Inflasi Spiral di Masa Hari Raya
Masa perayaan Idul Fitri selalu menjadi pendorong inflasi di bulan tertentu. Efek spiral kenaikan upah dari tunjangan hari raya mendorong peningkatan konsumsi yang kemudian berimbas pada kenaikan harga.
Perayaan Idul Fitri atau sering disebut juga Lebaran telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Setiap tahun, hampir semua masyarakat dari berbagai agama larut dalam kegembiraan Lebaran.
Sebagian besar masyarakat memanfaatkan Lebaran untuk mudik, menautkan kembali tali silaturahmi dengan keluarga besar yang lama tak berjumpa. Maklum saja, aktivitas sehari-hari membuat perbedaan panjang waktu dan jarak. Hal inilah yang menjadikan suasana Lebaran berbeda jika dibandingkan dengan hari raya keagamaan lainnya.
Selain meningkatnya aktivitas mudik, bersilaturahmi, dan berlibur, hari raya Lebaran juga nyaris identik dengan meningkatnya belanja di kalangan masyarakat. Lebaran juga menjadi momen istimewa di mana semua orang, tua dan muda, anak dan dewasa, menambah konsumsi tanpa terkecuali.
Baca juga: Dua Sisi Penekan Angka Inflasi
Mereka mengalokasikan anggaran konsumsi untuk berbagai hal, seperti membeli baju baru, aneka penganan dan kudapan, atau memperbarui perabotan agar rumah semakin cantik saat menyambut tamu. Berbagai aktivitas masyarakat di masa Lebaran itu terpotret juga dari arus perputaran uang.
Peredaran uang saat Lebaran lebih cepat dibandingkan dengan hari biasa yang selalu memicu terjadinya inflasi. Angka inflasi di masa Lebaran selalu lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Data bulanan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Juni 2018 mencatat adanya inflasi sebesar 0,59 persen. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dua bulan sebelumnya, yaitu 0,21 persen pada bulan Mei dan 0,1 persen di bulan April. Pola serupa terjadi pula pada pada masa Lebaran di tahun-tahun sebelumnya.
Spiral upah
Meningkatnya inflasi di bulan-bulan tertentu seiring peningkatan konsumsi tak lepas dari efek kenaikan temporer kenaikan pendapatan. Lebaran tak lepas dari pembagian tunjangan hari raya (THR) bagi para pekerja. Di mana pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus-menerus atau lebih menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan.
Berdasarkan data yang dirilis BPS bulan Agustus 2018, lebih kurang dua dari lima orang penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas berstatus pekerjaan sebagai buruh, karyawan, atau pegawai. Jumlahnya mencapai 49,23 juta orang.
Angka tersebut naik 2,46 persen dari tahun 2017 sebesar 48,05 juta buruh, karyawan, atau pegawai. Angka pekerja berstatus buruh, karyawan, atau pegawai menunjukkan tren yang konsisten meningkat sejak 2014 dan diperkirakan akan terus meningkat di tahun mendatang.
Sejak tahun 2015 hingga 2018, inflasi nasional cenderung stagnan di sekitar angka 3 persen.
Melihat besarnya penduduk yang bekerja sebagai buruh, karyawan, atau pegawai, dapat dipastikan bahwa uang beredar dari pemberian THR akan berdampak signifikan pada kenaikan konsumsi.
Sebagai gambaran, tahun 2018 dan tahun ini THR yang mengucur untuk karyawan aparatur sipil negara masing-masing Rp 35,76 triliun dan Rp 40 triliun. Pemberian THR ini, menurut analisis Institute for Development of Economics and Finance (Indef), bahwa kenaikan THR akan berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga 5,1 persen hingga 5,2 persen.
Peningkatan konsumsi rumah tangga dari pemberian THR pada gilirannya akan meningkatkan permintaan sehingga mendorong kenaikan harga. Dalam teori ekonomi, alur demikian merupakan cerminan dari fenomena inflasi spiral upah dan harga.
Alur spiral
Inflasi spiral yang terjadi pada masa Lebaran cenderung muncul melalui komponen bergejolak (volatile food). Komponen bergejolak, mengacu pada definisi Bank Indonesia, adalah inflasi yang dominan terjadi karena adanya kejutan perubahan harga di kelompok bahan makanan.
