Dari Simbol Feodalisme hingga ”Open House” Terpanjang
Ritual open house identik sebagai ajang bertemunya warga dan pejabat pemerintahan. Tradisi ini pernah dikritik karena sarat simbol-simbol feodalisme. Kegiatan open house oleh pejabat pemerintahan selalu disambut antusias masyarakat.
Ritual open house identik sebagai ajang bertemunya warga dan pejabat pemerintahan. Tradisi ini pernah dikritik karena sarat simbol-simbol feodalisme.
Kegiatan open house oleh pejabat pemerintahan selalu disambut antusias masyarakat. Dalam setiap penyelenggaraan open house, hampir dipastikan ratusan hingga ribuan warga memadati lokasi acara. Hanya pada kesempatan ini mereka bisa berjumpa, bersalaman, berbaur, dan bahkan makan bersama tokoh nasional pejabat negara tanpa ada sekat batas.
Berdasarkan catatan arsip Kompas, presiden kedua RI, Soeharto, adalah pejabat negara pertama yang menggelar open house. Kegiatan itu dilangsungkan di kediaman pribadi Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada 2 Oktober 1975. Open house digelar selama dua hari.
Presiden kedua RI, Soeharto, adalah pejabat negara pertama yang menggelar open house.
Open house hari pertama diperuntukkan kepada menteri, anggota korps diplomatik, dan pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sementara pada hari kedua, penyampaian ucapan-ucapan selamat Lebaran kepada Presiden dan Ny Tien Soeharto terbuka untuk masyarakat umum.
Di tempat lain, Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX juga menyediakan waktu khusus untuk menerima ucapan-ucapan selamat Lebaran yang bertempat di Istana Wakil Presiden. Langkah Soeharto dan Sultan HB IX itu juga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang menggelar open house pada waktu bersamaan di kediaman resmi gubernur, di Jalan Taman Suropati, Jakarta.
Namun, tradisi open house oleh Soeharto itu pernah terhenti. Artikel yang dimuat Kompas pada 6 Mei 1989 menyebutkan, Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudharmono tidak akan mengadakan open house dalam menyambut hari Lebaran tahun itu.
Selama era Orde Baru, tradisi open house menguat. Tidak hanya Presiden Soeharto, para menteri di jajaran Kabinet Pembangunan juga melakukan hal serupa. Banyak di antara para menteri, baik lama maupun baru, serta para pejabat, juga mengadakan open house di kediaman masing-masing untuk menerima ucapan selamat dan silaturahmi.
Suasana di kediaman Menteri Sosial Endang Inten Soeweno, misalnya, terlihat cukup meriah dengan banyaknya tamu yang berkunjung, antara lain para pejabat eselon I Departemen Sosial dan para anggota Komisi I DPR.
Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie yang juga mengadakan open house di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, bahkan kebanjiran tamu. Ia harus membuka pintu lebih cepat dari rencana karena sejumlah tamu sudah menunggu di luar. Di antara para tamu terlihat banyak diplomat asing (Kompas, 14 April 1992).
Setelah Orde Baru tumbang, tradisi open house masih dijalankan. Salah satu yang menarik adalah nuansa kesederhanaan saat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri bersama suami, Taufiq Kiemas, mengadakan open house di rumah mereka di Jalan Kebagusan, Jakarta Selatan, pada 10 Januari 2000. Acara yang semula hanya diperuntukkan bagi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu kemudian disesaki wong cilik.
Megawati dan suaminya duduk di halaman rumah. Para tamu antre untuk menyalami mereka. Fungsionaris PDI-P tampak tenggelam di antara ribuan masyarakat umum. Setelah menyalami Mega dan Taufiq Kiemas, para tamu menikmati makanan yang disediakan di halaman yang diberi tenda besar.
Warga yang hadir tidak hanya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti Lampung dan Jawa Barat. Banyak warga terlihat hanya mengenakan sandal dan daster saat menyalami Megawati dan Taufiq, tetapi mereka tetap diterima dengan hangat.
Pemerhati kebudayaan Indra Tranggono menyoroti tradisi open house yang menguat pada masa Orde Baru. Bagi Indra, open house mencerminkan gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal, mirip dengan raja-raja Jawa.
