Presiden pertama RI Soekarno atas usulan KH Wahab Chasbullah dari Nahdlatul Ulama menggelar "halalbihalal" untuk menyatukan bangsa pada tahun 1948. Kini, sejarah halalbihalal itu diharapkan terulang, khususnya antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, demi rekonsiliasi pasca-Pemilu 2019.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA, SHARON PATRICIA, INSAN ALFAJRI, DAN SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, suhu politik memanas. Elite politik saling bertengkar. Pemberontakan terjadi di mana-mana. Di sisi lain, Belanda masih mengintai untuk bisa kembali menguasai Indonesia.
Gusar dengan kondisi itu, di pertengahan bulan Ramadhan, presiden pertama RI Soekarno mengundang salah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah, ke Istana Negara. KH Wahab dimintai pendapat dan saran dalam mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
KH Wahab lantas menyarankan untuk menyelenggarakan silaturahmi menjelang hari raya Lebaran. Seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahmi.
Soekarno tertarik dengan usulan KH Wahab. Namun, dia meminta nama lain, bukan silaturahmi. Dia ingin istilah lain yang tidak biasa. KH Wahab lalu menawarkan konsep lain yang disebutnya halalbihalal.
”Para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan adalah dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan”, demikian Rais Syuriyah, Pengurus Besar (PB) NU KH Masdar Farid Mas’udi, dalam tulisannya pada Juli 2015, seperti dikutip dari laman resmi PBNU.
Soekarno setuju, istilah silaturahmi diganti dengan halalbihalal. Berdasarkan saran dari KH Wahab itu, Soekarno kemudian mengundang semua tokoh politik untuk menghadiri acara yang diberi judul halalbihalal di Istana Negara.
Dari acara tersebut, para elite politik yang tadinya berseberangan akhirnya bisa duduk satu meja. Situasi itu menjadi babak baru untuk menyusun kekuatan dan mengokohkan kembali persatuan bangsa.
Situasi setelah Pemilu 2019 memang tidak ekstrem seperti kondisi sekitar tahun 1948.
Saat upacara pemakaman Ny Ani Yudhoyono, istri dari presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (2/6/2019), misalnya, publik bisa menyaksikan hampir semua elite politik mengesampingkan perbedaan yang menguat selama pemilu untuk mengantarkan Ny Ani ke tempat peristirahatan terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Salah satu yang menjadi sorotan, kehadiran presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di upacara pemakaman. Saat Susilo Bambang Yudhoyono tiba, keduanya bersalaman hangat, Megawati pun melemparkan senyum untuk meringankan duka Yudhoyono.
Perjumpaan hanya berlangsung sesaat, tetapi pemandangan itu sudah cukup untuk membuat nyaman publik. Di media sosial, pertemuan kedua elite yang meregang hubungannya sejak 2004 tersebut banjir pujian.
Meski demikian, tak bisa ditampik bahwa hingga kini, perseteruan yang timbul selama Pemilu 2019, khususnya antara pendukung calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, belum juga usai.
Di media sosial misalnya, perseteruan itu jelas terlihat. Sementara di dunia nyata, kericuhan pecah di sejumlah daerah di DKI Jakarta saat kelompok pendukung Prabowo berunjuk rasa menolak hasil pemilu, 21-22 Mei 2019.
Berkaca pada hal itu, publik mengharapkan perjumpaan yang ”lebih besar” demi rekonsiliasi pascapemilu. Ini terutama pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Tak terbilang jumlahnya, tokoh masyarakat ataupun agama yang mendorong agar Jokowi dan Prabowo segera bertemu. Jika kedua elite politik ini bertemu, diyakini akan mampu meredam perseteruan di akar rumput, bahkan menjadi jalan untuk rekonsiliasi pascapemilu.
Lebaran tahun ini, yang akan jatuh pada 5 dan 6 Juni 2019 pun, dinilai sebagai momentum yang tepat untuk bertemu.
Jika halalbihalal yang dibuat Soekarno tahun 1948 mampu mendinginkan tensi politik, tidak mustahil halalbihalal Jokowi dan Prabowo pada Lebaran kali ini akan menciptakan hal serupa. Tidak hanya di tingkat elite, tetapi rekonsiliasi akan menjalar ke level akar rumput.
”Monggo, silahkan dua tokoh ini silaturahmi, di saat Idul Fitri ini, saling berjabat tangan. Itu saya kira sudah mendinginkan suasana 85 persen,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, di Jakarta, Senin (3/6/2019).
”Pihak yang menang saudara kita sendiri, yang juara dua juga saudara kita. Maka kembali kita menyatu, kembali bergandengan tangan bergotong royong membangun bangsa ini. Kalau berhasil, ini keberhasilan bersama,” tambahnya.
Namun, hingga Senin (3/6/2019), pertemuan yang diharapkan publik belum terlihat bisa diwujudkan. Prabowo saat ditanya Kompas ketika melayat ke kediaman Yudhoyono, Senin sore, hanya menjawab, ”Nanti kita lihat, ya, semua ada waktunya.”
Sebaliknya, Jokowi sejak pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April, tuntas, sudah membuka diri untuk bisa bertemu Prabowo.
Menurut Ma’ruf Amin, pendamping Jokowi di Pemilu Presiden 2019, Jokowi dan Prabowo secara personal terus berupaya untuk bisa rekonsiliasi. ”Tetapi secara formal, meski Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah siap untuk rekonsiliasi, mereka masih mencari waktu yang tepat untuk bertemu,” katanya.
Akankah sejarah halalbihalal pada 1948 akan kembali terulang untuk kedua tokoh tersebut pada Lebaran kali ini? Semoga. Yang pasti, publik mengharapkannya.