Lebaran Tanpa Kima
Tak ada Lebaran jika tak ada kima. Makanya jauh-jauh hari Yu Solekah sudah mewanti-wanti si Jonah untuk mencarikan kima.
“Berapa pun harganya aku beli, Yu. Dua kali lipat enggak masalah. Anak-mantuku pasti senang kalau aku masak kima.”
“Aku tidak janji, Mak. Sekarang kima sulit. Tidak seperti saat kita bocah dulu, mbladrah.”
“Kowe hubungi ae balamu di Krimun. Di sana masih banyak kima.”
“Jare sopo tah. Nok kono saiki jarang ono kima. Kalau ada juga kima dari Belitung. Rasanya beda dengan kima asal Krimun.”
“Pokoke kima ya. Dari mana ae. Lebaran tidak lengkap jika tanpa kima.”
***
Puasa Ramadan sudah jalan dua minggu. Yu Solekah baru saja usai sembahyang tarawih. Tadi yang sembahyang sedikit. Shaf perempuan tak lebih dari dua baris. Beginilah ketika lewat dua minggu. Para perempuan sudah sibuk menyiapkan Lebaran. Beli baju baru, perabotan baru, makanan. Mereka lupa bahwa sejatinya lebaran bukan untuk sok-sokan. Tapi jika kebiasaan sudah begitu, mau apalagi. Bahkan dalam pengajian sering para ustaz atau ustazah bertauziah tentang makna puasa Ramadan. Tapi para jamaah sepertinya mendengar di telinga kanan, lalu petuah keluar dari telinga kiri. Entah.
Yu Solekah sedang mengenakan sandal, hendak meninggalkan surau ketika Lik Jiah mendekatinya. “Yu...ada yang cari!”
“Siapa?”
“Lik Jonah.”
Bergegas Yu Solekah menghampiri perempuan yang menunggu di depan warung di dekat surau.”Piye Nah, ada kima?”
“Ada yang sanggup Mak. Tapi harganya minta tiga kali lipat. Piye?’
Tanpa berpikir lagi Yu Solekah mengiyakan. Tak ada salahnya mengeluarkan uang lebih banyak asalkan bisa membuat anak dan menantunya senang. Tak ada yang lebih berharga selain membuat keluarga bahagia.
“Piye, Mak?”
“Aku mau, Nah. Kapan kima datang.”
“Lima hari sebelum Lebaran. Mak pesan berapa kilo?”
***
Lebaran tinggal tiga hari hari lagi. Seperti warga desa lainnya, Yu Solekah pun sudah berbenah, menyiapkan hari Lebaran, hari kemenangan. Rumah dicat. Isi rumah dibersihkan, barang yang sudah tak terpakai diloakkan. Yu Solekah sudah lega karena kima sudah ada dalam genggaman. Kemarin si Jonah sudah membawakan kima yang diidamkan. Yu Solekah bayar jreng, bahkan ia memberi tip pada Jonah yang sudah menolongnya.
Pagi itu Yu Solekah mulai memasak kima. Kima dicuci hingga bersih, kemudian direbus, air rebusan dibuang, direbus lagi, dibuang, hingga beberapa kali, sampai kima melunak. Kemudian setelah tiris, kerang raksasa itu dipotong-potong pipih, seukuran separuh jari. Yu Solekah membayangkan besok saat Lebaran pasti anak-anakanya senang menikmati hidangan kima, yang sudah beberapa kali Lebaran tak pernah dihidangkan.
“Daging kima enak Mak, lebih enak daripada daging ayam,” ungkap Kamal, sang anak sulung
“Lebaran tak lengkap jika tak ada kima, “ begitu kata Zaenal, anaknya yang nomor tiga. Anak beranak memang selalu merayakan Lebaran dengan masak kima. Sejak kecil mereka biasa menyantap kima yang dimasak kecap atau ditumis bumbu sate. Rasa kima yang khas, nyamleng, enak, membuat mereka ketagihan. Itu dulu, belasan atau malah puluhan tahun silam, ketika kima masih banyak, orang Krimun bisa menangkap sebanyak-banyaknya, kemudian menjual ke seberang, di antaranya ke Kota Jepara.
