Rekapitulasi di KPU Papua: Pukul Meja hingga Lempar Mikrofon
Peliputan kegiatan rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua yang terlaksana selama tiga pekan diwarnai sejumlah cerita unik. Pelaksanaan tahapan ini berjalan molor karena sejumlah masalah yang terjadi.
Papua menjadi provinsi terakhir yang menuntaskan tahapan rekapitulasi perhitungan suara karena diwarnai sejumlah masalah. Wartawan harian Kompas, Fabio Maria Lopes Costa, selama 22 hari mengikuti kegiatan rekapitulasi di KPU Papua yang kadang-kadang diwarnai kericuhan.
Ini untuk kedua kalinya saya meliput tahapan rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua untuk pemilihan presiden dan anggota legislatif sejak lima tahun lebih bertugas di Papua. Pada tahun 2014, saya meliput tahapan rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua di Hotel Aston, Jayapura.
Tahun ini, pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara untuk tingkat Provinsi Papua berlangsung di lantai 7 Hotel Grand Abe, Jayapura. Tempat ini berjarak 10 kilometer dari pusat pemerintahan ibu kota provinsi.
Sebelum memasuki ruang rekapitulasi, kami diperiksa kelengkapan tanda pengenal khusus yang sudah diberikan staf Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua beberapa hari lalu. Sekitar 100 personel kepolisian disiagakan mengamankan Hotel Grand Abe. Hal ini untuk meminimalkan gangguan terhadap pelaksanaan tahapan rekapitulasi.
Pembukaan kegiatan rekapitulasi pada 27 April berlangsung singkat, hanya sekitar 30 menit. KPU Papua dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Papua bersepakat menskors kegiatan tersebut.
Penyebabnya, belum ada satu pun KPU di 29 kabupaten dan kota di Papua yang menyelesaikan tahapan rekapitulasi perhitungan suara, bahkan untuk tingkat distrik atau kecamatan sekalipun. Baru pada 2 Mei ada satu kabupaten, yakni Pegunungan Bintang, yang berhasil menuntaskan tahapan rekapitulasi. Pimpinan KPU Papua akhirnya mengambil langkah menyurati semua KPU di 28 daerah lain.
Dalam suratnya, KPU Papua memberikan peringatan keras agar jajarannya di 28 kabupaten segera menuntaskan rekapitulasi dan membawa dokumen DB1 ke Jayapura. DB1 adalah dokumen hasil rekapitulasi perhitungan suara untuk pemilihan presiden dan anggota legislatif di DPR RI, DPD, dan DPRD Provinsi.
Hingga 13 Mei, baru 19 kabupaten yang menuntaskan tahapan rekapitulasi perhitungan suara. Padahal, batas yang ditetapkan KPU RI hanya sampai 12 Mei 2019. Masih tersisa 10 daerah yang belum tuntas.
KPU dan Bawaslu Papua sampai membentuk tim khusus yang beranggotakan empat orang. Tugas mereka mendorong KPU di 10 daerah tersebut untuk mempercepat tahapan rekapitulasi.
Pelaksanaan rekapitulasi di KPU Papua sering kali berjalan molor hingga berjam-jam. KPU Papua, misalnya, telah menetapkan jadwal dimulai pukul 9 pagi. Namun, praktiknya baru dimulai pukul 15.00 WIT. Gara-gara sering molor, bahkan saya pernah mengikuti tahapan rekapitulasi yang baru berakhir pukul 3 dini hari.
Pernah juga terjadi, anggota KPU dari suatu kabupaten belum menyerahkan dokumen DB1 kepada Bawaslu, saksi partai politik, dan DPD seperti disyaratkan. Padahal, proses rekapitulasi sudah dimulai. Tak ayal, masalah ini memicu protes dari Bawaslu dan saksi parpol. Para saksi yang protes tidak hanya mengeluarkan suara yang keras, tetapi juga memukul meja. Mereka meminta agar proses rekapitulasi dihentikan sebelum laporan DB1 diterima semua saksi parpol dan DPD.
KPU terpaksa menunda kegiatan rekapitulasi untuk memperbanyak dokumen DB1 sesuai jumlah anggota Bawaslu beserta jajarannya serta para saksi parpol dan DPD.
Jemput paksa
Pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara yang terlambat dari waktu yang ditetapkan KPU RI mendorong pimpinan KPU Papua mengambil langkah tegas, yakni menggandeng pihak kepolisian.
Ada indikasi, anggota KPU dari sejumlah kabupaten sebenarnya telah berada di Jayapura. Namun, mereka belum mau melaksanakan rekapitulasi di Hotel Grand Abe. Padahal, sesuai instruksi KPU Papua, setiba di Jayapura, mereka seharusnya langsung membawa dokumen DB1 ke Hotel Grand Abe.
Baca juga: KPU Papua Jemput Paksa Anggota KPUD untuk Percepat Rekapitulasi Suara
Pada 13 Mei sekitar pukul 16.00 WIT, saya menyaksikan anggota Brigade Mobil Polda Papua yang dipimpin Komisaris Besar Jermias Rontini menjemput paksa lima komisioner KPU Kabupaten Puncak beserta dua anggota stafnya dari salah satu hotel di Jayapura.
Mereka dibawa ke Hotel Grand Abe untuk segera melaksanakan rekapitulasi perhitungan suara yang tertunda selama beberapa hari. Komisioner KPU Puncak pun akhirnya membacakan hasil rekapitulasi perhitungan suara sekitar pukul 17.00 hingga 21.00 WIT.
