Pawai Maria, Cara Umat Katolik Desa Kembes Akhiri Bulan Mei
Umat Katolik Paroki Kristus Raja di Desa Kembes, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, punya cara unik untuk mengakhiri Mei. Mereka menggelar pawai diiringi doa rosario dan kidung untuk memuji keteladanan Maria. Pawai ini tak sekadar perayaan namun juga bisa mengenalkan umat.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Umat Katolik Paroki Kristus Raja di Desa Kembes, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, punya cara unik untuk mengakhiri Mei. Bulan yang ditetapkan Gereja Katolik sebagai Bulan Maria itu ditutup dengan pawai diiringi doa rosario dan kidung untuk memuji keteladanan Maria.
Pada Jumat (31/5/2019) sore, ratusan umat, dari anak-anak hingga lansia, berkumpul di lapangan di tepi Desa Koka. Terbagi dalam 32 kelompok beranggotakan 15-20 orang, mereka mengenakan kaus polo dengan beragam warna untuk membedakan satu kelompok dengan lainnya.
Satu hal yang menyamakan ke-32 kelompok, semuanya membawa patung Bunda Maria. Ada kelompok yang menugaskan seorang untuk membawanya di tangan, ada pula kelompok yang merangkai replika mini gua Maria, kemudian digotong dengan dua bilah bambu di kanan kirinya oleh dua orang anggota. Bunga dan kelap-kelip lampu menyemarakkan patung serta gua-gua kecil itu.
Pawai ini bukan sekadar pawai. Mereka berlomba mempersembahkan patung atau replika gua Maria terindah. Kesungguhan disikapi lebih jauh oleh salah satu kelompok. Mereka tidak membuat replika gua maupun membawa patung, melainkan membawa cosplayer cilik yang berdandan seperti Bunda Maria dengan jubah putih dan kain biru.
Sambil juga membawa lilin, rombongan umat berjalan sejauh sekitar 3 kilometer dari lapangan ke Gereja St Paulus dan St Petrus Stasi Koka yang umatnya ditunjuk menyelenggarkan perayaan tahunan ini.
Selain Koka dan Kembes, ada tiga desa lain yang juga tergabung di Paroki Kristus Raja Kembes, yaitu Desa Sawangan, Kamangta, dan Tombuluan. Tahun ini, acara diadakan pada sore hari untuk menyesuaikan dengan jadwal pastor paroki.
"Ini sudah menjadi tradisi paroki kami sejak saya masih kecil. Bahkan, dulu kami mulai sejak pukul 03.00 Wita dan jarak pawainya lebih jauh sampai ke beberapa desa lain," kata Joseph Rarun (49), ketua wilayah St. Vincentius di Desa Sawangan.
Ketua Dewan Pastoral Paroki Kristus Raja Kembes Bidang Organisasi, Mareyke Kaunang (52), mengatakan, asal-usul budaya ini tidak cukup jelas. Bisa jadi, inisiatif muncul dari para pendiri dan tetua gereja sebagai bentuk devosi selama Bulan Maria.
Kendati umat dituntut kreatif karena pawai ini dilombakan, bukan berarti ini adalah pawai yang meriah dengan segala rupa asesoris dan ornamen heboh layaknya Día de Muertos di Meksiko.
“Pemenangnya adalah wilayah yang paling kreatif menghadirkan sosok Maria. Selain itu juga yang dinilai paling khusuk berdoa dan bernyanyi sepanjang perjalanan. Sebab, kita ingin memberikan penghormatan kepada Bunda Maria sebagai teladan hidup beriman. Pemenang akan ditentukan tiga frater dari Seminari Pineleng sebagai juri,” kata Mareyke.
Selain pawai, umat Katolik Paroki Kristus Raja Kembes juga merayakan keteladanan Maria dengan mengadakan misa syukur dan perlombaan bagi umat, seperti lomba grup vokal dan membaca alkitab. Tidak ketinggalan beragam jenis budaya Minahasa, seperti penggunaan kolintang sebagai pengiring nyanyian serta penampilan tari selendang biru oleh para ibu anggota Wanita Katolik Republik Indonesia.
Joseph Rarun mengatakan, acara yang rutin digelar setiap tahun ini sangat penting bagi umat, apalagi semasa pembangunan gereja di tingkat paroki maupun stasi. “Dengan begini, kami bisa saling mengenal satu sama lain. Kalau tidak saling kenal, bagaimana kita bisa membangun gereja, apalagi kualitas kehidupan beriman umat?” katanya.
Ziarah
Pastor Paroki Kristus Raja Kembes, Fransiskus Lolok MSC, mengatakan, pawai melambangkan ziarah kehidupan manusia di dunia. Seperti perjalanan yang hanya sekitar 3 km itu, kehidupan manusia layaknya ziarah yang hanya sementara sebelum kembali ke kekekalan surgawi.
Dengan begini, kami bisa saling mengenal satu sama lain. Kalau tidak saling kenal, bagaimana kita bisa membangun gereja, apalagi kualitas kehidupan beriman umat
“Namun, dalam hidup ini, selalu ada makna yang mau kita pegang dalam berbagai peran kita di kehidupan sehari-hari. Maria menjadi contoh yang baik bagi umat Katolik kerena keunggulannya dalam penghayatan iman dan ketaatan kepada kehendak Tuhan,” kata Fransiskus.
Puncak ketaatan Maria kepada Tuhan adalah saat ia mendapat kabar dari Malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung Yesus. Dengan kebebasan pribadinya, ia menerima dan melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan akan dirinya.
Maria juga menjadi sosok yang rendah hati dalam ketaatannya. Fransiskus mengatakan, umat Katolik bisa meniru kerendahan diri Maria untuk melayani sesama sesuai peran sosial masing-masing, baik di keluarga, pekerjaan, dan lingkup sosial lainnya.
“Jika kita cukup rendah hati, kita bisa menjaga perdamaian dengan menghargai satu sama lain dan saling mendengarkan. Itulah yang bisa kita tiru dari Maria selama ziarah kita di dunia,” ujar Fransiskus.
Tradisi
Pawai kerap menjadi cara ekspresi keagamaan di tanah Minahasa dan Manado. Umat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), misalnya, berpawai saat paskah dengan membawa replika salib dan selendang ungu sambil bernyanyi. Sementara itu, para muslimin dan muslimah berpawai obor saat malam takbiran menjelang Idul Fitri.
Sosiolog Universitas Negeri Manado Ferdinand Kerebungu mengatakan, secara kultural, pawai menjadi salah satu cara merayakan ungkapan suka cita masyarakat Minahasa. Ini melengkapi perayaan dengan cara ritual keagamaan. Di sisi lain, pawai menjadi cara untuk mempererat tali persahabatan, persaudaraan, dan kebersamaan.
“Di situlah toleransi keberagamaan terasa di Manado dan Minahasa. Siapa pun dari kelompok agama mana pun bisa turut berpawai, misalnya umat Kristen ikut pawai obor di malam takbiran, atau sebaliknya, yang muslim ikut di pawai Paskah dan Natal,” kata Ferdinand.
Kebebasan orang mengekspresikan keagamaannya yang dipadukan dengan keterbukaan pada kelompok mana pun menjadikan Minahasa pusat dan percontohan toleransi di Indonesia. “Inilah cara kami untuk saling bersatu. Minahasa dan Manado bisa menjadi tolok ukur binneka tunggal ika di Indonesia,” ujar Ferdinand.