Menu berbuka tidak hanya menjadi pelepas dahaga ataupun rasa lapar seusai berpuasa. Di Masjid Jami Pekojan dan Masjid Menara, Kota Semarang, hidangan berbuka menjadi simbol akulturasi sekaligus upaya menjaga tradisi. Ada pertautan budaya India, Arab, dan Nusantara.
Mangkuk plastik warna-warni tersusun rapi di pelataran Masjid Jami Pekojan, Purwodinatan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (26/5/2019) sore. Di dalam mangkuk terdapat bubur yang terendam di bawah kuah kari berwarna kuning kemerahan. Potongan telur rebus, tempe, dan tahu turut menghiasi bagian atasnya.
Itulah bubur india, yang sudah lebih dari 100 tahun menjadi penganan khas berbuka puasa di Masjid Pekojan. ”Tradisi ini mulanya dibawa pedagang dari Pakistan, India, dan Gujarat di Semarang. Resepnya diajarkan secara turun-temurun,” ujar Ahmad Ali (53), sang pembuat bubur.
Delapan menit kemudian, suara sirine berbunyi berbarengan dengan pukulan beduk yang bertalu-talu yang diikuti kumandang azan Maghrib. Penanda saat berbuka tiba. Setelah membatalkan puasa dengan kurma dan air, para jemaah pun menyantap bubur dengan wajah gembira.
Ahmad Ali, yang juga salah satu takmir di Masjid Pekojan, mengatakan, bubur tersebut hasil perpaduan India dan Indonesia. Sebab, sejak dulu digunakan rempah-rempah Indonesia, seperti jahe, pandan, serai, kayu manis, santan, dan daun salam, yang membuat cita rasanya amat kuat.
Ali merupakan generasi keempat pewaris resep bubur india di masjid yang berdiri pada 1878 itu. Kini, ia hanya dibantu Ahmad Fasrin (47) dalam memasak. ”Beras yang diperlukan 20-23 kilogram per hari. Siapa pun boleh buka puasa di sini. Kami menyiapkan 250 mangkuk setiap hari,” kata Ali.
Selain bubur india dan kurma sebagai hidangan utama, penganan lain merupakan sumbangan sejumlah warga. Bahkan, kata Ali, warga non-Muslim kadang kala ikut menyumbang. ”Di sekitar sini ada China, Jawa, Koja, dan Arab. Kami bersatu dan tidak menonjolkan perbedaan,” ujar Ali.
Sunardi (59), warga Krapyak, Semarang, mengatakan, tradisi berbuka dengan bubur india di Masjid Pekojan sudah dilakoninya sejak kanak-kanak. ”Dulu, orangtua, kan, dagang di Pasar Johar. Jadi, saya sering diajak ke sini. Rasanya yang khas selalu bikin rindu,” kata Sunardi.
Kopi arab
Berjarak sekitar 1,5 km dari Masjid Pekojan, terpelihara juga tradisi buka puasa lain, yakni menyeruput kopi arab di Masjid Menara atau Masjid Kampung Melayu, Jalan Layur. Hal yang membedakan kopi arab dengan kopi lain ialah aroma jahe dan rempah lain yang kuat.
Senin (27/5/2019) sekitar pukul 17.00, sejumlah warga sudah mendatangi masjid untuk menyimak ceramah. Mendekati waktu berbuka, warga membawa dua teko berisi kopi arab yang kemudian dituang ke cangkir plastik kecil.
Secangkir kopi, kurma, bubur beras gurih, dan potongan semangka pun tersusun rapi di bagian belakang masjid. Begitu waktu berbuka tiba, warga pun langsung menyantap penganan yang tersaji itu yang diseruput dengan ditemani kopi. Dalam sehari tersaji sekitar 50 cangkir kopi arab bagi para jemaah.
”Sejak saya kanak-kanak, tradisi ini sudah ada. Menu hidangan pendamping boleh berganti, tetapi yang pasti ada kopi dan kurma. Pas rasa kopinya,” kata Prihadi (46), warga Kelurahan Dadapsari, atau di sekitar Masjid Menara.
Di Kampung Melayu, Semarang, banyak warga keturunan Arab (Yaman). Adapun masjid menara didirikan pada 1802 oleh sejumlah saudagar dari Yaman yang bermukim di Semarang. Mereka juga yang kemudian membentuk tradisi buka puasa dengan kopi arab.
Ketua Takmir Masjid Menara Umar Baharun (67) mengatakan, meski dikenal sebagai kopi arab, semua bahan dari Indonesia.
”Sebetulnya kopi rempah sebab jelas rempah-rempah, seperti jahe, serai, dan kapulaga asli Indonesia. Hanya memang lingkupnya orang Arab,” katanya.
Menurut Umar, saat ini warga di sekitar Masjid Menara terdiri atas banyak etnis. ”Ada (keturunan) Arab, India, China, Jawa, dan lainnya. Kerukunan dijaga dan tidak pernah ada masalah,” kata Umar.
Ahli sejarah dari Universitas Diponegoro, Rabith Jihan Amaruli, mengatakan, banyak orang Arab (Yaman) datang ke Nusantara, termasuk Semarang, pada abad ke-19. Selain berdagang dan bekerja, mereka juga mengobati orang sakit sambil menyebarkan agama Islam.
Namun, orang Arab yang ke Semarang memiliki ciri berbeda dengan di Jakarta atau Solo. ”Mereka tidak membuat kampung sendiri, tetapi membaur dengan penduduk setempat,” kata Rabith.
Pembauran orang Arab dengan suku Jawa dan etnis lain, seperti Benggala (India) dan China, diyakini menjadi bibit semangat toleransi di Semarang. Semangat itu membuat kerukunan pun tetap terjaga hingga kini.