Melambatkan Diri
Puncak kesuksesan kadang kala menggiring seseorang pada kehampaan arti hidup. Itu juga dialami Mohammad Istiqamah Djamad (35) yang kemudian memilih jalan memutar untuk kembali pulang. Sekarang dia lebih bisa menikmati hidup ketika berhasil melambatkan diri.
Is, begitu Mohammad Istiqamah Djamad biasa disapa, mampir ke Kantor Redaksi Kompas pada Sabtu (25/5/2019) sebelum tampil di kawasan Kuningan, Jakarta. Berpakaian serba hitam dengan celana longgar dan rambut gondrong keritingnya yang dibiarkan terurai, Is tersenyum semringah. Saat diajak mengobrol, ia kerap mengeluarkan banyolan dan kelakar-kelakar khasnya. Salah satunya, dia menyamakan penampilannya itu dengan salah satu paranormal yang kerap nongol di televisi beberapa tahun lalu.
Dari cara dia berbicara dan gestur tubuhnya, tampak sekali Is sedang berbahagia. ”Saya menggemari masak dan berkeliling. Masak di pinggir sungai dan pantai, yang menikmati keluarga. Berenang, lalu masak,” cerita Is yang bisa membuat 13 jenis sambal ini.
Perpindahan Is ini merupakan salah satu fase penting dalam hidupnya. Is sebelumnya dikenal sebagai vokalis, penulis lagu, dan gitaris Payung Teduh, band yang melambungkan namanya. Bersama Payung Teduh, Is merasakan berada di puncak kejayaan ketika semua mimpi-mimpi seolah menjadi nyata. Berbagai penghargaan mereka sabet. Terakhir, tahun 2017, Anugerah Musik Indonesia memberikan anugerah Karya Produksi Alternative Terbaik untuk lagu ”Akad”.
Kesibukan Is memuncak luar biasa. Dalam sebulan dia bisa manggung hingga 20 kali. Entah itu bersama Payung Teduh ataupun sendiri. Saking sibuknya, kadang pulang hanya ganti koper dan pergi lagi untuk manggung.
Semula itu dia anggap biasa sebagai konsekuensi. Lalu, dia merasa ada yang salah. Istrinya, Agnes Purwanti, mulai protes. ”Iyalah, pulang-pulang cuma bawa keringat dan baju kotor. Tinggal ampasnya,” kata Is memaklumi sikap istrinya.
Kelak situasi ini menginspirasi dia menciptakan lagu bertajuk ”Di Atas Meja”, tentang konflik dia dengan orang yang paling ia sayangi. ”Fasilitas yang semakin mudah didapat membuat kita lupa dengan orang yang memberi energi tersebut,” kata ayah empat anak ini menginsafi. Lagu tersebut menjadi cara Is merajuk sekaligus meminta maaf kepada istri.
Pada saat yang sama, Is merasakan bahwa makin hari makin lelah dengan kesibukannya sebagai orang populer. Ia teringat sindiran sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam Manusia Jakarta, Manusia Mobil tentang absurditas manusia urban yang waktunya terbuang percuma karena kesibukan dan kemacetan.
Tidak ada cara lain, kata Is, selain mengerem. Mengerem itu ibarat orang berada di puncak lalu turun pelan-pelan. Dia boyong keluarganya dari Jakarta ke Makassar, Sulawesi Selatan, sejak keluar dari Payung Teduh pada Januari 2018.
Pada saat itulah dia merasakan kenyamanan hidup. Ia melambatkan diri. Ia mengisi hari dengan segala hal yang sulit dilakukan ketika hidup di Jakarta, seperti main basket, mencuci mobil, antar-jemput anaknya sekolah, ngopi, dan tentu saja masak. Dia juga merasa lebih produktif. ”Sehari bisa dua lagu tercipta. Anak juga mau nambah, ha-ha-ha,” kata Is tentang istrinya yang tengah hamil anak kelima.
Is kini manggung solo menggunakan nama Pusakata. Ini merupakan proyek musik dengan band pengiring The Panganans. Dalam waktu dekat, Pusakata merilis album.
Ketika bersolo karier ini, banyak netizen yang demikian pedas mengkritik karya Is. Kritik ini sebenarnya sudah muncul ketika ia masih bersama Payung Teduh saat memunculkan album Ruang Tunggu (2017). Mereka, antara lain, mengkritik Is yang dianggap telah berubah dan komersial, tak lagi indie. Awalnya Is meladeni semua itu, tetapi malah lelah sendiri. Teman-teman dan istrinya menyarankan agar ia lebih rileks menghadapi para netizen. Sekarang, kalau dikritik, lebih tepatnya dihujat, Is cuma bilang, ”memang saya tidak bisa membuat semua orang happy.”
