Perbedaan sejatinya adalah kodrat alami kehidupan. Dengan kesadaran itu, harmoni kehidupan sejumlah keluarga berlanjut dengan perbedaan pilihan politik. Walaupun berbeda pandangan politik, pasangan suami-istri dari Jakarta Selatan, Dana (39) dan Ika (37), tetap ingin menjadi rumah bagi satu sama lain.
Pasangan itu berbeda pilihan di empat kali pemilihan umum, yaitu di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012, Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, dan terakhir Pemilihan Presiden 2019. Dana setia mendukung Joko Widodo, sedangkan Ika setia mendukung Prabowo Subianto. ”Kami berbeda sejak lama,” kata Ika di rumahnya di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Bukan cuma Dana dan Ika yang berbeda pilihan politik. Keluarga besar dari pasangan ini pun punya pilihan politik yang berbeda. Tidak jarang dalam percakapan di media sosial keluarga, perbedaan pilihan politik ini meruncing dan memanas. ”Lebaran kali ini akan kami jadikan momentum untuk mendinginkan suasana. Menjalin keakraban di antara keluarga besar,” kata Ika.
Upaya yang sama dilakukan pengantin baru dari Palembang, Sumatera Selatan, Abul Hasan Al-Asy Ari (30) dan istrinya, Liza Novita Sari (24). Pernikahan mereka, 20 April 2019, di Tiuh Balak Pasar Badaru Way Kanan, Lampung, menarik perhatian publik.
Pasalnya, di kartu undangan pernikahan mereka dicantumkan pilihan politik masing-masing lengkap dengan simbol jari. Liza memilih Prabowo-Sandi, sedangkan Ari memilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin. ”Undangan itu sebenarnya ungkapan hati kami yang geram, kesal, dan sedih karena atmosfer pilpres tahun ini begitu panas,” kata Ari.
Perbedaan pilihan, kata Ari, tak sepantasnya merenggangkan pertemanan, persahabatan, bahkan persaudaraan. Pilihan politik merupakan sesuatu yang lumrah di negara demokrasi. Karena itu, menjelang Lebaran ini mereka sepakat untuk mudik dan bersilaturahmi ke kampung halaman Liza Novita di Lampung.
”Kami ingin menunjukkan kepada sanak saudara, perbedaan politik jangan sampai memutuskan persaudaraan. Kami menikah dan tak ada masalah ketika pilihan politik kami berbeda,” kata Ari.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid mengatakan, Lebaran kali ini harus dijadikan titik balik dan kembali pada kehidupan damai. Pintu maaf harus dibuka untuk semua pihak. Indonesia yang menjadi rumah bersama yang menaungi beragam perbedaan harus dijaga bersama.
Hidup rukun
Hidup rukun di tengah perbedaan juga ditunjukkan warga Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Agama yang dianut warga dusun itu beragam. Mayoritas beragama Islam, tetapi ada juga penganut agama Buddha, Katolik, dan Protestan.
Minggu (2/6) menjelang maghrib, warga Muslim mengundang warga beragama lain untuk merasakan hidangan berbuka puasa di pelataran Masjid Abu Bakr as-Siddiq di Dusun Thekelan. ”Sekali setiap Ramadhan, kami mengundang warga agama lain untuk merasakan hidangan buka puasa. Tradisi ini sudah berlangsung lama,” kata Kepala Dusun Thekelan Supriyo (44).
Salah satu pengurus Wihara Buddha Bhumika, Tugimin (41), yang hadir dalam acara itu, mengatakan, kerukunan antarumat beragama di Thekelan sudah berlangsung lama, bahkan puluhan tahun. Perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan. Semua saling menghormati keyakinan masing-masing. (SKA/RAM/DIV/DIT)