Penerbangan Global Dikhawatirkan Terimbas Perang Dagang
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
SEOUL, MINGGU — Intensifnya perang dagang Amerika Serikat-China dan kenaikan harga bahan bakar dikhawatirkan menekan keuntungan maskapai penerbangan secara global pada tahun ini. Asosiasi Transportasi Udara Internasional mengatakan Minggu (2/6/2019) bahwa peringatan itu datang pada pertemuan tahunan maskapai global di Seoul, di mana terungkap bahwa laba bersih kolektif dunia penerbangan pada 2019 diperkirakan senilai 28 miliar dollar AS, turun dari perkiraan 35,5 miliar dollar AS yang dirilis pada bulan Desember tahun lalu.
Menurut IATA, prospek suram dunia penerbangan didorong oleh kenaikan biaya di seluruh sektor, termasuk tenaga kerja, bahan bakar dan infrastruktur. Pihak IATA juga menambahkan perang perdagangan yang memburuk antara kedua kekuatan global tidak membantu penerbangan global. "Melemahnya perdagangan global kemungkinan akan berlanjut ketika perang perdagangan AS-China meningkat," kata kepala eksekutif IATA Alexandre de Juniac. "Ini terutama berdampak pada bisnis kargo, tetapi lalu lintas penumpang juga bisa terkena dampak ketika ketegangan meningkat," tambahnya.
Dua ekonomi teratas dunia itu telah terkunci dalam perang dagang sejak tahun lalu. Keduanya saling bertukar penerapan tarif untuk barang-barang bernilai ratusan miliar dollar AS dan membuat pasar jatuh. Kejatuhan itu telah mencapai tataran global, membuat manufaktur di banyak negara Asia yang bergantung pada ekspor terpukul.
Dua kecelakaan
Pertemuan IATA tahun ini, yang mewakili 290 maskapai penerbangan yang terdiri dari 82 persen lalu lintas udara global, digelar setelah dua kecelakaan pada Oktober dan Maret yang menewaskan ratusan orang. Kedua kecelakaan itu melibatkan pesawat jet Boeing 737 MAX 8, mengubah pembuat pesawat terbesar di dunia pada sebuah tanggung jawab yang menempatkan "reputasi industri dalam sorotan", kata de Juniac.
Otoritas AS telah memutuskan pelarangan penerbangan bagi pesawat Boeing 737 MAX 8, mengikuti langkah yang diambil sejumlah negara lain. Sejumlah maskapai telah mengindikasikan mereka akan mencari kompensasi karena mereka tidak dapat menggunakan armada 737 MAX 8 yang mereka miliki. Kepala IATA mengatakan pekan lalu pesawat jet yang bermasalah akan tetap dilarang terbang selama setidaknya 10 hingga 12 pekan lagi. Ia mengatakan keputusan terkait hal itu sepenuhnya ada di tangan para regulator.
Sebelum dua kecelakaan yang menewaskan 346 orang, regulator maskapai penerbangan di seluruh dunia pada umumnya mengakui sertifikasi yang dikeluarkan oleh rekan mereka di negara tempat pesawat itu diproduksi. Dalam hal ini, pihak yang dimaksud adalah Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA). Namun setelah kecelakaan itu, Seattle Times melaporkan bahwa FAA telah mendelegasikan bagian dari proses sertifikasi untuk pesawat kepada para insinyur Boeing.
"Kepercayaan pada sistem sertifikasi telah rusak - di antara regulator, antara regulator dan industri dan dengan masyarakat yang bakal terbang," kata de Juniac. "Sementara Boeing dan Administrasi Penerbangan Federal AS berada di tengah panggung, kolaborasi erat antara produsen rekanan dan otoritas penerbangan sipil di seluruh dunia sangat penting," tambahnya. Pejabat Administrator FAA Daniel Elwell mengatakan setelah pertemuan pada 23 Mei lalu jajarannya lebih fokus memastikan 737 MAX 8 aman daripada menyusun jadwal untuk diizinkan terbang lagi. (AFP)