Jangan Beri Panggung kepada Pelaku Kekerasan Seksual
Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual dari berbagai komunitas/lembaga dan aktivis HAM mempertanyakan mandeknya kasus kekerasan seksual yang menimpa RW saat menjadi mahasiswi Universitas Indonesia. Hampir enam tahun, kasus tersebut tidak jelas kelanjutannya dan tidak ada kepastian.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual dari berbagai komunitas/lembaga dan aktivis hak asasi manusia mempertanyakan mandeknya kasus kekerasan seksual yang menimpa RW saat menjadi mahasiswi Universitas Indonesia. Hampir enam tahun, kasus tersebut tidak jelas kelanjutannya dan tidak ada kepastian.
Di tengah ketidakpastian kasus tersebut dan korban belum mendapat keadilan, Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual juga menyatakan keprihatinan karena pelakunya, SS (seniman/penyair), yang dilaporkan sebagai tersangka dalam kasus ini tidak tersentuh hukum dan sebaliknya mendapat tempat untuk tampil di publik.
”Di tengah ketidakpastian penyelesaian proses hukum kasus kekerasan seksual tersebut, tersangka malah terlibat di sejumlah kegiatan kesenian, baik sebagai seniman maupun sebagai pendukung,” ujar Olin Monteiro, mewakili Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual, Senin (3/6/2019), di Jakarta.
Pada 27-28 April 2019, misalnya, tersangka SS menjadi bagian dari penulis pentas/penyelenggaraan pentas teater Srinthil yang juga bekerja sama dengan beberapa seniman yang menyewa tempat di Komunitas Salihara. SS juga terlibat di salah satu festival di Yogyakarta pada pertengahan Juni 2019.
”Kami sangat mengecam penyelenggaraan acara ini karena memberikan ruang dan panggung kepada pelaku kekerasan seksual. Kami mengerti bahwa ada proses kreatif seni, kolaborasi seniman-seniman dan jaringan seni yang ada, tetapi tidak melihat bagaimana dampak dari pembiaran pelaku kasus kekerasan seksual untuk tetap berkiprah dalam komunitas seni,” tutur Olin.
Dari informasi yang diterima Jaringan Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual, sampai saat ini, berkas berita acara pemeriksaan (BAP) dari kasus RW hanya bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan tanpa ada kepastian.
Iva Kasuma, pengajar di Fakultas Hukum UI, yang juga salah satu tim kuasa hukum RW, menyatakan, proses hukum kasus kekerasan seksual tersebut menguras energi korban dan tim karena berkasnya bolak-balik dari kepolisian hingga kejaksaan. ”Dinamika yang terjadi sangat merugikan korban,” ujarnya.
Tommy Awuy, pengajar Fakultas Ilmu Budaya UI, juga mempertanyakan mandeknya proses hukum kasus kekerasan seksual yang menimpa RW. Menurut dia, jika aparat penegak hukum membiarkan kasus kekerasan seksual seperti RW berhenti di tengah jalan, hal itu tidak hanya menjadi preseden buruk, tetapi juga menyandera korban dan pelaku karena tidak ada kepastian dari kasusnya. Korban tidak mendapat keadilan, begitu juga pelaku tersandera dengan kasusnya.
”Harusnya proses hukum berlanjut. Teman-teman bereaksi karena pelaku yang dianggap harus bertanggung jawab dibiarkan bebas. Kalau prosesnya mandek, lalu bagaimana pertanggungjawaban kasus ini. Harus ada kejelasan hukum atas kasus ini,” ucap Tommy.
Hingga kini, meski menjadi ”rahasia umum” atau ada mahasiswi yang mengaku menjadi korban kasus pelecehan seksual di kampus, tidak banyak kasus yang benar-benar terungkap di publik dan diproses hukum.
Kasus kekerasan yang menimpa RW terungkap akhir tahun 2013. Mahasiswa UI tersebut melaporkan SS, salah satu seniman ternama, karena melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya yang berujung pada kehamilan. Kasus tersebut berawal ketika RW melakukan tugas penelitian kebudayaan dan bertemu dengan SS. Kasus ini ramai diberitakan media, bahkan organisasi kemahasiswaan di UI pun mengangkat kasus tersebut. Namun, hingga kini kasus tersebut mandek tidak jelas kelanjutannya.
Melihat ketidakpastian hukum dan pelaku masih bebas tampil di publik, Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual menuntut semua komunitas seni dan galeri seni di Indonesia untuk tidak memberikan akses pertunjukan kesenian kepada pelaku kekerasan seksual.
Begitu juga lembaga negara, kedutaan besar, atau perusahaan serta penyandang dana untuk kesenian dan budaya di Indonesia diimbau agar tidak memberikan dukungan dana kepada seniman dari kelompok seni atau komunitas seni yang memiliki permasalahan terkait kekerasan seksual.
Kepolisian dan kejaksaan juga didesak segera melanjutkan proses hukum kasus kekerasan seksual tersebut demi kepastian kasus tersebut.
Tidak banyak yang terungkap
Kasus yang dialami RW hanya sebagian kecil dari fenomena pelecehan dan kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa yang terungkap di publik. Hingga kini, meski menjadi ”rahasia umum” atau ada mahasiswi yang mengaku menjadi korban kasus pelecehan seksual di kampus, tidak banyak kasus yang benar-benar terungkap di publik dan diproses hukum. Pelaku kekerasan mulai dari mahasiswa, pengajar, hingga orang luar. Korbannya adalah perempuan, dalam hal ini mahasiswi.
Beberapa waktu lalu, media juga ramai memublikasikan kasus pelecehan seksual yang menimpa AG, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, yang dilakukan HS, mahasiswa, saat menjalani Kuliah Kerja Nyata di Maluku pada pertengahan 2017.
Kasus yang terungkap pada 2018 ini menjadi viral di media sosial. Pihak kampus pun membentuk tim untuk investigasi, tetapi hasil akhir oleh korban dianggap tidak sesuai dengan harapan. Untuk mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di kampus, UGM melalui Tim Perumus Kebijakan dan Tim Teknis Legal Drafter telah menyusun Rancangan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Tak hanya di UGM, pada Maret 2019, juga mencuat di media kasus kekerasan seksual di Kampus Universitas Diponegoro, Semarang, yang dilakukan pengajar terhadap salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Belakangan beberapa mahasiswa mengungkapkan pernah mengalami hal yang sama. Seperti UGM, FIB Undip juga membentuk tim untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dilakukan salah satu pengajarnya.
Tidak hanya di kampus, kekerasan seksual di sejumlah tempat juga sulit terjangkau hukum. Kondisi yang menimpa RW dan beberapa mahasiswa, menurut komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Sri Nurherwati, menunjukkan kasus yang dilakukan dimaafkan karena dinilai tidak ada bukti. ”Ini berarti undang-undang yang ada lemah dalam melindungi korban,” katanya.
Karena itulah, mendesak untuk mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan menjadi undang-undang. Sebab, RUU tersebut merumuskan perlindungan bagi korban dan mengatur kekerasan seksual yang selama ini tidak diatur dalam aturan perundang-undangan.