Fathulloh Menebar Benih Mandiri Pangan
Fathulloh (40) menyebarkan semangat memenuhi kebutuhan pangan secara swadaya dengan membentuk Komunitas Petani Kota. Kebutuhan ikan dan sayuran tercukupi, anggota komunitas itu memperoleh penghasilan tambahan. Sepetak lahan mungil di rumah pun cukup untuk menerapkan sistem yang digalakkan Fathulloh.
Fathulloh (40) menyebarkan semangat memenuhi kebutuhan pangan secara swadaya dengan membentuk Komunitas Petani Kota. Anggota komunitas itu memperoleh penghasilan tambahan dari akuaponik, sekaligus bisa memenuhi kebutuhan pangan berupa ikan dan sayuran. Mereka bisa memanfaatkan sepetak tanah di rumah untuk menerapkan sistem akuaponik.
Di Kelurahan Pamulang Timur, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten, Fathulloh berbagi pengetahuan kepada empat peserta pelatihan akuaponik dari Jakarta dan Banten. Dia menerangkan akuaponik atau perpaduan akuakultur dan hidroponik.
“Jangan sampai ngantuk, ya. Volume suara saya sudah tinggi nih,” kata Fathulloh sambil tertawa, Minggu (28/4/2019).
Di belakang mereka, terlihat sembilan akuaponik. Panjang setiap akuaponik 4 meter dengan lebar 1,5 meter dan tinggi 2,5 meter. Akuaponik merupakan cara bercocok tanam dengan menggunakan perpaduan antara budidaya ikan dan hidroponik.
Bagian bawah akuaponik berupa kolam dengan alas terpal berisi antara lain ikan lele, gurame, dan nila yang gemuk. Bagian atas akuaponik tersebut dipasangi pipa-pipa yang dibolongi. Pipa-pipa itu menjadi wadah untuk pot tanaman. Kangkung, pakcoy, dan seledri tampak rimbun.
Di lahan itu, terdapat sekitar 3.500 tanaman dan 10.000 ikan. Bunyi kucuran air dari pipa-pipa yang mengalir ke kolam tak henti terdengar. Seusai menjelaskan teori, Fathulloh mengajak para peserta pelatihan itu melihat akuaponik.
Air kolam dimanfaatkan untuk menyuburkan sayuran. Tanaman juga berfungsi sebagai biofilter sehingga air itu bisa digunakan lagi. “Air dikembalikan ke kolam. Sisa pakan dan kotoran ikan memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman. Setiap lele misalnya, memenuhi nutrisi empat pohon,” ujarnya.
Di sela pelatihan tersebut, Fathulloh juga melayani beberapa konsumen yang datang langsung untuk membeli ikan dan sayurnya. “Lihat saja ke belakang,” ujar Fathulloh kepada pengemudi sepeda motor yang hendak membeli 1 kilogram lele.
Pegawai Fathulloh langsung menangkap lele. Hanya sekitar 5 menit, jeroan lele sudah dibersihkan dan ikan segar seharga Rp 25.000 itu dimasukkan ke dalam plastik.
Fathulloh bisa memperoleh total satu kuintal ikan per minggu. Lele djual seharga Rp 25.000 per kilogram dan ikan nila Rp 30.000 per kilogram. Sementara, kuantitas sayur yang dipanen sekitar 20 kilogram per bulan. Salah satu sayuran yang dihasilkan adalah, pakcoy yang dijual Rp 25.000 per kilogram. Komoditas itu lebih mahal karena dihasilkan secara organik.
Fathulloh menebar benih kemandirian pangan dengan mengajarkan akuaponik di lahan terbatas. “Pemilik akuaponik bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Kalau mau, lahan seluas 1 meter persegi saja sudah cukup untuk akuaponik yang kecil,” ucapnya.
Para peserta pelatihan akuaponik mengetahui aktivitas Fathulloh yang dimuat situs www.bosletong.com. Situs ini memaparkan sistem perpaduan pola tanam antara perikanan, pertanian dan peternakan yang terintegrasi dan saling menguntungkan. Pelatihan itu dilakukan minimal dua kali per bulan.
Fathulloh mengadakan pelatihan sejak tahun 2011. Jika sangat banyak, jumlah peserta bisa mencapai 50 orang per pertemuan. Setiap kali pelatihan berlangsung selama empat jam. Peserta bukan hanya dari Jabodetabek, tetapi juga negara lain seperti Jerman, Malaysia dan Jepang. Bahkan, dia pernah menjadi konsultan usaha akuaponik yang dijalankan warga Taiwan di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Tahun, 2011, untuk penyebaran inforemasi akuaponik lebih luas, Fathulloh mendirikan Komunitas Petani Kota. Saat komunitas itu baru dibentuk, jumlah anggota sekitar 20 orang. Kini, jumlah anggota mencapai 700 orang.
Mereka tersebar antara lain di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, dan Bengkulu. Komunitas itu menyebarkan pengetahuannya kepada tetangga, saudara, murid, dan temannya. Fathulloh juga menggunakan media sosial Facebook, Instagram, dan Whatsapp.
“Media-media itu kami gunakan untuk berdiskusi, menyampaikan ide, dan memecahkan persoalan. Banyak peserta pelatihan akuaponik yang tak tahu harus menjual komoditasnya ke mana. Jadi, saya dirikan koperasi pada tahun 2017,” kata Fathulloh sering mengunjungi anggota komunitas di berbagai daerah.