Sambal kehidupan
Is lahir dan tumbuh dalam pola pendidikan mandiri. Sejak kelas 1 sekolah dasar, ibunya, Musrifah Maddoe, mengajari dia dan sudara-saudaranya mencuci pakaian sendiri. Dalam memberi uang jajan, Musrifah meminta Is menunggui warung coto yang dia kelola. Juga cara memasak coto, konro, sampai bakar ikan.
Is kerap diajak ke pasar untuk memilih ikan segar. Sampai sekarang dia paham betul ciri ikan segar, yakni bermata bening dan tak beraroma. Ibunya pula yang mengajarinya membuat sambal. Jadilah Is yang lihai memasak.
Kunci masak adalah ketulusan. Begitu juga dalam bermusik. Musik yang Is mainkan tak lain mencuri keindahan dan romantisisme memasak. Dalam masak, tidak hanya aroma, visual, dan bebunyian, tetapi sampai dimakan. Dipersembahkan penuh cinta. ”Saya setuju, rasa tak pernah bohong. Ketulusan enggak pernah bohong.”
Dalam memori Is, Musrifah adalah sosok yang melintasi peran ibu pada umumnya. Dia juga yang mengajari Is mengaji, menyanyi, menari, hingga mengatur waktu. Musrifah yang juara baca Al Quran tingkat provinsi itu juga mahir main kasti dan bola voli. Peran dan pengaruh Musrifah yang demikian dominan dalam perkembangan jiwa Is itu menyisakan lubang kehampaan yang demikian dalam ketika ibundanya itu berpulang. ”Kadang saya menangis seperti bayi kalau kangen datang,” kata Is soal ibunya yang belum sempat melihat Is nongol di televisi, sebuah impian lamanya.
Soal menyanyi, sudah sejak dalam ayunan dia dikenalkan dengan lagu. Kerap kali ibunya membuai Is dalam ayunan sembari menyanyikan lagu-lagu bugis atau melayu. Itu menempel kuat dalam alam bawah sadar. Beranjak kanak-kanak, dia dikenalkan dengan lagu-lagu Chrisye, Bing Slamet, hingga P Ramlee.
Selain mempunyai suara merdu warisan genetik dari ibunya, Is rupanya juga mudah memainkan alat musik. Gitar, drum, piano, terompet, dan bas adalah beberapa alat musik yang bisa dia mainkan. Kelak bakat inilah yang menjadi modal dia hingga sukses merantau di Jakarta.
Kemahiran Is menyanyi dan memasak atau membuat sambal rupanya berkaitan. Lagu dan sambal harus sama-sama ada satu kontras yang kuat. Di sambal, seseorang harus memilih salah satu kontras apakah itu pedasnya, kecutnya, atau getirnya. Misalnya, kalau membuat sambal sereh, harus menekankan rasa yang meruang dan hangat. Cabai hanya sebagai aksen.
Dalam menciptakan lagu juga demikian. Ketika berbicara isu sosial, unsur folk harus kuat. Contohnya lagu ”Cemas” yang diciptakan Is setelah bergumul dengan anak-anak pengungsi di Suriah. Siang harinya anak-anak itu bermain ceria, tetapi malamnya mereka sudah tiada terkena peluru tentara. Lagu ”Cemas” diakhiri dengan suara lirih panjang seperti tangisan seseorang yang terimpit nestapa.
Is juga humoris. ”Saya belajar humor dari satirenya kehidupan, he-he-he,” ujar penyuka sneakers yang pernah menjadi pengamen di Kantin Sastra Universitas Indonesia ini.
Jumlah koleksi sneakers Is tak kurang dari 40 pasang. Ia sering membagi-bagikannya kepada keponakan atau kerabat lain. Selain prinsip distribusi kesejahteraan, cara itu dia lakukan juga biar mendapat izin istri untuk beli
sneakers baru. Begitulah Is, dengan melambatkan diri, dia semakin menemukan diri.
Mohammad Istiqamah Djamad
Lahir: Makassar, Sulawesi Selatan, 24 Januari 1984
Pendidikan terakhir: Teachers Training Course, Yamaha Master Course Akademia
Ayah: Fachruddin Djaya
Ibu: Musrifah Maddoe
Istri: Agnes Purwanti
Anak:
- Bandhura Nafeeza Mahajingga (Jingga)
- Gaurapadme Awatara An Naffi (Gaura)
- Ahmad Makkawaru Pusakata (Pusakata/Aso)
- Basheera Marauleng Rawallangi (Bacila/Cila)