Wallace Wiley Menyelamatkan Pendidikan Anak Papua
Wallace Wiley yang berasal dari Amerika Serikat bekerja di salah satu perusahaan penerbangan di Papua selama empat dekade. Dari perjalanan tugasnya di ratusan kampung terpencil di provinsi tersebut, hatinya terpanggil untuk membangun sarana dengan layanan pendidikan yang layak bagi anak-anak sejak usia dini.
Aktivitas belajar di Sekolah Papua Harapan di kawasan Doyo, Kabupaten Jayapura, berjalan seperti biasanya pada Kamis (23/5/2019) sekitar pukul 12.30 WIT. Sebuah mobil kijang berwarna hitam yang dikemudikan Wiley tiba di halaman sekolah tersebut. Sebelum ke sekolah, pria berusia 71 tahun ini baru mengikuti rapat selama sekitar satu jam di tempat kerjanya di maskapai pelayanan misi Mission Aviation Fellowship (MAF) di Sentani.
Di Sekolah Papua Harapan, penasihat MAF Indonesia memantau kegiatan belajar dan mengajar di salah satu kelas. Para siswa dan guru menyambut Wally, panggilannya, dengan riang.
Setengah jam kemudian, Wally melanjutkan perjalanan ke Sekolah Papua Harapan yang terletak di kawasan Kemiri. Perjalanan dari Doyo ke Kemiri sekitar 5 kilometer. Sama seperti di Doyo, para guru dan siswa menyambutnya dengan gembira. Wally bagaikan seorang ayah yang terus memperhatikan aktivitas anak-anaknya.
Wajar saja, Wally adalah pendiri Sekolah Papua Harapan di Doyo pada 2010 dan Kemiri pada 2012. Sekolah Papua Harapan di Doyo yang berkapasitas 10 ruang kelas untuk siswa taman kanak-kanak dan kelas III sekolah dasar. Adapun Sekolah Papua Harapan di Kemiri terdapat 13 ruang kelas untuk siswa kelas IV SD hingga siswa kelas II SMA dan asrama bagi anak-anak dari daerah pedalaman sejumlah kabupaten, seperti Yahukimo, Intan Jaya, dan Tolikara.
Pihak Sekolah Papua Harapan hanya membebankan biaya sekolah per bulan bagi siswa dengan status ekonomi menengah ke atas. Sementara siswa dari daerah pedalaman dan keluarga dari kalangan bawah digratiskan.
Di kedua sekolah itu, Wally ingin para guru memberikan kemampuan akademik yang superior bagi para siswa, seperti penguasaan bahasa Inggris sejak usia dini. Para anak juga diajarkan agama, serta sikap membangun dan kebiasaan hidup yang produktif.
”Kami akan menyediakan kelas untuk siswa kelas III SMA pada pembukaan ajaran baru tahun 2019. Selama ini, anak-anak kami, baik yang berasal daerah perkotaan maupun pedalaman, mampu meraih kelulusan hingga 100 persen saat mengikuti ujian nasional SD dan SMP,” tutur ayah dua anak ini.
Ratusan kampung
Terdapat satu alasan utama yang menggerakkan hati Wally peduli terhadap pendidikan anak Papua. Dalam perjalanan sebagai insinyur yang membangun fasilitas landasan pacu dan hanggar di ratusan rute yang dilewati MAF, Wally menemukan banyak anak yang putus sekolah. Ia pertama kali bertugas di Papua pada 1 Januari 1977.
Terdapat bangunan sekolah di kampung-kampung tersebut. Namun, tidak ada aktivitas mengajar. Sebab, masalah ketersediaan tenaga guru yang minim di daerah pedalaman Papua.
”Kami akan menyediakan kelas untuk siswa kelas III SMA pada pembukaan ajaran baru tahun 2019. Selama ini, anak-anak kami, baik yang berasal daerah perkotaan maupun pedalaman, mampu meraih kelulusan hingga 100 persen saat mengikuti ujian nasional SD dan SMP,” tutur ayah dua anak ini.
”Saya sudah mengunjungi 134 kampung pedalaman di Papua selama 40 tahun bertugas di MAF. Rata-rata saya menemukan masalah anak putus sekolah. Saya ingin menangis melihat kondisi tersebut. Sebab, anak-anak ini sangat antusias untuk bersekolah, tetapi tidak memiliki kesempatan,” tuturnya.
Sewaktu menjabat Kepala MAF Papua pada 1993 hingga 2004, Wally menemukan bahwa banyak anak asli Papua yang sulit lolos dalam setiap seleksi pilot. Mereka terkendala dalam seleksi bagaimana menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan yang tepat. Ia pun mencari jawaban kepada sejumlah pakar dunia pendidikan tentang masalah ini.
