ROMA, KOMPAS — Meskipun ada kekhawatiran mengenai perpecahan yang kini mengancam bangsa Indonesia, tetapi ada pula keyakinan akan ketangguhan Pancasila sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata kunci mempererat persatuan Indonesia adalah dialog terus-menerus yang melibatkan seluruh warga bangsa tentang Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup rakyat.
Dialog terus-menerus yang tidak mengenal lelah mengenai makna dan manfaat Pancasila bagi seluruh Tanah Air itu bisa dilakukan oleh seluruh warga bangsa dalam semangat saling menghargai perbedaan. Perbedaan itulah yang menyatukan rakyat Indonesia. Dialog juga harus dilakukan dalam kebersamaan, saling menghormati antarwarga, dan kesetaraan.
Semangat kebersamaan dan kesetaraan dalam mendiskusikan Pancasila dan pilar kebangsaan lainnya berkembang dalam dialog kebangsaan di aula Collegio Dei Verbo Divini, Roma, Italia, Sabtu (1/6/2019) malam atau Minggu (2/6/2019) pagi di Indonesia. Dialog yang melibatkan diaspora Indonesia di Roma itu diadakan bertepatan dengan hari kelahiran Pancasila, 1 Juni. Dialog yang sama pada Rabu (29/5/2019) juga digelar di Milan, Italia, dengan melibatkan warga Indonesia dari berbagai kalangan.
Dialog kebangsaan itu diprakarsai Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Indonesia Katolik-Italia (Irrika). Sebagai pembicara adalah Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) AM Putut Prabantoro, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Fransiskus Taslim, serta dosen Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Ledalero Nusa Tenggara Timur Dr Paulus Budi Kleden. Hadir pula Duta Besar Indonesia untuk Vatikan Agus Sriyono dan Sekretaris Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Markus Solo Kewuta SVD.
Dalam pengantar dialog, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Frumensius Gions OFM, mengingatkan, ada dua ciri seorang diaspora Indonesia. Pertama, ia selalu ingat akan rumah atau kampung halaman. Kedua, tidak akan pernah melupakan Tanah Air, termasuk Pancasila yang mempersatukan rakyat Indonesia.
”Lebih baik dibuang ke laut dan dibebani, biar tenggelam, kalau sampai melupakan Indonesia,” kata Gions, yang saat ini sedang menyusun disertasi, yang antara lain membahas Pancasila sebagai anugerah bagi bangsa Indonesia.
Berani berbeda
Budi Kleden mengingatkan, Pancasila yang digali proklamator, Soekarno, dari budaya bangsa Indonesia melahirkan demokrasi di negeri ini, yang bukan dari asing. Pancasila, yang antara lain ditemukan oleh presiden pertama RI itu saat dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda di Ende, NTT, memerlukan dua syarat yang signifikan saat dilahirkan dan untuk terus dipertahankan.
Syarat pertama, kata Budi Kleden, yang juga Superior General (pemimpin tertinggi) Kongregasi Societas Verbo Divini (SVD) sedunia, adalah bermasyarakat. Ada dialog antarwarga secara setara, dengan menghargai perbedaan di antara mereka. ”Bermasyarakat. Jangan elitis,” ujarnya.
Kedua adalah penguatan wacana politik yang sehat. Saat ini masyarakat Indonesia dibanjiri dengan wacana politik terutama di media sosial, tetapi tidak sehat karena dipenuhi dengan berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan nafsu menang sendiri.
”Diaspora Indonesia, khususnya di Italia, harus membangun wacana politik yang sehat,” ujarnya.
Wacana politik itu seharusnya menguatkan persatuan dan kesatuan Indonesia, serta memperkuat fondasi berbangsa, saat ada guncangan dalam diri bangsa ini.
Menurut Budi Kleden, ada tiga cara untuk memperkuat fondasi bangsa serta meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup rakyat Indonesia. Pertama, pengembangan budaya demokrasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Demorasi tidak hanya pemilu, tetapi juga menghargai adanya perbedaan pendapat. Keberanian untuk ada disensus, selain konsensus, tanpa ditakut-takuti.
Kedua, kata Budi Kleden, adalah adanya keterbukan, proporsionalitas peran, dan peningkatan kualitas tiga elemen berbangsa, yakni masyarakat sipil, pemerintah, dan dunia usaha. Ketiga elemen itu seharusnya saling melengkapi. Ketiga, adanya kesadaran yang benar mengenai sistem nilai dan sumbernya. Demokrasi tidak selalu bisa didekati dan dijelaskan dengan sistem nilai yang bersumber dari agama.
Hermawi mengingatkan, semua orang Indonesia, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, atau warga negara biasa, harus terus mengembangkan kebersamaan hingga ke masyarakat akar rumput. Bangsa ini harus belajar dari gesekan yang terjadi dalam masyarakat selama pemilu lalu.
Apalagi, kata Hermawi, elite politik nasional pada masa lalu pernah mencontohkan untuk saling menghargai perbedaan, bahkan saling membantu dalam perbedaan itu. Pada masa lalu, misalnya, pimpinan partai politik pernah saling memberikan bantuan agar pimpinan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bisa memiliki kediaman yang layak.
Hermawi menambahkan, tugas politisi itu adalah saling mendengar dan melayani rakyat. Diaspora bisa mendukung upaya saling mendengar dan melayani itu sehingga persatuan Indonesia, seperti diamanatkan sila ketiga Pancasila, tidak perlu mengalami kondisi yang mengkhawatirkan seperti saat ini.
Sementara itu, Putut mengatakan, bangsa ini dibangun dalam kondisi penuh luka. Luka batin itu diwariskan dari generasi ke generasi. Orde Baru menilai semua hal yang dilakukan Orde Lama itu buruk. Reformasi meniadakan Orde Baru, yang dinilai juga hanya mewariskan keburukan. Padahal, setiap masa ada kebaikan dan keburukannya.
”Tugas kita bersama untuk merajut kebersamaan itu kembali. Untuk memecah-belah Indonesia itu mudah saja, yaitu dengan merusak sila ketiga Pancasila, persatuan Indonesia,” kata alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) itu.
Dubes Indonesia untuk Vatikan Agus Sriyono meyakini bangsa ini akan mampu melewati masa krisis, akibat gesekan selama Pemilu 2019, sebab persoalan yang sebenarnya bukan pemilu. Siapa pun peserta pemilu harus siap menang dan siap kalah setelah sengketa pemilu disampaikan ke Mahkamah Konstitusi.
”Kita semua harus berjuang dalam Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bersumber dari budaya bangsa kita sendiri,” kata Agus Sriyono.
Seusai dialog, diaspora Indonesia di Roma menerima buku berjudul Masyarakat Pancasila, yang ditulis mantan Gubernur Lemhannas Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Sayidiman, kini berusia 91 tahun, ingin mengingatkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila bagi kemajuan dan demokrasi di negeri ini.