“Kampung Sawah,” Tetap Guyub Dalam Perjalanan Waktu
Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat adalah sebuah kampung Betawi yang terletak 40 kilometer tenggara Jakarta. Daerah ini masih menyisakan kerimbunan pepohonan disela himpitan bangunan perumahan.
Oleh
JOHNNY TG
·4 menit baca
Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat adalah sebuah kampung Betawi yang terletak 40 kilometer tenggara Jakarta. Daerah ini masih menyisakan kerimbunan pepohonan disela himpitan bangunan perumahan. Pohon-pohon buah seperti duren, sawo, jambu, kecapi, sukun, rambutan masih bisa ditemui tumbuh di halaman rumah.
Kehidupan sosial antarumat beragama sudah terjalin rukun sejak lama. Setidaknya terlihat dari adanya tiga tempat peribadatan milik agama Islam, Katolik, dan Protestan yang letaknya tidak berjauhan. Masjid Al Jauhar Fisabilillah, berada 100 meter dari Gereja Santo Servatius, dan Gereja Kristen Pasundan hanya 50 meter dari masjid. Menilik sejarahnya, gereja Kristen Pasundan sudah berdiri pada 1874 dan gereja Katolik Santo Servatius pada 1896.
Sudah menjadi keseharian dari para pemeluknya untuk menjalankan ibadahnya tanpa saling terganggu. Menurut KH Rachmaddin Afif, pangasuh Masjid Al Jauhar sekaligus Ketua Yayasan Fisabilillah, “Kalau azan, ya kami pergi ke mesjid. Dan kalau lonceng berdentang, warga lain pergi ke gereja. Tidak masalah. Ia pun memiliki sepuluh saudara yang beragama Protestan maupun Katolik. Kalau Lebaran, mereka datang silaturahim. Sebaliknya, saat mereka Natal, kami juga pergi kesana,” katanya. (Kompas, Senin, 9/3/2015, hlm 1).
Hal serupa juga dikatakan oleh ibu Dian Niman, salah seorang warga Kampung Sawah. Menurutnya, momen Lebaran merupakan hari kemenangan bagi umat muslim dan kami turut bersukacita atas hal itu, meskipun berbeda agama. Kami juga bersilaturahim kepada mereka. Disini ada tradisi ngejotin, yaitu kebiasaan untuk saling anter makanan kepada tetangga di saat Lebaran. Makanan dimasukan ke dalam rantang untuk kemudian diantar ke tetangga. “Kalo dulu yang anter anak-anak kecil. Mereka senang nganter karena diberi uang. Kalo tetangganya dekat, cukup dengan piring-piring yang dibawa diatas nampan dan ditutup dengan kain,” kata ibu Nining.
Soal kerukunan tidak hanya tergambar dalam bentuk fisik tempat peribadatan, namun juga dalam interaksi sosial antar warga maupun dengan orang luar. Seperti soal tradisi pindah rumah yang sekitar 20 tahun lalu masih bisa ditemui, kata ibu Nining. Pindah rumah disini dalam arti bangunan dipindahkan seutuhnya dengan cara digotong. Saat itu, rumah-rumah masih terbuat dari kayu, berdinding papan dengan lantai yang ditopang batu di atas tanah. Jadi saat pindah, beberapa balok kayu dimasukkan di bawah lantai untuk kemudian diangkat secara bersama dan dipindahkan ke tempat yang baru. Kegiatan yang melibatkan banyak orang dari beragam latar belakang sosial.
Ketika sawah masih banyak terdapat di kampung ini, untuk pengerjaannya, mulai tanam hingga panen, banyak melibatkan orang dari luar. Untuk jaman sekarang, kegiatan berbasis komunitas mulai digiatkan seperti Komunitas Kampung Sawah. Menurut ibu Dian Niman, di komunitas ini yang dibahas dan dijalankan adalah hal-hal yang membangun dan memperkuat kebersamaan.
Kampung Sawah yang termasuk Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat ini warganya mayoritas dari etnis Sunda dan Betawi.
Uniknya, eratnya hubungan sosial diantara warga Kampung Sawah itu salah satunya karena mereka memiliki marga. Menurut mereka, nama marga sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Marga dalam pengertian masyarakat Kampung Sawah, adalah salah satu bentuk pengikat keturunan berdasarkan garis orang tua yang diberi sejak lahir, terutama garis bapak atau ayah. Nama marga yang ada disini adalah Rikin, Empi, Lampung, Baiin, Cimi, Saiman, Sabajan, Joyo Sasmito Ngapon, Niman, Noron, Sanglir, Sairin, Dai, Peking, Tibin, Saian, Emeng, Baidan, Kuli, Jimin, Kopo, Diharjo, Modo, Maja, Centeng, Penjol, Daniel, Yulianus, Seran, Napiun. Keterikatan pada marga inilah yang menghilangkan sekat-sekat sosial pada warga Kampung Sawah. Dengan marga, mereka dipersatukan sebagai satu saudara, tanpa memandang latar belakang sosial lainnya.
Seruan akan “persaudaraan” juga digaungkan oleh radio Suara Kampung Sawah (SKS), radio komunitas Betawi warga Kampung Sawah. Radio yang mulai digagas sejak tahun 2012 menyajikan musik, budaya Betawi yang intinya menjalin persaudaraan di antara sesama warga. Berada di gelombang 105,2 FM, radius siarannya sekitar lima kilometer dari stasiun penyiaran, radio ini mulai mengudara sejak pukul 17.00 hingga tengah malam. Beberapa acaranya adalah goyang dang dut, keroncong, campursari dan diskusi mingguan. Dalam diskusi mingguan dibahas antaralain soal kearifan lokal, anak muda dan wawasan kebangsaan.
Tentang kearifan lokal misalnya seperti ngerojeng yaitu ritual seseorang yang hendak memanen sawah sehari sebelum panen. Harapannya, agar sawah dapat dipanen dengan lancar. Rasa kebersamaan juga diwujudkan dalam kegiatan ngeriung bareng yang menjadi sarana untuk melestarikan nilai kerukunan dan persaudaraan yang sudah puluhan tahun dihidupi bersama.
Sebuah Indonesia mini yang menampilkan toleransi ditengah keberagaman bisa dijumpai dalam kehidupan warga di Kampung Sawah.
Sumber:
Kompas, Rabu, 21 Desember 2005, halaman 3, Kompas, Kamis, 22 Desember 2011, halaman 3, Kompas, Rabu, 20 Agustus 2014, halaman 27, Kompas, Senin, 29 Januari 2018, halaman 27.