Peluang ekspor produk usaha kecil menengah dinilai terbuka. Pelaku usaha berkesempatan menggarap ceruk pasar dengan keunikan produk yang tak mampu dipenuhi pabrikan.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peluang ekspor bagi pelaku usaha kecil menengah dinilai terbuka. Mereka memiliki kesempatan menggarap ceruk pasar dengan keunikan produk yang tak mampu dipenuhi pabrikan atau industri skala besar.
”UKM lebih pas mengekspor produk-produk unik, spesifik, dan jumlahnya terbatas. Ini ceruk pasar besar yang terbuka bagi UKM,” kata Kepala Bidang Organisasi International Council for Small Business (ICSB) Indonesia Samsul Hadi ketika dihubungi, Minggu (2/6/2019).
Produk ekspor yang memenuhi keunikan dan lokalitas kuat terutama produk makanan minuman, mode, dan juga produk kriya atau produk berbasis kerajinan tangan. UKM harus mengoptimalkan kekuatan berupa keunikan produk dalam menggarap pasar ekspor.
”Hal ini karena pelaku UKM pasti akan kalah bersaing ketika harus berhadapan dengan produk massal industri di negara lain yang lebih efisien dan kompetitif di biaya produksi, logistik, dan lainnya,” kata Samsul.
UKM berskala usaha kecil memiliki keluwesan dalam menghasilkan produk unik berjumlah terbatas. Di sisi lain, usaha atau industri dengan skala lebih besar akan sulit atau tidak efisien ketika harus mengerjakan produk sejenis.
”Jadi, keterbatasan jumlah produk UKM dengan segala keunikannya itu yang harus diangkat dalam berpromosi. Keunikan tiap produk yang dibuat dengan sentuhan tangan UKM akan menciptakan nilai penjualan di pasar ekspor,” ujar Samsul.
Samsul mengatakan, para duta besar Indonesia berperan penting menginformasikan peluang pasar di negara tempat mereka bertugas kepada UKM di Indonesia. Selain itu, para duta besar juga dapat menyampaikan potensi produk UKM Indonesia kepada pasar di negara lain.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih menuturkan, Indonesia berpeluang meningkatkan ekspor perhiasan. Menurut dia, produk Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Daya saing produk perhiasan ditopang kualitas, desain yang selalu diperbarui dan inovatif, serta harga kompetitif.
Karakter industri perhiasan nasional dinilai menggabungkan kekuatan teknologi permesinan dengan pengerjaan menggunakan keterampilan tangan manusia. ”Ini yang jarang dimiliki industri perhiasan di negara lain,” kata Gati.
Terkait tantangan ekspor perhiasan, Kemenperin mencatat ada beberapa negara tujuan ekspor, misalnya Uni Emirat Arab, yang mengenakan bea masuk 5 persen. Bea masuk ini mengurangi daya saing harga perhiasan Indonesia. Kemenperin mencatat, nilai ekspor perhiasan di tahun 2018 sebesar 2,05 miliar dollar AS.
Negara tujuan ekspor produk emas dan perhiasan nasional didominasi negara-negara seperti Singapura, Jepang, Hong Kong, dan Swiss. Sebanyak 95,32 persen dari total ekspor mengarah ke negara-negara tersebut.
Sementara itu, data terbaru Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai ekspor perhiasan/permata (nomor HS 71) sepanjang Januari-April 2019 sebesar 1,996 miliar dollar AS atau turun 12,36 persen dibandingkan dengan periode sama 2018 yang 2,278 miliar dollar AS. (CAS)