Sebagai sebuah momen istimewa, masa Lebaran mendorong peningkatan pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan. Makanan yang dikonsumsi mayoritas masyarakat pada masa Lebaran, baik dari sisi jenis dan kuantitas, biasanya akan berbeda dengan makanan yang mereka konsumsi sehari-hari.
Mengacu pada data BPS, inflasi Indonesia yang pada masa Lebaran 2018 jatuh di bulan Juni tercatat 1,28 persen. Angka inflasi sebesar itu lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga makanan baik mentah maupun jadi, minuman, rokok, dan tembakau.
Diduga pertumbuhan ekonomi stagnan disebabkan inflasi harga pangan yang bergejolak atau volatile food cenderung masih tinggi, meskipun inflasi umum terbilang rendah.
Sebagai gambaran, tahun 2018 tercatat inflasi di kelompok makanan, minuman, rokok, dan tembakau 3,91 persen, sedangkan angka inflasi umum sebesar 3,13 persen. Inflasi komponen bergejolak ini selalu berada di atas angka inflasi umum sejak 2014.
Penting dicermati pula, angka inflasi komponen bergejolak di masa Lebaran selalu tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Bahkan, dua bulan sebelum Lebaran tahun 2018, inflasi bahan makanan sempat mengalami angka minus 0,26 persen.
Cenderung stagnan
Dalam konteks perekonomian secara makro, inflasi yang terjadi di suatu negara dapat dipandang sebagai hal positif. Idealnya, inflasi yang terjadi akan mendorong perekonomian untuk terus tumbuh. Kendati demikian, spiral inflasi di masa hari raya Lebaran agaknya kurang mencerminkan kondisi demikian, khususnya dalam beberapa tahun belakangan.
Tingginya inflasi komponen bergejolak lebih menggambarkan persoalan pengelolaan pasokan dan distribusi bahan makanan yang bersifat temporer sehingga tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini paling tidak menjadi salah satu faktor yang menjelaskan inflasi tahunan dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun kemudian stagnan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir periode Lebaran, inflasi komponen bergejolak selalu lebih tinggi dari inflasi umum. Tahun 2018, tercatat inflasi makanan, minuman, rokok, dan tembakau mencapai 3,91 persen, melampaui angka inflasi umum sebesar 3,13 persen di tahun yang sama.
Tahun 2015 tercatat inflasi umum hanya di angka 3,35 persen, sedangkan inflasi komponen bergejolak mencapai 6,42 persen.
Sebagai sebuah momen istimewa, masa Lebaran mendorong peningkatan pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan.
Tingginya angka inflasi komponen bergejolak diperkuat juga oleh profil pengeluaran penduduk yang condong ke arah konsumsi pangan. Data Badan Pusat Statistik juga memberikan gambaran bahwa lebih kurang tiga perempat proporsi pengeluaran dari 40 persen kelompok penduduk berpengeluaran rendah digunakan untuk konsumsi pangan.
Sepanjang tahun 2014-2018, laju pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk Indonesia terbilang stagnan di kisaran delapan persen. Pendapatan yang cenderung stagnan dari tahun ke tahun cenderung berimbas pada tingkat konsumsi yang juga tumbuh stagnan.
Inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan juga memberikan gambaran serupa. Sejak tahun 2015 hingga 2018, inflasi nasional cenderung stagnan di sekitar angka 3 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi terjebak di kisaran angka 5 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Kondisi serupa juga tergambarkan pada tren inflasi di bulan-bulan masa Lebaran. Inflasi di masa Lebaran tahun 2014-2015 tercatat stagnan di 0,93 persen. Adapun periode 2016-2018, inflasi masa Lebaran menurun dan terus stagnan di angka 0,69 persen.
Berbagai tren data yang ada pada akhirnya mengindikasikan, spiral inflasi yang muncul setiap Lebaran boleh jadi tak lebih dari efek temporer yang tidak berdampak signifikan memacu pertumbuhan ekonomi. (AGUSTINA PURWANTI/LITBANG KOMPAS)