun 1998 lalu. Dia mengagas kegiatan buka bersama itu saat dirinya masih memimpin wihara Sanggar Suci pada kurun waktu 1974-2015. Saat itu, dia melihat banyak buah-buahan dan makanan sumbangan dari umat di viharanya menumpuk. Padahal, makanan yang masih bagus dan layak makan itu tentu akan lebih bermanfaat jika diberikan ke orang lain yang membutuhkan.
“Katanya tidak cocok vegetarian memberi makan orang dengan makanan yang mengandung daging. Saya tidak mikir ngono-ngono (seperti itu). Nek (kalau) aku salah, ya nilainya 100, tidak salah semua. Masih ada nilai 50 atau 60,” ujarnya.
Kepedulian Winantea terhadap orang lain tidak hanya diwujudkan dalam bentuk buka puasa. Pada tahun 1998 setidaknya ada enam kegiatan yang semuanya berbau bakti sosial, mulai dari pembagian susu kepada balita, pembagian alat tulis dalam program back to school agar anak-anak yang tidak mampu bisa kembali bersekolah, hingga membagikan pakaian kepada mereka yang membutuhkan. Sayangnya, dari beberapa program tersebut tidak semuanya bisa bertahan lama kecuali buka puasa dan pembagian beras setiap Waisak tiba. Pembagian beras saat Waisak sendiri dilakukan sejak tahun 1978.
Mengenai bakti sosial, Winantea mencontohkan program pembagian susu kepada balita hanya bertahan lima tahun. Dalam acara ini dia tidak hanya membagikan susu tetapi mengemasnya dalam kegiatan lomba balita sehat. Semua peserta mendapatkan susu, baik itu yang keluar sebagai pemenang maupun tidak. Lomba ini berlangsung setiap 22 September atau seusai kegiatan lomba dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan (Agustusan) selesai dilakukan.
“Biasanya peserta lomba adalah orang dewasa. Balita jarang. Kebetulan di koran saya baca ada berita harga susu melonjak tinggi akibat krisis moneter. Kasihan warga yang kurang mampu. Jadi saya bagikan susu dalam bentuk lomba dan ternyata sambutan warga ketika itu sangat besar. Adapun sumber dananya sama dengan buka puasa, yakni berasal dari arisan Paguyuban Metta,” katanya.
Menurut sang pendeta, dirinya melakukan semua hal itu atas dasar alasan kemanusiaan dan toleransi. Kemanusiaan dan toleransi tidak memandang perbedaan, mereka semua sama.
"Perbuatan baik perlu terus dilakukan agar dicontoh oleh orang lain," ujanya.
Dia pun berharap gagasan dan apa yang telah dilakukannya bisa terus bergulir secara berkesinambungan tidak hanya untuk warga sekitar Lawang tetapi juga daerah lainnya di Indonesia.
Terkait toleransi, menurut Winantea, segala sesuatu yang baik pasti memiliki godaan dan hambatan. Ia menganalogikan hal itu sebagai sebuah pohon, semakin tinggi sebuah pohon maka terpaan angin akan semakin kencang. Terpaan angin kesana-kemari juga membuat si pohon akan tumbuh menjadi lebih kokoh. Begitu pula dengan toleransi kita, menurutnya makin bagus. Kalau ada yang intoleran itu hanya sebagian kecil saja.
Winantea Listiahadi
Lahir: Tegal, 5 Januari 1948
Pendidikan:
- SD dan SMP di Tegal
- SMP dan SMA di Surabaya.
- IKIP Surabaya
Jabatan: - 1974-2015 Pimpinan Vihara Bodhimanda - Sanggar Suci Lawang
- 2015-sekarang Pimpinan Pondok Metta Lawang