Mengembalikan Kepercayaan Pada Multilateralisme
Jepang dan Singapura adalah sekutu dekat Amerika Serikat di barat Samudera Pasifik. Dengan status itu, mereka berusaha keras mengingatkan dampak kecenderungan unilateral Washington pada tatanan global.
Persekutuan kuat AS-Jepang-Singapura paling tidak terlihat dari sisi militer. Jepang secara resmi menyediakan pangkalan militer bagi AS. Sementara kapal-kapal perang AS secara rutin berlabuh, untuk perawatan atau pembekalan ulang, di Singapura. Tentara Singapura menempatkan peralatan perang dan berlatih di sejumlah pangkalan militer AS.
Di sisi lain, kedua negara itu bisa mencapai kondisi sekarang karena multilateralisme. Karena itu, Singapura dan Jepang cemas dengan kecenderungan AS menjauhi multilateralisme. Perdana Menteri Singapura Lee Hsieen Loong menyebut AS sering bertindak unilateral. AS mengenakan bea masuk impor dan sanksi perdagangan di luar ketentuan organisasi perdagangan dunia (WTO). AS lebih suka perundingan bilateral menghadapi negara kecil dan menggunakan kekuatan. Cara itu memberi keuntungan pada AS dibandingkan pada kepentingan bersama yang menopang multilateralisme. Hal itu mencemaskan banyak teman dan sekutu AS."Sebagai negara kecil, kami secara alamiah dirugikan dalam perundingan bilateral," kata dia sebagaimana tercantum dalam naskah lengkap pidatonya di Shangri La Dialogue, forum dialog pertahanan yang setiap tahun dihelat Singapura.
Sementara Jepang memanfaatkan muhibah Presiden AS Donald Trump ke Tokyo dan statusnya sebagai pemimpin G20 periode 2019 untuk mengingatkan AS dan Trump. Dalam serangkaian pertemuan informal dan formal selama muhibah Trump di Tokyo, PM Jepang Shinzo Abe "menyampaikan pandangan secara jujur dan terbuka" menyampaikan persoalan itu. Para diplomat menggunakan frasa itu untuk menggambarkan pembicaraan tanpa kesepakatan, walau para pihak sudah menyatakan dan saling memahami pendapat masing-masing. “Perdana Menteri mendiskusikan masalah itu (perang dagang) dengan Presiden Trump. Dampaknya pada ekonomi global,” kata seorang diplomat senior di Kementerian Luar Negeri Jepang.
Diplomat yang menolak namanya diungkap itu menyebut, Abe mengingatkan Trump bahwa perang dagang AS dengan China telah berimbas ke mana-mana. Apalagi, AS menerapkan pembatasan tarif pada berbagai negara, termasuk pada Jepang.
Gubernur Bank Sentral Jepang Hariko Kuroda menyebut, perang dagang yang dimulai Trump menjadi salah satu penyebab peningkatan ketidakpastian perekonomian global. “Meski perundingan dagang terlihat menunjukkan kemajuan, sejumlah masalah tetap harus diselesaikan. Karena meluasnya kenaikan tarif, biaya perdagangan mungkin naik, dan aktivitas korporasi mungkin melambat karena menimbang ulang lokasi produksi dan rantai produksi global,” tuturnya.
Perundingan dagang bilateral disebutnya tidak bisa menyelesaikan masalah yang dipicu Trump itu. “Defisit (neraca perdagangan) tidak serta merta berarti baik atau buruk,” ujarnya.
WTO
Presiden Lembaga Hubungan Internasional Jepang Kenichiro Sasae dan Lee sepakat bahwa WTO, salah satu komponen inti multilateralisme, kini lumpuh. "AS telah kehilangan kepercayaan pada WTO," ujar Lee.
WTO dibuat dengan prinsip-prinsip perdagangan dunia yang masih didominasi produk pertanian dan manufaktur. Kini, perdagangan global juga memberi porsi besar pada teknologi, hak kekayaan intelektual, dan digital. Fenomena baru itu membutuhkan peraturan baru pula. "WTO sudah ketinggalan zaman," kata Sasae yang juga diplomat senior Jepang itu.
Namun, tidak berarti WTO dan lembaga multilateralisme lain harus ditinggalkan atau dihambat.
"Kita perlu mereformasi lembaga multilateral. Kita perlu membangun arsitektur kerja sama internasional dan kawasan yang lebih luas. Saat negara-negara meningkatkan kerja sama ekonomi, bukan hanya berbagi peningkatan kesejahteraan semata. Melainkan juga keamanan bersama. Hal ini akan menguntungkan negara besar dan kecil," tutur Lee.
Kelumpuhan WTO dan keperluan menjaga multilateralisme menjadi penyebab Jepang dan Singapura menyokong kemitraan lintas pasifik (TPP). AS, meski menjadi inisiator TPP, malah lebih dulu meninggalkan kerja sama lintas negara itu. Negara-negara yang tersisa di TPP telah menyepakati Kesepakatan Komprehensif dan Progresif TPP (CPTPP). Sejumlah negara tertarik bergabung dengan CPTPP.
Wakil Khusus Jepang untuk G-20 Koji Tomita mengatakan, G-20 harus bisa menunjukkan multilateralisme adalah soal pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif. "Harus menunjukkan kerja jelas dan keseriusan pada multilateralisme. Kembalikan kepercayaan pada multilateralisme,” tuturnya.
Tomita mengatakan, G-20 harus menjadi teladan untuk mengembalikan kepercayaan pada multilateralisme. Status G-20 sebagai kumpulan negara yang menguasai 85 persen perekonomian global menjadi alasan utama. Dengan penguasaan sebesar itu, aktivitas G-20 akan sangat berdampak pada perekonomian global.
”G-20 harus bisa menunjukkan multilateralisme bukan hanya soal angka dan statistik. Harus ditunjukkan apa manfaatnya. Jangan hanya memandang hubungan antarnegara dari segi neraca perdagangan yang defisit,” kata ekonom CSIS, Fajar Hirawan, di sela forum T-20.
Impor yang memicu defisit harus dibedah untuk memastikan manfaatnya bagi perekonomian suatu negara. ”Impor baja dan mesin dibutuhkan sebagai modal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara. Hal itu seharusnya dihitung dan dipandang sebagai manfaat multilateralisme,” katanya.
Tidak kalah penting adalah G-20 harus mendorong pertumbuhan yang bermanfaat. Pertumbuhan tidak hanya harus merata. ”Untuk itu, perlu dipertimbangkan soal kualitas dan nilai tambah infrastruktur seperti sedang dikejar di Indonesia. Tujuan pemerataan bagus. Tetapi, perlu dipikirkan bagaimana infrastruktur bisa memberi nilai tambah,” tuturnya.
”AS pernah menguasai 50 persen produk domestik bruto global. Hal itu berarti AS mendapatkan surplus dari negara-negara lain. Sekarang, seharusnya AS tidak perlu terlalu keras karena porsinya dinilai mengecil,” kata mantan Presiden Majelis Umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sekaligus Menteri Pendidikan Kenya Amina Mohammed.
Perekonomian AS, kata Amina, tidak berkurang. Hal yang terjadi adalah perekonomian negara lain ikut berkembang sehingga kontribusinya secara global bisa meningkat. ”Tujuan pembangunan global adalah memeratakan perekonomian negara-negara,” ujarnya.