”Mereka mengatakan minimnya pilot anak asli Papua karena faktor kualitas pendidikan yang belum optimal. Karena itu, saya berjanji dalam hati akan membangun pendidikan di Papua dari anak usia dini suatu saat,” ungkapnya.
Wally memenuhi janjinya pada 2008. Ia mendatangkan delapan anak dari Kampung Pogapa, Kabupaten Intan Jaya, untuk bersekolah di daerah Sentani, Kabupaten Jayapura. Wally menggunakan sebuah rumah yang dilengkapi dua ruangan kelas sebagai sekolah pertama yang didirikannya.
Sebanyak dua guru dari Universitas Pelita Harapan mengajar delapan anak itu mulai dari pelajaran Bahasa Indonesia, membaca, hingga berhitung. Pada 2009, Wally kembali mendatangkan enam anak dari Distrik Silimo, Kabupaten Yahukimo, untuk bersekolah di tempat itu.
”Kami mendatangkan mereka setelah melalui proses seleksi yang ketat. Rata-rata anak ini berusia enam hingga tujuh tahun. Mereka sangat antusias dalam belajar. Saat ini, anak-anak tersebut sudah duduk di bangku SMA dan sudah mampu berbahasa Inggris,” tutur Wally.
Sekolah ini merupakan awal mula kontribusi Wally dalam dunia pendidikan di Papua. Akhirnya, pada tahun 2010, Wally pun mendirikan Sekolah Papua Harapan di Doyo setelah mendapatkan bantuan lahan seluas 2 hektar dari Bupati Jayapura saat itu, Habel Suwae. Selanjutnya, tahun 2012, Sekolah Papua Harapan di daerah Kemiri didirikan dengan bantuan lahan dari Pemprov Papua seluas 5 hektar.
”Kami mendatangkan mereka setelah melalui proses seleksi yang ketat. Rata-rata anak ini berusia enam hingga tujuh tahun. Mereka sangat antusias dalam belajar. Saat ini, anak-anak tersebut sudah duduk di bangku SMA dan sudah mampu berbahasa Inggris,” tutur Wally.
Sebagian besar guru di Sekolah Papua Harapan berasal dari Universitas Pelita Harapan. Hal ini berkat bantuan dari pendiri universitas tersebut, Johannes Oentoro.
”Semua karya ini tak hanya usaha saya sendiri. Namun, berkat mukjizat Tuhan melalui sejumlah orang, seperti Pak Johannes dan para donatur di luar negeri. Mereka merasa terharu setelah usaha kami untuk membantu anak-anak Papua,” ujarnya.
Tepat pada 23 Mei 2019, Wally resmi menjadi warga negara Indonesia. Sementara istrinya, Joan Wiley, beserta anak-anaknya yang juga bermukim di Papua masih memilih sebagai warga negara Amerika Serikat.
Wally memilih menjadi WNI didasari rasa cinta terhadap Papua. Ia merasa lebih optimal berkontribusi bagi dunia pendidikan di Papua apabila sudah resmi menjadi WNI.
Sebelumnya, Wally pun mengundurkan diri dari jabatan sebagai Kepala MAF Indonesia (2004-2014) agar lebih fokus mengurus pendidikan di Papua. Dia kemudian bekerja sama dengan Lippo Group melalui Universitas Pelita Harapan membangun sekolah di enam kampung pedalaman, yaitu Kampung Karubaga, Mamit (Kabupaten Tolikara), Deboto (di perbatasan Nabire dan Paniai), serta Nalca, Koropun dan Danowage (Kabupaten Yahukimo).
Sebanyak 300 siswa yang sekolah di enam kampung tersebut mendapat pendidikan gratis. Jumlah murid di semua sekolah yang didirikan Wally sebanyak 780 siswa dan diajar oleh 70 guru. Sebanyak 250 siswa dikenai biaya sekolah yang bervariasi besarannya, sesuai kemampuan. Adapun 20 siswa yang berasal dari pedalaman tidak dikenai biaya sekolah.
Atas dedikasinya dalam pelayanan pendidikan bagi anak-anak Papua yang konsisten selama puluhan tahun, Wally pun mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Corban di Oregon, Amerika Serikat, pada April 2016.
Wally juga akan membantu Pemerintah Provinsi Papua untuk pelatihan bahasa Inggris dan akademik 50 siswa dari beberapa kabupaten yang telah lulus SMA pada tahun ini. Para siswa ini merupakan penerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.
”Saya hanya mengikuti panggilan Tuhan untuk berkarya di Papua. Saya akan terus berkontribusi bagi pembangunan pendidikan di tanah ini hingga menutup mata,” tutur kakek dari empat cucu ini.
Wallace Wiley
Lahir: Vancouver, Washington,
Amerika Serikat, 5 April 1948
Istri: Joan Wiley
Anak: Jacinda Wiley, Jared Wiley
Pekerjaan: Penasihat Maskapai Mission Aviation Fellowship Indonesia.