Bahkan Yu Solekah masih ingat, dulu di pecinan Jepara ada penjual kima. Namanya Bah Gombak, yang jualan kima kering. Kima digelar di pelataran trotoar. Kadang dikencingi anjing. Makanya Yu Solekah enggan membeli kima kering. Kalau bisa membeli kima segar, mengapa beli kima kering. Lagian kima segar lebih mudah dimasak, rasanya lebih legit. Dagingnya lebih kenyal.
Tapi sekali lagi itu cerita zaman dulu. Sekarang kima jarang didapat, selain keberadaannya yang semakain sedikit, nelayan juga paham, jika menangkap kima merupakan pelanggaran. Kerang kima dilindungi pemerintah. Kima keberadaannya terancam punah. Padahal masih ada sebagian masyarakat yang masih memburu kima untuk dikonsumsi, padahal jika kima punah akan mengganggu ekosistem laut. Tak banyak yang tahu jika kima bermanfaat sebagai penyaring udara bersih untuk hewan laut. Kima juga menjadi rumah pelindung dan sumber makanan untuk biota kecil, seperti ikan, kepiting, dan udang.
***
Pagi-pagi sekali Yu Solekah sudah memasak kima yang telah direbus sehari sebelumnya. Ia pun menyiapkan bumbu: lombok, bawang, jahe mulai digongso, tatkala harum menguar, tunggu apalagi, saatnya daging kima mulai dimasukkan. Hmm..menerbitkan rasa lapar. Maka Yu Solekah mengorak-arik kima, sebelum diangkat, dikucuri kecap manis, menunggu beberapa saat sebelum kima siap dihidangkan. Aroma harum kima semakin menerbitkan selera.
Terbitlah air liur. Yu Solekah tersenyum semringah. Inilah saatnya, menghidangkan masakan istimewa: Tumis Kecap Kima. Siap disantap dengan ketupat Lebaran.
Yu Solekah mematikan kompor, menyimpan masakan kima ke dalam almari dapur. Mengunci rapat-rapat, seiring suara takmir masjid mengumumkan jika sembahyang Idul Fitri segera dilaksanakan. Yu Solekah bersama anak-beranak ke surau kecil hendak menunaikan sembahyang Ied.
***
Tak ada yang lebih membahagiakan selain berkumpul bersama keluarga. Bertemu anak, menatap mantu, cucu adalah kebahagian yang tak terperi. Seandainya suaminya masih ada tentu merupakan kebahagian sempurna.
Namun berpuluh tahun suaminya pergi untuk selamanya. Hilang di laut saat mencari ikan. Jenazahnya tak pernah ditemukan. Tapi Yu Solekah yakin suaminya sudah mendapat tempat terindah di sisi Allah Swt. Suaminya orang baik, selama perkawinan selalu bertanggung jawab. Lelaki yang lembut, tak pernah marah, sayang pada keluarga. Mengapa orang yang sebaik ia harus begitu cepat pergi? Tapi sudahlah, tak elok mengenang kesedihan. Kemarin sudah nyadaran ke makam. Kini saatnya Yu Solekah membahagiakan keturunan.
Dibantu menantu, Yu Solekah menyiapkan hidangan Lebaran. Tumis kima, sambal goreng tempe tahu, balado telur. Kerupuk. Terhidang di tikar lebar. Mereka sengaja menggelarnya di ruang keluarga yang luas. Yu Solekah bersama keempat anak, menantu dan lima cucu mulai berpesta. Mereka tak sabar menyantap kima berteman lontong. Ya, di Kota Ukir hari Lebaran pertama memang tak ada ketupat. Mereka biasanya membuat dan menyantap ketupat pada aseminggu setelah Lebaran, yaitu bada lomban.
“Kima enak, Mak, “ kata si sulung Kamal. “Beli di mana Mak?”