Indra menilai, Soeharto melalui tradisi open house mampu melakukan penaklukan kolektif atas publik sehingga ia jadi figur sentral yang berwibawa, juga otoriter.
Open house mencerminkan gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal, mirip dengan raja-raja Jawa.
”Celakanya, kini tradisi open house masih dijalankan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan,” kata Indra (Kompas, 21/8/2013).
Lebih lanjut, Indra mengemukakan, feodalisme ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara pasca-Orde Baru. Mereka ramai-ramai menjelma jadi raja- raja kecil untuk ”disembah” publik yang diposisikan sebagai kawula.
”Open house” terlama
Dari sekian banyak kegiatan open house yang telah digelar, open house ala Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan yang terlama. Pada 11 Desember 1998, Gus Dur menyatakan akan membuat forum open house bagi tokoh-tokoh di pemerintahan dan luar pemerintahan. Acara bertempat di kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, pada lima belas hari pertama bulan Ramadhan atau 20 Desember 1998.
”Saya membuka rumah saya untuk siapa saja, untuk menyampaikan refleksi tentang Indonesia,” ujar Gus Dur, seperti diwartakan Kompas pada 12 Desember 1998.
Open house ala Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan yang terlama.
Menurut Gus Dur, pernyataan refleksi itu dirumuskan pada lima belas hari terakhir bulan Ramadhan. Pernyataan akan diringkas menjadi kerangka utuh, lalu diserahkan kepada Presiden BJ Habibie dan Menteri Pertahanan/Keamanan dan Panglima ABRI Wiranto. Gus Dur mengungkapkan, usaha itu bisa disebut juga sebagai salah satu bentuk dialog nasional.
Niat Gus Dur menyelenggarakan open house mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. Tamu datang silih berganti untuk mengunjungi dan berdialog dengan Gus Dur (Kompas, 26 Desember 1998).
Begitu tiba di kediaman Gus Dur, para tamu itu harus singgah di meja penerima tamu, mengisi buku tamu, dan mengisi secarik formulir berisikan nama, alamat, dan keperluan yang akan disampaikan kepada Gus Dur.
Tamu lalu dipersilakan menunggu dan duduk di teras rumah. Jika teras rumah penuh, tamu pun dengan penuh kerelaan berdiri di halaman rumah ataupun duduk di teras masjid, yang letaknya persis di depan rumah Gus Dur.
Sebuah perangkat penata suara telah siap sedia di meja penerima tamu, untuk meneriakkan nama tamu yang telah tiba gilirannya bertatap muka dengan Gus Dur. Tamu yang namanya dipanggil segera bergegas berdiri dan melangkah ke ruang tamu. Tidak lupa sebelumnya ia lepaskan sepatu di teras.
Gus Dur duduk di kursi panjang yang berhadapan langsung dengan pintu utama rumah. Ia selalu ditemani seseorang yang bertugas mencatat dan merekam segala pembicaraan di pertemuan itu.
Sementara tamu biasanya duduk di kursi yang dekat dengan posisi duduk Gus Dur. Kecuali pertemuan itu dikatakan tertutup, wartawan boleh ikut serta mendengarkan tanya-jawab antara Gus Dur dan tamunya. Jika belum puas memperoleh keterangan, seusai percakapan dengan seorang tamu, wartawan pun mencari penjelasan lebih lengkap dari Gus Dur.
Bermacam-macam keperluan seseorang untuk menemui Gus Dur. Dari yang ingin sumbang pemikiran untuk mengatasi persoalan bangsa hingga yang simpati pada kesehatan Gus Dur dan membawakan beberapa obat.
Asal-muasal para tamu pun beragam. Selain dari negeri sendiri, hadir pula tamu-tamu dari perwakilan negara sahabat, antara lain Amerika Serikat dan Vatikan. Utusan dari Persekutuan Pendeta Jerman pun menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Gus Dur selama sekitar satu jam.
Gus Dur dengan jeli memanfaatkan tradisi open house demi mengupayakan terwujudnya dialog nasional. Bagi dia, dialog nasional sangat diperlukan dalam menjembatani berbagai jurang perbedaan pendapat di kalangan elite politik. Dialog sangat diperlukan untuk menyelamatkan perjalanan bangsa dari perpecahan.