Fenomena mudik di Jabodetabek yang terus berulang tiap tahunnya, sedikit banyak berkaitan dengan arus migrasi dari berbagai daerah, khususnya di Pulau Jawa. Simpul transportasi yang telah terbangun di kota-kota besar, menjadi investasi yang tumbuh menjadi arus migrasi dan dituai pada momentum mudik.
Balitbang Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memprediksi, hampir setengah penduduk Jakarta (44,1 persen) akan melaksanakan mudik pada lebaran tahun ini. Dari segi jumlah, diprediksikan para pemudik lebaran tahun ini sebanyak 18,29 juta orang.
Kesimpulan yang ditarik dari survei di Jabodetabek, Cirebon dan Bandung Raya ini cukup menegaskan bahwa Jakarta masih menjadi daya tarik para migran dari berbagai wilayah Indonesia selama beberapa tahun ke belakang.
Masih dari sumber yang sama, Balitbang Kemenhub memetakan tiga lokasi tujuan terbesar para pemudik di Pulau Jawa. Ketiganya ialah Jawa Tengah (37,68 persen), Jawa Barat (24,89 persen) dan Jawa Timur (11,14 persen). Angka itu kontras dengan daerah tujuan pemudik di luar Pulau Jawa yang kurang dari empat persen.
Para pemudik di tiga provinsi besar Pulau Jawa tersebut terkonsentrasi pada sejumlah kota-kota besar provinsi terkait. Untuk pemudik Jawa Barat, tujuan terbesar berada di Kota Bandung, Kota Bogor dan Kota Cirebon.
Di Jawa Tengah, para pemudik menuju Kota Surakarta, Kota Semarang, dan Kota Tegal. Sedangkan Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Madiun menjadi tujuan para pemudik asal Jawa Timur.
Data Balitbang Kemenhub menunjukkan dua potensi kemungkinan untuk menjawab alasan terjadinya migrasi penduduk dari sejumlah kota di Jawa. Pertama, kota-kota tujuan itu merupakan daerah asal para migran sebelum berpindah ke Jakarta dan sekitarnya.
Fenomena mudik tahun ini dan tentu saja tahun-tahun sebelumnya, dapat dimengerti sebagai efek dari migrasi yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Artinya, besar kemungkinan mereka yang melakukan migrasi beberapa tahun sebelumnya, saat ini sudah tinggal dan menetap di kota tujuan. Tradisi mudik pada saat lebaran pun menjadi momen bagi mereka untuk kembali ke kota atau daerah asal.
Kecenderungan bahwa kota-kota tujuan mudik merupakan kantong-kantong migrasi, dapat dilihat antara lain melalui angka migrasi neto di sembilan kota tujuan pemudik Pulau Jawa. Hasilnya, empat dari sembilan kota tersebut menunjukkan angka migrasi neto yang negatif.
Angka migrasi neto negatif menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang keluar dari sebuah kota/kabupaten lebih besar daripada penduduk yang masuk ke wilayah tersebut. Wilayah migrasi neto negatif ini, mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2015, adalah Kota Cirebon (-61.426 orang), Kota Bogor (-26.936 orang), Kota Surakarta (-330.685 orang) dan Kota Tegal (-55.009 orang).
Sementara itu, lima kota lainnya yakni Kota Bandung, Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Madiun menunjukkan angka migrasi neto positif. Dengan kata lain, angka migrasi neto belumlah cukup menjadi bukti untuk menjawab pertanyaan mengenai kota asal para pemudik dari Jabodetabek. Temuan ini perlu diperkuat dengan kemungkinan lainnya yang mendorong terjadinya migrasi dari kota asal.
Ketimpangan Ekonomi
Faktor ketimpangan ekonomi menjadi salah satu anggapan yang dapat memengaruhi angka migrasi neto di kota-kota tersebut. Salah satu alat ukurnya adalah rasio gini, yang menggambarkan ketidakmerataan distribusi pendapatan antar penduduk di berbagai wilayah. Nilai rasio gini yang semakin tinggi menunjukkan adanya ketidakmerataan distribusi pendapatan antar penduduk yang juga semakin besar.
Angka rasio gini tahun 2015 menunjukkan hanya dua dari sembilan kota tujuan terbesar pemudik yang angka rasio gininya berada di bawah rata-rata rasio gini provinsi bersangkutan. Kesembilan kota yang berada di atas angka rata-rata rasio gini ada di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Adapun Bandung (0,44 persen) , Cirebon (0,41 persen) dan Bogor (0,37 persen) menjadi kota yang berada di peringkat 10 besar gini rasio tertinggi dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat.
Dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, posisi 10 teratas diisi oleh Surabaya (0,42 persen), Malang (0,38 persen), dan Madiun (0,38 persen). Sedangkan dari 35 kabupaten/kota Jawa Tengah, hanya Kota Surakarta saja yang berada di atas angka rata-rata gini rasio dengan 0,36 persen.
Temuan di atas cukup memberikan gambaran bahwa para migran yang keluar dari kota asal dapat saja terpengaruh oleh faktor ketimpangan ekonomi. Hal ini cukup rasional, karena ketika bermigrasi, tentu para migran menaruh ekspektasi akan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam konteks ini, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis menjadi magnet tersendiri bagi para migran.
Namun, jika data migrasi neto disandingkan kembali dengan data rasio gini, faktanya hanya tiga kota saja yang linier dengan fenomena tersebut. Ketiganya ialah Cirebon, Bogor, dan Surakarta yang sama-sama memiliki angka migrasi neto negatif dan angka rasio gini di atas rata-rata provinsinya.
Sementara, enam kota tujuan mudik lainnya mempunyai angka migrasi yang tidak sejalan dengan rasio gininya. Faktor ketimpangan ekonomi di kota-kota tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditepikan begitu saja. (LITBANG KOMPAS)