Dari data KPU Papua, pihak kepolisian selama tujuh hari telah menjemput paksa komisioner KPU dari sejumlah kabupaten, yakni Mimika, Dogiyai, Puncak, Puncak Jaya, Yalimo, Lanny Jaya, Nduga, Tolikara, dan Yahukimo.
Salah satu anggota KPU yang dijemput paksa mengaku terpaksa melanjutkan rekapitulasi perhitungan suara di Jayapura karena jika dilaksanakan di kabupaten, nyawa mereka terancam oleh incaran panah dan senjata tajam dari simpatisan calon anggota legislatif (caleg).
Perubahan data
Salah satu masalah yang paling menyita waktu dan menguras emosi peserta kegiatan rekapitulasi adalah indikasi adanya perubahan data hasil pemungutan suara untuk caleg dan parpol tertentu. Hujan interupsi sangat deras ketika saksi dan Bawaslu menemukan indikasi perubahan data hasil pemungutan suara. Ini terutama di 12 daerah yang menggunakan hasil pemilihan dengan sistem noken.
Sistem noken adalah pemungutan suara berdasarkan hasil mufakat warga atau berdasarkan instruksi kepala suku yang dijuluki ”Big Man”.
Baca juga: Menikmati India dalam Wajah yang Berbeda
Penggunaan sistem noken sebenarnya ditengarai melanggar hak warga dalam menyalurkan aspirasinya. Dari sisi parpol, banyak partai harus rela kehilangan suara hingga puluhan ribu akibat sistem ini.
Sebuah partai politik tradisional dan tertua dalam kancah politik di Indonesia, misalnya, tidak berhasil meraih satu suara pun di sejumlah kabupaten. Padahal, partai ini memiliki pengurus dari tingkat kabupaten hingga distrik.
Pimpinan KPU Papua beberapa kali terpaksa menskors pelaksanaan rekapitulasi. Mereka kemudian merekomendasikan KPU sejumlah kabupaten untuk memperbaiki dokumen DB1, misalnya KPU Yahukimo.
KPU Papua mengakui adanya indikasi perubahan data hasil pemungutan suara yang dilakukan oknum penyelenggara pemilu. Sekitar 50 persen dari 29 daerah di Papua terindikasi mengalami perubahan data hasil pemungutan suara untuk caleg dan parpol.
Akibatnya, banyak saksi parpol dan caleg merasa tidak puas dan marah. Puncak amarah saksi terlihat saat pembacaan hasil rekapitulasi dari Kabupaten Kepulauan Yapen pada 14 Mei. Setelah pembacaan yang selesai pukul 23.00 WIT, para saksi langsung mengajukan protes karena KPU Yapen tidak memberikan dokumen hasil rekapitulasi perhitungan suara di tingkat distrik dan kabupaten.
Salah satu saksi parpol, Yan Mandenas, mempertanyakan digunakannya sistem noken di sejumlah distrik kepada Ketua KPU Yapen Moris Muabuai. Padahal, Kepulauan Yapen tidak menerapkan sistem pemilu noken, tetapi one man one vote atausatu orang satu suara. Dengan sistem itu, biasanya tidak ada yang dominan dalam perolehan suara.
Yan mencontohkan perolehan suara di kampung halamannya. Ia mengungkapkan, ada beberapa caleg yang tidak meraih satu suara pun, sementara ada seorang caleg yang meraih lebih dari 50.000 suara. Yan dan Moris kemudian terlibat perdebatan terkait pelaksanaan pemungutan suara di Yapen.
Baca juga: Kisah Fotografer ”Kompas” Memotret Kerusuhan hingga Motor yang Dirusak
Yan yang naik pitam kemudian terlihat melemparkan mikrofon yang ia pegang ke arah Moris yang berjarak 5 meter. Beruntung, Moris yang tengah berdiri di atas mimbar berhasil menghindari lemparan tersebut. Aparat kepolisian kemudian melarikan Moris dan dua anggota KPU Yapen lainnya ke salah satu ruangan untuk melindungi mereka dari amarah saksi yang merasa dirugikan.
Bawaslu Papua kemudian mengeluarkan rekomendasi menolak hasil rekapitulasi di enam daerah, antara lain Kabupaten Mamberamo Raya (26 TPS), Kabupaten Jayapura (47 TPS), Intan Jaya (332 TPS), Paniai (442 TPS), dan Puncak (640 TPS).
Penyebab Bawaslu Papua menolak rekapitulasi di enam daerah itu antara lain tidak diserahkannya dokumen hasil rekapitulasi tingkat distrik atau DA1 dan dokumen DB1 kepada saksi dan Bawaslu, pelaksanaan rekapitulasi yang dilakukan di luar daerah pelaksanaan pemilu, serta tidak adanya pelaksanaan rekapitulasi di tingkat distrik.
Masalah lain yang dihadapi KPU Papua adalah adanya KPU di daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi pemungutan suara ulang serta indikasi perubahan data hasil pemungutan suara oleh oknum penyelenggara pemilu. Perubahan itu dilakukan dalam dokumen rekapitulasi perhitungan suara di kabupaten atau DB11.
Pada akhirnya, pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara tingkat Provinsi Papua tuntas pada 18 Mei pukul 21.00 WIT. Hasil rekapitulasi itu pun disahkan keesokan harinya.
Meskipun liputan tahapan rekapitulasi perhitungan suara selama tiga pekan ini begitu menguras tenaga dan waktu, saya senang bisa mengikutinya. Saya bahagia sudah menjadi bagian dalam mengawal pesta demokrasi di Tanah Papua agar lebih baik dan transparan.