Sudan Semakin Memburuk
Aksi unjuk rasa berbulan-bulan sejak Desember 2018 tak kunjung berhenti. Korban tewas dan luka terus bertambah. Tentara belum mau menyerahkan kekuasaan kepada kelompok sipil.
KHARTOUM, SENIN— Saat ini keadaan di Sudan semakin memburuk. Dewan Transisi Militer menggunakan senjata api untuk membubarkan pengunjuk rasa, Senin (3/6/2019), di Khartoum. Akibatnya, 13 orang tewas.
Banyak kendaraan tempur dengan senapan mesin dikerahkan ke berbagai penjuru Khartoum, ibu kota Sudan. Sementara di sekitar lokasi aksi unjuk rasa, yang antara lain dipusatkan di depan markas besar tentara Sudan, terdengar suara tembakan. ”Saya mendengar suara tembakan dan melihat asap dari tempat berkumpul (pengunjuk rasa),” kata warga di Khartoum timur.
Warga lain mengatakan melihat polisi berseragam mencoba mengusir pengunjuk rasa. Aparat memfokuskan kekuatan di sekitar tenda tempat pengunjuk rasa berkumpul di depan markas besar tentara Sudan. Dalam rekaman video terlihat asap dari tenda yang terbakar.
Korban terus berjatuhan. Dalam sebuah pernyataan, Dewan Dokter Sudan sempat mengatakan korban tewas mencapai 9 orang. Menjelang sore hari, korban bertambah menjadi 13 orang. Dewan itu juga menyebut banyak korban dalam kondisi kritis. Mereka mendesak Komite Palang Merah Internasional dan kelompok bantuan kemanusiaan lain menolong korban yang terluka.
Dewan Dokter Sudan mengatakan, aparat menembak dan mengejar pengunjuk rasa dalam kompleks rumah sakit Nil Timur. Rumah sakit lain di sekitar lokasi unjuk rasa juga dikepung. Kabar soal penembakan membuat semakin banyak pengunjuk rasa berkumpul di jalan-jalan Khartoum dan Omdurman, kota di seberang Khartoum. Mereka menutup jalan dan membakar ban. Sebagian lagi melempari aparat yang dibalas dengan tembakan bertubi-tubi. Jembatan di atas Sungai Nil yang melintasi Khartoum ditutup.
”Ada percobaan membubarkan kendali pusat warga oleh dewan militer,” demikian pernyataan Asosiasi Profesional Sudan (SPA), kelompok yang memelopori aksi unjuk rasa sejak Desember 2018.
Pembangkangan total
SPA menyebut upaya itu sebagai pembantaian berdarah. Kelompok itu mengajak seluruh warga Sudan terlibat pembangkangan sipil secara total. Pembangkangan itu berupa unjuk rasa demi menggulingkan Dewan Transisi Militer (TMC). ”Kami akan melawan dengan meningkatkan unjuk rasa dan pembangkangan sipil total,” kata Khalid Omar Yousef, seorang pemimpin Kekuatan Deklarasi Perubahan dan Kebebasan.
Para pengunjuk rasa menuding TMC melakukan pembantaian lewat upaya pembubaran aksi unjuk rasa di depan markas tentara. Sementara TMC menyebut mereka hanya menyasar kriminal di antara pengunjuk rasa. ”Tenda pengunjuk rasa tidak dibubarkan. Aparat mencoba membubarkan pengacau di daerah Colombia, dekat lokasi aksi unjuk rasa, dan sebagian dari mereka berlari ke lokasi aksi unjuk rasa sehingga memicu kekacauan,” kata juru bicara TMC, Letnan Jenderal Shams El Din Kabbashi
Ia mengatakan, TMC masih berkomitmen pada penyelesaian politik. TMC juga siap melanjutkan dialog dengan kelompok sipil dalam waktu dekat.
Perundingan TMC dengan kelompok sipil berlangsung sejak Presiden Sudan Omar al-Bashir mengundurkan diri pada April 2019. TMC setuju sipil membentuk pemerintahan. Namun, TMC meminta memegang semua kekuasaan selama masa transisi hingga pemerintahan sipil terbentuk. Hal itu membuat kesepakatan tidak kunjung tercapai sampai sekarang. Akibatnya, aksi unjuk rasa terus berlangsung.
Bahkan, selepas insiden pada hari Senin, pengunjuk rasa memutuskan tidak akan lagi berunding dengan TMC. ”Semua komunikasi berhenti,” kata Khalid. (AFP/REUTERS/RAZ)