Partai politik pendukung pemerintah diproyeksikan akan mendominasi kursi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Meski dinilai dapat membuat kinerja pemerintah lebih lancar, partai politik di luar pemerintah diharapkan mampu menjadi oposisi yang konstruktif.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik pendukung pemerintah diproyeksikan akan mendominasi kursi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Meski dinilai dapat membuat kinerja pemerintah lebih lancar, partai politik di luar pemerintah diharapkan mampu menjadi oposisi yang konstruktif.
Data Litbang Kompas memproyeksikan, lima partai politik pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin menguasai 349 kursi atau 60,7 persen dari total 575 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lima parpol itu ialah PDI-P (128 kursi), Golkar (85), PKB (58), Nasdem (59), dan PPP (19).
Sementara empat parpol pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diperkirakan mendapat 226 kursi DPR, yakni Gerindra (78 kursi), PKS (50), PAN (44), dan Demokrat (54) seperti dilansir Kompas, 22 Mei 2019.
”Dengan komposisi seperti ini, konflik atau gonjang-ganjing dalam DPR tidak akan terjadi lagi sehingga ketika nanti dilantik, mereka diharapkan dapat langsung bekerja,” kata profesor riset bidang politik dan pemerintahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, Kamis (6/6/2019), di Jakarta.
Parpol di luar pemerintah juga diharapkan dapat menjadi oposisi yang konstruktif. ”Oposisi yang menjadi penyeimbang pemerintah dengan memberi kritik demi membangun bangsa, bukan untuk menjatuhkan,” katanya.
Sebab, seburuk apa pun kinerja pemerintah, itu adalah pilihan rakyat selama lima tahun mendatang. Dengan begitu, Romli menyampaikan agar tidak ada satu pihak pun yang berniat untuk menjatuhkan pemerintahan, tetapi berikan kritik yang membangun.
Sejalan dengan itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan, koalisi partai politik pendukung pemerintah kini memang menjadi mayoritas. Namun, semua harus bekerja sama dalam menyukseskan dan menjaga agar pemerintahan berjalan dengan baik.
”Ke depan sebenarnya sudah tidak ada lagi blok-blokan. Begitu juga di DPR, kita berharap tidak ada lagi sekat-sekat, tidak ada lagi jarak antara pendukung 01 dan pendukung 02. Yang ada adalah kita sama-sama membangun bangsa ini,” ujar Bambang.
Target penyelesaian RUU
Masih ada sembilan rancangan undang-undang (RUU) yang ditargetkan tuntas sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 yang berakhir pada September 2019. Bambang menyampaikan, anggota DPR akan bekerja cepat untuk menuntaskan.
Dari sembilan RUU tersebut, khusus lima RUU, yaitu RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Jabatan Hakim, RUU Pemasyarakatan, RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dan RUU Ekonomi Kreatif, ditargetkan tuntas sebelum berakhirnya masa sidang V DPR, 25 Juli 2019.
Sementara empat RUU lainnya, yaitu RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, RUU Perkoperasian, dan RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, ditargetkan agar bisa dituntaskan pada masa sidang DPR berikutnya, yang dimulai Agustus hingga September 2019 (Kompas.id, 16 Mei 2019).
”Yang paling penting adalah kami terus mengupayakan adanya perubahan ihwal tata cara pembuatan undang-undang agar negara tidak boros menganggarkan uang. Sebab kalau tidak begitu, bisa jadi periode depan mulai dari nol lagi,” kata Bambang.
Sementara itu, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah menilai, RUU Pemilu juga mendesak untuk direvisi, baik UU Pemilu maupun UU Partai Politik. ”Jangan sampai berlarut-larut seperti sebelumnya,” katanya.
Menurut Hurriyah, revisi RUU Pemilu idealnya diselesaikan dan disahkan tiga atau maksimal dua tahun sebelum pemilu kembali diselenggarakan. Dengan begitu, diharapkan manajemen pemilu ke depan dapat lebih baik.
Hurriyah juga mengatakan, seharusnya anggota Dewan yang baru terpilih dapat belajar dari evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Catatan kritis dari hasil penyelenggaraan pemilu dapat menjadi awalan DPR yang baru terpilih untuk menyusun program legislasi nasional.