Sekalipun bukan mantra dan doa yang berulang-ulang diucapkan selama ratusan bahkan ribuan tahun dengan kata-kata yang praktis sama, nilai-nilai Pancasila semestinya juga terus-menerus diartikulasikan untuk mengisi kesadaran warga bangsa.
Jika kesadaran publik tidak diisi sampai penuh atau hanya setengah-setengah dengan nilai-nilai Pancasila, suka atau tidak, akan tercipta ruang hampa. Kemudian, ruang hampa itu akan mudah mengisap masuk angin ideologi lain, yang dengan mudah berubah menjadi amukan badai.
Sudah menjadi keniscayaan pula, nilai dan semangat kebangsaan harus dipompakan terus-menerus dan berulang- ulang, tidak hanya untuk memperkuat eksistensi bangsa, tetapi sekaligus mencegah ideologi asing yang mengancam.
Upaya macam itu merupakan keharusan, tidak boleh tidak, sine qua non, dilakukan oleh berbagai bangsa yang ingin menjadi lebih besar, bertambah kokoh, dan semakin disegani.
Simak dan saksikan bagaimana para pemimpin Amerika Serikat, misalnya, pada setiap tingkatan dan generasi terus membahas cita-cita menjadi negara besar, mengangkat tinggi-tinggi nilai demokrasi, kesejahteraan sosial, hak sipil, hak asasi, dan nilai keluarga.
Bolak-balik ungkapan yang sama disampaikan tanpa pernah lelah dan hampir tidak pernah putus oleh para pemimpin AS dalam berbagai kesempatan dan pidato untuk menjaga serta memperbesar api yang menyalakan semangat kebangsaan. Bahkan, ungkapan-ungkapan serupa diselipkan dalam surat penugasan, credential letter, para duta besar AS di mancanegara.
Ilustrasi lain bisa terlihat di Perancis. Sejak Revolusi Perancis tahun 1789, para pemimpin negara itu tidak pernah berhenti mengangkat pentingnya prinsip kebebasan (liberte), kesetaraan (egalite), dan persaudaraan (fraternite). Prinsip-prinsip itu terus diucapkan untuk meneguhkan harapan.
Tidak kalah menariknya India, yang juga terus meresonansikan prinsip perjuangan Mahatma Gandhi, seperti kemandirian (swadesi), tanpa kekerasan (ahimsa), dan perjuangan menegakkan kebenaran (satyagraha).
Tentu saja tidak setiap negara dan bangsa mampu membangun ekosistem dalam mendorong proses sosialisasi, internalisasi, dan institusionalisasi nilai-nilai fundamental kebangsaannya secara terus-menerus, tanpa kenal lelah. Bagaimana dengan Indonesia?
Ekosistem Pancasila
Sejauh ini, narasi dan artikulasi tentang nilai-nilai Pancasila tergolong kedodoran, mengalami pasang surut. Kiranya perlu upaya secara sistematis, terstruktur, dan masif dalam setiap pidato para pejabat untuk mengangkat tinggi-tinggi nilai Pancasila, budaya gotong royong, musyawarah-mufakat, dan sebagainya.
Tidak bisa lagi wacana tentang Pancasila hanya bersifat pasang surut, kadang-kadang saja, serta tidak terus-menerus. Pembicaraan tentang Pancasila tidak boleh hanya melengking keras jika kita sedang terguncang hebat oleh terpaan badai ideologi lain, yang bertentangan dengan kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia.
Sangat diperlukan strategi kebudayaan agar pembicaraan tentang Pancasila tidak lagi hanya terdengar sayup-sayup di ruang-ruang sempit dan pengap di pinggiran, jauh dari sensasi panggung yang telah dibajak oleh para politisi oportunis, tanpa visi berjangkauan jauh ke depan.
Sudah cukup pula Pancasila sekadar dijadikan retorika, yang lebih mengeksploitasi kesadaran-kesadaran palsu, tanpa menghadirkan letupan ekspresi yang menggetarkan jiwa- raga untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.
Juga tidak boleh dibiarkan sinisme dan pencemoohan terhadap Pancasila di tengah teriakan keras dan agitasi untuk menggeser dan menggantikan dasar negara. Taruhannya jelas tidak kecil serta sangat serius jika para petualang politik dan ideologi terus dibiarkan berupaya melecehkan dan menyingkirkan Pancasila sebagai dasar negara.
Penguatan nilai-nilai Pancasila memang diperlukan dan sangat mendesak di tengah kepungan ideologi lain, gelombang radikalisme, dan ekstremisme ataupun terjangan epidemi hoaks yang memproduksi kekacauan pikiran, nurani, dan kehidupan sosial.
Posisi Pancasila sebagai kekuatan perisai penangkal sangat strategis sebagai pijakan kuat bernegara sekaligus menjadi orientasi nilai kebangsaan, yang perlu dibangun dalam sebuah ekosistem yang solid.
Melalui sebuah ekosistem, dapat dilakukan proses koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi dalam upaya sosialisasi, internalisasi, serta institusionalisasi nilai-nilai Pancasila dan budaya gotong royong.
Institusionalisasi, antara lain, ditempuh dengan mengonsolidasikan peraturan perundang-undangan dan peraturan lain di pusat hingga daerah, yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Program penguatan nilai-nilai Pancasila dan budaya gotong royong memang harus dilakukan secara integratif. Tidaklah cukup melalui proses belajar-mengajar di sekolah, tetapi nilai-nilai Pancasila dan budaya gotong royong perlu diartikulasikan pada setiap pidato para pejabat, birokrat, tokoh-tokoh masyarakat, kapan saja dan di mana saja.
Upaya sistematis macam ini tidaklah berlebihan dan bukanlah hal baru. Sudah sangat lazim dilakukan di banyak bangsa di dunia sebagai cara efektif membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga nilai-nilai kebangsaan agar tidak rontok. Salam Pancasila!