Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyatakan Pancasila harus terus dipertahankan dalam sistem pendidikan untuk pemersatu bangsa. Metode pembelajaran nilai-nilai luhur Pancasila melalui simulasi akan dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar di Sulut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS – Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyatakan Pancasila harus terus dipertahankan dalam sistem pendidikan untuk pemersatu bangsa. Metode pembelajaran nilai-nilai luhur Pancasila melalui simulasi akan dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar di Sulut.
Hal ini dikatakan Olly selepas menjadi inspektur upacara dalam Perayaan Hari Lahir Pancasila, Sabtu (1/6/2019), di Kantor Gubernur Sulut, Manado. “Pancasila saat ini telah masuk sistem pendidikan nasional. Artinya, harus tetap menjadi mata pelajaran bagi anak bangsa kita di semua tingkat pendidikan,” katanya.
Menurut Olly, Sulut bisa menjadi percontohan bagi penerapan konkret semboyan binneka tunggal ika bagi daerah-daerah lain di Nusantara. Pancasila menjadi satu-satunya bingkai yang bisa mempersatukan semua elemen masyarakat Indonesia yang majemuk. Ia mencontohkan, kerusuhan yang terjadi pada 22 Mei lalu di Jakarta akibat perbedaan pandangan politik tidak terjadi di Sulut.
Untuk mempertahankan itu, cara-cara yang lebih kreatif dalam mengajarkan Pancasila akan dikembangkan. “Ke depan, pasti akan ada simulasi-simulasi dalam kegiatan belajar untuk menggambarkan pentingnya ideologi bangsa kita untuk generasi muda. Tidak lagi seperti cara belajar dan mengajar zaman dulu,” kata Olly tanpa merinci cara-cara tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Sulut Grace Punuh mengatakan, Pancasila semakin penting bagi anak didik di Indonesia seiring menyempitnya dunia karena gawai dan revolusi industri 4.0. Anak-anak bangsa dituntut bisa bersaing sesuai kebutuhan zaman, tetapi tidak boleh lupa dengan akar kebangsaannya.
Ke depan, pasti akan ada simulasi-simulasi dalam kegiatan belajar untuk menggambarkan pentingnya ideologi bangsa kita untuk generasi muda. Tidak lagi seperti cara belajar dan mengajar zaman dulu
Ia membenarkan, Pancasila tidak cukup hanya diajarkan di kelas, namun harus menyeluruh dalam kehidupan di sekolah maupun keluarga. Sekolah dinilainya memiliki kebebasan untuk memilih metode mana yang bisa mematerialkan butir-butir nilai Pancasila dalam kehidupan nyata di lingkungan belajar.
“Ini bisa dimulai dari kemampuan siswa menerima teman sebangkunya yang mungkin berasal dari ras, suku, dan agama yang berbeda dari dirinya. Pendidikan karakter bisa dilaksanakan dalam berbagai cara lainnya juga,” kata Grace.
Sementara itu, sebagian siswa yang diundang mengikuti upacara di Kantor Gubernur Sulut mengatakan, pemberian materi tentang Pancasila masih didominasi kegiatan belajar mengajar konvensional, yaitu guru menerangkan, sementara siswa memerhatikan dan mencatat.
“Kebanyakan masih teori saja, sih. Belum banyak cara lain, misalnya role playing. Tapi, buat saya, pengaruh pendidikan Pancasila cukup terasa. Kami jadi punya nilai-nilai pegangan jika harus berhadapan dengan paham-paham yang berbeda dengan Bangsa Indonesia,” kata Mauren (15), siswi kelas X SMA Negeri 7 Manado.
Rekan seangkatannya, Cristofer (15), juga sepakat. Ia tidak keberatan dengan metode pengajaran Pancasila yang terus diulang-ulang sejak SD, SMP, hingga SMA. “Justru harus diulang-ulang supaya meresap dalam pikiran siswa,” katanya.
Tolok ukur
Dalam artikel berjudul Memanjurkan Pancasila di Kompas, 31 mei 2019, Pengurus Aliansi Kebangsaan Yudi Latif mengatakan, tantangan dalam pembudayaan nilai-nilai Pancasila bagi peserta didik terletak pada pengembangan laku hidup. Sebagai bentuk karakter bangsa, Pancasila masih sekadar diajarkan layaknya preskripsi dokter kepada pasien, bukan dipraktikkan secara langsung.
Karena itu, Yudi menggagas pembentukan kelompok-kelompok terbatas bernggotakan siswa dari beragam identitas. Lalu, mereka didorong mengembangkan berbagai kegiatan dalam rangka pengamalan langsung nilai-nilai Pancasila.
Sementara itu, sosiolog Universitas Negeri Manado Ferdinand Kerebungu mengatakan, siswa di Sulut dapat belajar menghayati Pancasila dari kebudayaan setempat. Ia mencontohkan, pawai obor malam takbiran sebelum Idul Fitri adalah sebuah bentuk implementasi kerukunan dan persahabatan yang melampaui perbedaan latar belakang kultural dan religius.
“Di Manado yang masyarakatnya multikultural, misalnya, anak-anak sudah belajar sejak kecil bahwa perayaan suatu agama bisa menjadi perayaan bersama. Mereka bisa saling mengajak dalam pawai sehingga saling mengenal dan memahami perbedaan,” katanya.
Menurut dia, Sulut bisa menjadi tolok ukur penerapan kebinnekaan di Manado. Pemahaman Pancasila lewat tradisi masyarakat di Sulut bisa meredam gesekan intoleransi antaretnis maupun antaragama.