Koperasi Produsen Komunitas Petani Kota itu membantu para anggota Komunitas Petani Kota menyalurkan hasil panennya. Anggota koperasi berjumlah 53 orang. Untuk membantu para anggota, tahun 2014, dia juga mendirikan Usaha Dagang (UD) Agro Bosletong Sistem. Bosletong itu singkatan dari bekal orang sejahtera, lele di gentong.
“Saya juga sedang mendirikan Rumah Hijau. Konsumen bisa membeli hasil panen akuaponik, makan, atau memetik sendiri sayuran yang mereka mau,” kata Fathulloh.
Di sela aktivitas tersebut, Fathulloh menyelesaikan bukunya, Panen Sayur Bonus Ikan yang diterbitkan Penebar Swadaya pada tahun 2015. Perpustakaan Nasional RI memberikan penghargaan Buku Terapan Terbaik Tahun 2016 atas karya tersebut.
Hidup mandiri
Ketertarikan Fathulloh menekuni hidroponik tumbuh sejak kecil. Dia kerap membantu mengurus kebun, sawah, dan kolam ikan milik orangtuanya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. “Ikan yang dibudidayakan seperti mas, lele, dan nila. Kalau kebun, ditanami kangkung, sawi, jagung, dan mentimun,” katanya.
Fathulloh lantas kuliah di Institut Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi, Kabupaten Bekasi. Tak dinyana, dompet Fathulloh raib dicuri. “Sudah, 15 hari saya utang sama penjual kue. Pokoknya bisa makan meski hanya getuk, singkong, kue pisang,” ujarnya sambil tersenyum.
Sesudah orangtuanya mengirim uang, Fathulloh melunasi utangnya. Fathulloh tak patah arang. Dia lantas mendaftar sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua biaya ditanggung teman sekampung Fathulloh yang juga kuliah di universitas tersebut.
“Saya numpang di indekos dia salama setahun. Uang pendaftaran ujian masuk universitas itu, dia juga yang mengurusnya,” ujarnya. Fathulloh. Untuk mandiri, dia mengajar privat bidangbiologi, fisika, kimia, dan matematika.
“Kuliah bisa dibayar. Sisa dari honor mengajar itu saya gunakan untuk bertani ikan lele dan gurame di lahan sewaan seluas 1.000 meter persegi,” katanya. Fathulloh membudidayakan ikan tersebut di Kabupaten Bogor, Jawa Barat hingga semester lima.
Pada tahun 2008, usaha itu lesu. Dia balik lagi menggeluti perikanan dengan menggandeng sekitar 10 petani. Fathulloh memberikan modal untuk mereka, membeli pikap, dan menyewa lahan di Kabupaten Bogor. Para petani menghuni gubuk di lahan itu.
“Tahun 2010, beberapa petani minta balik ke rumah. Saya keteteran. Peralatan banyak yang hilang. Saya mulai kehilangan kekuatan,” katanya.
Lahan ditinggalkan dan ikan yang tersisa dijual kepada beberapa penjual sayur keliling dengan gerobak. Ikan dibayar jika sudah laku.
“Saya taruh ikan-ikan itu di gentong. Budidaya dilakukan di lahan sempit. Hanya seluas 2 meter persegi di samping garasi,” ujarnya. Fathulloh jadi pening karena masalah air. Setiap tiga hari, air dalam gentong menjadi bau karena kotoran ikan menumpuk.
“Ikan diberi pakan minimal dua kali per hari. Feses tak terurai. Lama-lama capek buang air. Saya mau airnya bisa dipakai lagi supaya hemat,” ucapnya. Fathulloh lalu bertemu pakar hidroponik agar air itu tidak mubazir. Pakar tersebut ternyata mempraktikkan akuaponik.
“Tapi, kangkung dan bayam yang dia tanam, kuning semua. Saya praktikkan akuaponik, malah sayur-mayurnya hijau,” ujarnya.
Setelah dipelajari, ternyata praktisi akuaponik harus mengutamakan ikannya, bukan tanaman. Ikan yang sehat akan menghasilkan tananam berkualitas. “Saya ajak teman-teman yang mengintegrasikan budidaya ikan dan sayuran. Malah, saya paksa mereka,” ujarnya sambil tergelak. Informasi mengenai keberhasilan Fathulloh menyebar hingga dia diundang berbagai perusahaan swasta hingga badan usaha milik negara.
Dia diminta mengajari para pensiunan agar punya penghasilan seusai tak bekerja. Sekolah-sekolah pun mengajak Fathulloh untuk mengedukasi murid-muridnya. “Komunitas yang saya bentuk menjadi duta petani desa. Saya mengajak masyarakat membangun ketahanan pangan,” ucapnya.
Fathulloh
Lahir : Jombang, Jawa Timur, 20 Mei 1979
Istri : Anik Rudiyati (38)
Anak :
Saibil Gifa Al Fath (14)
Sabda Umara Al Fath (7)
Secha Maulana Al Fath (3)
Pendidikan :
- Madrasah Ibtidaiyah Sedati, Kabupaten Jombang, Jawa Timur (1991)
- Madrasah Tsanawiyah Negeri Filial Tambakberas, Kabupaten Jombang, Jawa Timur (1994)
- Madrasah Aliyah Negeri Bahrul Ulum Tambakberas Kabupaten Jombang, Jawa Timur (Lulus 1997)
- Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Lulus 2003)