“Si Jonah yang beli, titip pada saudaranya di Krimun.”
“Pakai bumbu apa Mak, kok rasanya lebih enak?” kata Zaenab si bungsu.
Sementara si penengah dan istrinya dengan lahap menyantap.
“Mak kok tidak makan?” Thoyib, si menantu laki-laki satu-satunya, mengujar tanya.
“Iya Mak. Kima-nya enak, lezat, “ cerocos Talia, si cucu cantik yang kelas tiga SD.
Yu Solekah tersenyum lembut. ”Mak makan belakangan, setelah kalian makan, “ ia pun mulai mengiris lontong. Cukup satu lontong ukuran sedang. Semakin tambah usia, kian terbatas perutnya menampung makanan.
“Mak, kima, masakan kima Mak benar-benar enak, enak. Maknyus. “
Yu Solekah semakin tersenyum riang, dipuji anak, menantu dan cucu. Beberapa tahun tak bertemu, saat Lebaran seperti ini baru bisa berkumpul. Ketiga anaknya tinggal di kota ini, namun entah, kesibukan keluarga membuatnya hanya sesekali mereka berkunjung. Mungkin hanya si bungsu yang sering, karena tinggal sebelah desa. Yu Solekah mulai mengguyur irisan lontong dengan kima. Yu Solekah memakan daging kima. Ah, gigi yang tak genap membuat tak sempurna mengunyah kima. Benar rasa kimanya enak, atau mungkin karena sudah lama tak makan kima. Aih. Mereka, anak beranak sedang nikmat menyantap hidangan Lebaran, ketika dari luar rumah tiba-tiba terdengar keributan. Mata-netra saling berpandang.
“Ada apa?” tanya si bungsu.
“Entah, Kak. Sepertinya ada keributan.”
“Lebaran kok ada ribut. Tak tahu aturan.”
“Kita tengok di luar, “ ujar Yu Solekah.
“Tak usahlah, Mak. Mak lanjutkan saja makannya. Biar aku ae yang keluar, cari tahu.”
Si sulung keluar, tak berapa lama ia masuk bersama perempuan gempal, berambut keriting, menangis tersedu. Ia si Jonah!
“Jonah, ada apa?”
“Tolong aku Mak, polisi menangkapku. Aku ditangkap polisi, aku dituduh ikut membantu menyelundupkan kima. Mak tolonglah aku!”
"Apa?!" Yu Solekah terperanjat.
“Tolonglah aku, Mak. Aku bisa dipenjara. Padahal aku hanya beli kima punya ponakanku, aku beli, tak ikut nadah. Aku tak bersalah. Polisi kini di rumahku, Mak. Aku lari ke sini!”
Yu Solekah terjengat. Jonah bersalah. Ia pun tak bersalah. Tapi bagaimana kalau gara-gara kima ia ditangkap polisi? Duh. Yang ditakutkan Yu Solekah benar terjadi, ketika polisi mendatangi rumahnya, menangkap si Jonah. Ia meronta-ronta. “Saya tak bersalah Pak Polisi, saya hanya beli kima, saya beli. Mak Solekah juga beli kima. Mak Solekah juga…”
“Jonaaa…” Yu Solekah hendak berkata-kata, tapi ia tak sadar sedang mengunyah kima, entah, karena terburu-buru atau terkejut dan takut, daging kima tersangkut di tenggorokan. Yu Solekah mencicil. Ia tersedak, memucat. Maka, anak-beranak, Jonah, polisi, dan penghuni kampung pesisir geger di hari pertama Lebaran itu
“Mak…mak ada apa?”
“Ahaaa…”
“Mak…mak…mak.”
“Tolong-tolong, tolong... Mak keselek kima!’’
________________________________
Kartika Catur Pelita, penulis 700-an cerpen. Cerpen dimuat pada 50 media cetak dan daring. Penulis buku fiksi: Perjaka, Balada Orang-Orang Tercinta, Kentut Presiden. Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara.