”Wake Up Call” Regulasi Senjata Api Ilegal
Hukuman yang sekadar tegas dinilai belum memadai untuk memberantas kepemilikan senjata api ilegal, yang dirasa berbagai pihak tak akan dapat diberantas jika upaya pencegahan tak diutamakan. Kebutuhan undang-undang yang lebih modern pun dinilai mendesak.
Beberapa pekan lalu, dua jenderal purnawirawan TNI, Soenarko dan Kivlan Zen, ditangkap polisi dan kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer Guntur, Jakarta Selatan. Kivlan ditahan sejak Kamis (30/5/2019), sedangkan Soenarko pada Selasa (21/5/2019).
Dua jenderal TNI Angkatan Darat tersebut harus menjalani pemeriksaan atas dugaan kepemilikan senjata api ilegal (illicit firearms).
Bahkan, berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, pemilik senjata api ilegal dapat dikenai hukuman maksimal berupa hukuman mati.
Peraturan yang dibuat hanya sekitar enam tahun selepas kemerdekaan Indonesia tersebut sebenarnya tergolong berat bagi mereka yang menguasai senjata api ilegal.
Namun, hukuman yang sekadar tegas dinilai masih belum memadai untuk memberantas kepemilikan senjata api ilegal. Kepemilikan senjata api ilegal dirasa oleh berbagai pihak tidak akan dapat diberantas apabila upaya pencegahan tidak diutamakan. Kebutuhan akan undang-undang yang lebih modern pun dinilai mendesak.
Baca juga: Kapuspen TNI Benarkan Mantan Danjen Kopassus Ditangkap
”Komisi I DPR meminta TNI dan Polri melakukan upaya pencegahan dengan ketat agar tidak terjadi peredaran senjata ilegal. Komisi I juga meminta investigasi kepemilikan senjata oleh purnawirawan dilakukan dengan serius,” kata Wakil Ketua Komisi I Satya Widya Yudha kepada Kompas, Jumat (31/5/2019), dari Jakarta.
”Kita berharap adanya undang-undang baru untuk memperbarui Undang-Undang 1951 yang sudah lama itu,” ujar Satya.
Aspek pencegahan menjadi penting karena, menurut Satya, senjata yang beredar secara ilegal dapat digunakan untuk kejahatan biasa hingga separatisme. ”Senjata ilegal ini rawan dimanfaatkan untuk tindak kejahatan dan gerakan separatisme, seperti kasus di Nduga, Papua,” kata Satya.
Tindakan melawan pemerintahan yang sah, seperti gerakan separatisme ataupun makar, memang berhubungan erat dengan keberadaan senjata api ilegal.
Bahkan, Jaksa Agung M Prasetyo mengungkapkan, diduga ada kaitan antara kepemilikan senjata api ilegal dan dugaan makar yang dihadapi oleh Kivlan. ”Ya senjata, ya makar, karena kan saling berkaitan,” ujarnya.
Jabatan terakhir yang dipegang oleh Soenarko adalah Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda/Aceh pada 2008-2009. Sebelumnya, ia menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) 2007-2008. Setelah pensiun, ia bergabung dengan Partai Aceh, sebuah partai yang dibentuk pimpinan GAM pasca-Perjanjian Helsinki.
Sementara itu, Kivlan adalah Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1998-2000.
RUU mandek
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan, persoalan kepemilikan senjata api ilegal terjadi terutama karena regulasi pengaturan yang lemah. Hal ini karena pengaturan senjata api masih mengacu pada aturan Orde Lama yang sudah tidak relevan.
Memang, hingga saat ini terdapat empat peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang mengatur mengenai senjata api serta bahan peledak dan seluruhnya dibuat sebelum 1960.
Keempat peraturan perundang-undangan tersebut adalah UU Senjata Api Tahun 1936, UU No 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, UU Darurat No 12 Tahun 1951, serta Perppu Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan yang diberikan Menurut UU Senjata Api.
Sebagai peraturan untuk menghadapi praktik kepemilikan dan peredaran senjata ilegal, UU Darurat No 12/1951 ternyata sangatlah sederhana. Undang-undang tersebut hanya berisi enam pasal yang mengatur tentang hukuman kepemilikan senjata api, bahan peledak ilegal, dan senjata tajam.
Sebetulnya, sudah ada upaya dari DPR untuk memperbarui peraturan yang mengatur mengenai senjata api. Rancangan Undang-Undang Senjata Api dan Bahan Peledak masuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.
Pembahasan RUU Senjata Api dan Bahan Peledak terhenti pada 2013 dan tahun berikutnya tidak masuk Prolegnas Prioritas.
Berdasarkan naskah akademik RUU Senjata Api dan Bahan Peledak yang disusun pakar pertahanan Andi Widjajanto dan diberikan kepada Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM pada 2015, aspek pencegahan dan koordinasi antarlembaga menjadi hal yang luput diatur oleh undang-undang sebelumnya.
Pencegahan dan koordinasi, tulis Andi, sudah menjadi kebutuhan dalam upaya pemberantasan senjata api ilegal. Sebab, selain empat peraturan tingkat undang-undang di atas, ketentuan lebih mutakhir mengenai senjata api masih pada level kementerian dan lembaga.
Namun, pembahasan RUU itu terhenti pada 2013 dan tahun berikutnya tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas. Anggota Dewan periode 2014-2019 pun tidak memasukkan RUU ini kembali ke Prolegnas 2014-2019.
”Benar, RUU (Senjata Api dan Bahan Peledak) memang terhenti pada 2013,” kata Satya.
Untuk itu, dengan berkembangnya kasus peredaran senjata dan kaitannya dengan potensi makar, Satya menilai, RUU Senjata Api dan Bahan Peledak dapat dimasukkan lagi ke Prolegnas dan dituntaskan.
”Kita berharap adanya undang-undang baru untuk memperbarui UU Darurat 1951. Perlu didorong DPR periode selanjutnya untuk memasukkan lagi dalam Prolegnas Prioritas,” ucap Satya.
Pengawasan bekas konflik
Selain pembahasan RUU, Al Araf juga menilai, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu memonitor dan memeriksa kepemilikan senjata di wilayah bekas konflik.
Al Araf menyebutkan, wilayah bekas konflik adalah salah satu kanal utama peredaran senjata api ilegal di Indonesia selain dari luar negeri, senjata rakitan, serta senjata yang habis masa izinnya dan tidak diperpanjang.
Berdasarkan penelitian Herlin Eka Yusman dari Universitas Tadulako pada 2015, perlu kegiatan pengawasan terhadap peredaran konflik seperti di Aceh; Poso, Sulawesi Tengah; Ambon, Maluku; dan Papua. Daerah tersebut berpotensi masih menyimpan beragam jenis senjata api yang belum sempat dikumpulkan dan dimusnahkan.
”Penyelundupan berbagai jenis senjata api, dari eks daerah konflik, menuntut kejelian dan pengawasan yang tinggi,” ujar Herlin.
Lembaga kajian konflik International Crisis Group (ICG) melalui laporannya berjudul ”Illicit Arms in Indonesia” pada 2010 mengatakan, di Aceh, khususnya, terdapat jumlah senjata api ilegal secara signifikan.
Baca juga: Kepemilikan Senjata Api Ilegal di Aceh Masih Marak
Laporan tersebut meyakini, banyak bekas pejuang GAM tetap menyimpan senjata pasca-Perjanjian Helsinki 2005. Terlebih lagi, Perjanjian Helsinki menetapkan GAM untuk hanya menyerahkan 840 senjata organik—buatan pabrik. Laporan ini juga menyebutkan, jumlah senjata api yang beredar di Aceh di puncak konflik lebih dari 35.000 pucuk.
Laporan ICG juga menyebutkan, pada 2003, GAM mendapatkan amunisi secara ilegal dari oknum perwira sebuah satuan khusus TNI.
Kebocoran
Kebocoran dari sumber resmi (leakage from official sources) juga dinilai sebagai salah satu jalur peredaran senjata api ilegal.
Laporan ICG mencontohkan, pada 2010, Yuli Harsono, terduga teroris yang tewas saat baku tembak pada Juni 2010 di Klaten, Jawa Tengah, adalah bekas anggota TNI. Ia dipecat lima tahun sebelumnya, setelah sejumlah amunisi ditemukan di baraknya, yang diselundupkan dari latihan.
Dilaporkan pula, pada puncak konflik Aceh tahun 2000, para penjaga gudang penyimpanan senjata Brimob di Lembang, Jawa Barat, secara sedikit demi sedikit mengambil senjata dan amunisi.
Salah satu kasus besar senjata api ilegal adalah kasus almarhum Brigadir Jenderal Koesmayadi. Sebanyak 185 pucuk senjata api dan puluhan ribu amunisi ditemukan di kediaman Wakil Asisten Logistik Kepala Staf TNI AD tersebut setelah meninggal pada akhir Juni 2006.
Saat itu, kepemilikan senjata api Koesmayadi menimbulkan tanda tanya besar mengenai proses pengadaan senjata yang dilakukan TNI AD. Penjelasan KSAD Djoko Santoso saat itu adalah Koesmayadi ingin membuat sebuah ”museum senjata”.
Pada akhirnya, ada 15 personel militer—termasuk Koesmayadi—yang diputus bertanggung jawab atas keberadaan senjata ilegal tersebut.
Tidak dapat dimungkiri, korupsi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki akses langsung terhadap persenjataan menjadi salah satu tantangan terbesar Indonesia dalam memberantas peredaran senjata api ilegal.
Corrupt officials are the biggest obstacle to crime prevention in Indonesia. Kalimat pamungkas laporan ICG yang dibuat pada hampir satu dekade itu ternyata masih relevan hingga saat ini. Jadi, perlu regulasi dan pengawasan yang lebih ketat.