Patung untuk Omah Munir Baru
Rencana bangunan baru untuk Museum Hak Asasi Manusia Omah Munir kini memiliki desain dua patung untuk ditempatkan di ruang utama. Salah satu patung itu mengisahkan keadilan sebagai puncak perjuangan, sedangkan patung lainnya menyiratkan bahwa energi akan selalu dibutuhkan untuk setiap perjuangan menegakkan hak asasi manusia.
Dewan juri memenangi karya Dessy Wahyuni, perupa asal Jakarta, dan Raymond Gandayuwana, perupa asal Depok, Jawa Barat. Keduanya sekaligus ditetapkan sebagai juara utama.
Karya Dessy diberi judul ”Perjuangkan, Tumbuh, dan Berkembang”. Dessy membuat patung itu dengan bahan lembaran akrilik yang dibentuk dan diberi warna cat dengan keseluruhan berdimensi 60 cm x 55 cm x 90 cm.
Patung itu berupa susunan kubus atau kotak dengan enam bagian dasar yang kemudian disusun berlapis hingga enam sampai tujuh tumpukan. Setiap kotak berisi narasi terkait hak asasi manusia.
”Di setiap kotak itu saya menceritakan pentingnya hak anak untuk bahagia, pentingnya akses kesehatan, terutama kesehatan reproduksi bagi perempuan, dan sebagainya,” ujar Dessy seusai menerima penghargaan juara dengan mendapatkan hadiah Rp 50 juta di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (27/5/2019).
Narasi kotak lainnya, sepotong tubuh tergeletak di dekat bendera yang terkibar setengah tiang. Lainnya, ada figur yang mengekspresikan kebebasan bicara. Ada pula figur orang tua dengan dua anak. Ini simbol sebuah keluarga itu memiliki hak untuk sejahtera.
Dessy juga menuangkan sim bol rumah ibadah dari banyak agama. Beribadah di rumah iba dah sesuai agama masing-masing juga hak dasar bagi semuanya.
Di antara puluhan kotak yang tertumpuk itu, di posisi paling atas ditempatkan figur yang mengisyaratkan simbol keadilan. Dua orang yang terdiri dari perempuan dan laki-laki berdiri tegak dan menjunjung tinggi-tinggi sebuah timbangan.
Bobot di kiri dan kanan timbangan itu sama. Dessy mengambil inspirasi Dewi Keadilan dari mitologi Yunani. Akan tetapi, tanpa menampilkan sebuah pedang di salah satu genggaman Dewi Keadilan. Dessy menanggalkan pedang di tangan Dewi Keadilan, mengisyaratkan simbol perlawanan untuk menegakkan keadilan tanpa kekerasan.
Energi
Satu pemenang utama berikutnya karya Raymond yang berjudul ”For The Burnt Flower, I Race”. Bahan utamanya berupa lembaran logam yang membentuk kursi untuk posisi duduk sambil mengayuh sebuah pedal di hadapannya. Kayuhan pedal itu kemudian terhubung dan menggerakkan gerigi untuk memutar kelopak bunga yang mekar di sebelahnya. Raymond tak sempat hadir dalam pengumuman hasil kompetisi tersebut.
Dalam rekaman videonya, Raymond menuturkan, energi juga menjadi bagian dari kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi. Pemenuhan energi juga bagian dari hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat miskin dan marjinal.
Ketua Dewan Juri Andi Achdian menuturkan, karya Raymond ini inovatif. Ia memanfaatkan teknologi untuk menuturkan persoalan hak asasi manusia secara berbeda.
”Makna lain di balik karya Raymond ini bahwa setiap penegakan hak asasi manusia akan selalu membutuhkan energi,” ujar Andi yang juga Sekretaris Dewan Pengurus Yayasan Museum HAM Omah Munir.
Menurut Andi, desain patung karya Dessy itu akan diperbesar hingga tingginya mencapai 6 meter di gedung baru untuk Museum HAM Omah Munir di Kota Batu, Jawa Timur. Gedung baru itu sebagai program revitalisasi dengan anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Batu.
”Saat ini tanah untuk bangunan tersebut dipersiapkan di Jalan Sultan Hasan Halim, dekat Alun-alun Kota Batu. Luasnya sekitar 3.000 meter persegi,” ujar Andi.
Museum HAM Omah Munir yang lama didirikan 2013 di rumah mendiang Munir di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu, Jawa Timur.
Munir lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia meninggal setelah penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, 7 September 2004. Hasil otopsi di Amsterdam menunjukkan kandungan arsenik, racun mematikan di tubuhnya.
Untuk Kompetisi Seni Rupa Ruang Publik Omah Munir ini, anggota dewan juri lainnya meliputi Debra H Yatim, Dolorosa Sinaga, Seno Gumira Ajidarma, dan Wardah Hafids. Dari 80 karya yang didaftarkan, 77 karya dinilai layak ikut kompetisi.
Kemudian ditetapkan 10 karya terpilih dengan tiga karya terbaik. Selain karya Dessy dan Raymond, karya Alfiah Rahdini, perupa asal Bandung, Jawa Barat, sebagai karya terbaik kedua dengan judul ”Touch Me if You Dare”.
Sebanyak 10 karya terpilih itu dipamerkan di Perpustakaan Nasional. Pembukaan semestinya 23 Mei 2019 setelah mengalami penundaan akibat kerusuhan 21-22 Mei 2019 di dekat lokasi itu. Pamerannya kemudian diperpanjang hingga 20 Juni 2019.
Negara
Kompetisi kali ini mengusung tema ”Hak atas Kehidupan yang Layak”. Suciwati, istri mendiang Munir, dalam tulisan pengantarnya, menyebutkan, karya-karya yang disertakan dalam kompetisi ini menunjukkan tantangan untuk menghadirkan tanggung jawab negara.
”Tantangan menghadirkan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas kehidupan yang layak masih dihadapi masyarakat dan organisasi-organisasi yang melakukan advokasi, HAM,” kata Suciwati sekaligus mewakili Yayasan Museum HAM Omah Munir.
Beberapa karya menunjukkan persoalan yang spesifik, seperti hilangnya keadilan, diskriminasi, minimnya layanan publik, dan sulitnya mendapatkan kehidupan yang layak. Ketika HAM diabaikan negara, seni yang berbicara melalui karya-karyanya.
”Sebab, HAM adalah jantungnya seni. Sebab, seni adalah suara nurani,” ujar Suciwati.
Untuk kompetisi seni rupa ruang publik ini, Yayasan Museum HAM Omah Munir menggandeng Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Yayasan Tifa. Ini menyusul ditetapkannya desain arsitektural revitalisasi Museum HAM Omah Munir tahun lalu melalui kompetisi serupa dengan menggandeng Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kota Malang.