UU Pemilu Masih Terbatas Jangkau Pelaku Politik Uang
Oleh
Ingki Rinaldi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinilai memiliki sejumlah kelemahan mendasar terkait fungsinya dalam memberantas praktik politik uang. Pada sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia cederung masih permisif dengan praktik politik uang yang terjadi dalam pemilu.
Peneliti Senior Founding Fathers House Dian Permata, saat dihubungi pada Kamis (6/6/2019) mengatakan, daya jelajah UU Pemilu tidaklah sejauh UU No 16/2016 tentang perubahan kedua atas UU No 1/2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No 1/2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. UU No 16/2016 atau UU Pilkada dinilai punya daya jelajah yang lebih jauh dalam menghadapi praktik politik uang.
Menurut Dian, UU Pilkada subyeknya adalah siapa saja yang melakukan praktik politik uang. Adapun di UU pemilu, hanya pihak pemberi yang bisa dikenakan pidana jika terjadi praktik politik uang.
“Akibatnya, (pelaku praktik politik uang) lebih mudah dijangkau penyelenggara pemilu (dengan UU Pilkada) untuk mempermudah penegakan sanksi,” ujar Dian.
UU Pilkada subyeknya adalah siapa saja yang melakukan praktik politik uang. Adapun di UU pemilu, hanya pihak pemberi yang bisa dikenakan pidana jika terjadi praktik politik uang.
Hal senada disampaikan Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar. Erwin menggarisbawahi bahwa dalam UU Pilkada, pelaku atau pemberi dan penerima praktik politik uang bisa ditindak. Sementara dalam UU Pemilu, hanya pihak pemberi yang bisa ditindak. Selain itu, siapapun yang dalam selama proses kontestasi diketahui melakukan praktik politik uang, maka sesuai UU Pilkada yang bersangkutan bisa ditindak.
Sedangkan dalam UU Pemilu, penindakan terhadap politik uang hanya ada di dalam tiga tahapan proses. Tiga proses atau tiga fase ini juga membedakan subyek pelaku praktik politik uang terkait.
Pertama, fase kampanye dimana subyeknya adalah pelaksana kampanye. Fase kedua di saat masa tenang, dimana tim dan pelaksana kampanye sebagai subyeknya. Fase ketiga, pada saat pemungutan suara, dengan semua orang sebagai subyeknya.
Dian menambahkan, sanksi bagi pelaku politik uang yang bisa dilakukan pada siapa saja hanya berlaku dalam masa pemungutan dan penghitungan suara. Akan tetapi di masa kampanye, selama politik uang tidak dilakukan peserta pemilu, tim kampanye, dan pelaksana kampanye, maka unsur subyeknya tidak terpenuhi.
“Jika pelaku politik uang (bukan) bagian tim, maka akan susah dijangkau oleh penyelenggara pemilu,” sebut Dian.
Hal ini sekurangnya tercermin dalam laporan mengenai Data Pelanggaran Pemilu Tahun 2019 yang secara resmi dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 28 Mei 2019. Dalam dokumen tersebut, ada 25 putusan pengadilan terkait politik uang. Sebanyak 24 putusan diantaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), sisanya satu putusan masih dalam proses banding.
Kasus-kasus politik uang itu tersebar di DKI Jakarta (3 putusan), Kepualauan Riau (1 putusan), Sulawesi Selatan (1 putusan), Sumatera Barat (1 putusan), Nusa Tenggara Barat (2 putusan), Jawa Barat (1 putusan), Sulawesi Tengah (2 putusan), dan DI Yogyakarta (1 putusan). Selain itu Jawa Tengah (2 putusan), Gorontalo (5 putusan), Sulawesi Utara (1 putusan), Kalimantan Barat (1 putusan), Kalimantan Utara (1 putusan), Papua Barat (1 putusan), Bangka Belitung (1 putusan), dan Nusa Tenggara Timur (1 putusan).
Adanya 25 putusan terkait politik uang itu, kata Dian, dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, masyarakat memang sudah sadar akan adanya praktik politik uang yang dapat mencederai praktik berdemokrasi. Kedua, praktik tersebut dilakukan dengan modus yang semakin canggih. Ketiga, sedikitnya kasus yang terungkap juga bisa dilihat sebagai tumpulnya penyelenggara pemilu.
“Kendati perspektif hukum (UU Pemilu) tidak sekuat UU Pilkada, penyelenggara pemilu tidak boleh kehilangan akal,” sebut Dian.
Karena hal tersebut, imbuh Dian, idealnya dilakukan kampanye untuk menanggulangi praktik politik uang secara tepat guna. Ini penting dilakukan menyusul keterbatasan sumber daya manusia dan dana. “Misalnya memetakan siapa saja calon penerima dan pemberi potensial politik uang,” kata Dian.
Ini misalnya bisa dilakukan pada segmen penerima berdasarkan umur, jenis kelamin, wilayah, dan lain-lain. Sementara di segmen pemberi, bisa dilakukan pemetaan di kelompok tim sukses, tokoh masyarakat, aparat desa, dan sebagainya.
Sikap Permisif
Hal tersebut terkait pula dengan sikap permisif sebagian warga terhadap praktik politik uang. Survei yang dilakukan Founding Fathers House (FFH) dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) pada pertengahan Januari hingga Maret 2019 menyimpulkan hal tersebut.
Berdasarkan survei terhadap 1.200 responden secara nasional itu, diketahui 57,75 persen responden atau calon pemilih bakal menerima uang atau barang jika ditawari oleh tim sukses, konsultan, atau calon. Hanya ada 29 persen responden menolak serta 13,25 persen responden lainnya yang menyatakan tidak tahu serta tidak menjawab.
Alasan mereka yang menerima politik uang, masing-masing adalah, sebesar 74 persen penyatakan rezeki tidak boleh ditolak dan 15,8 persen menyatakan sebagai penambah uang dapur dan kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 4,89 persen menyatakan sebagai ongkos pengganti karena pada hari pencoblosan tidak bekerja. Sisanya sebanyak 2,59 persen memilih jawaban lannya, dan 2,3 persen menyatakan tidak tahu dan tidak menjawab.
Hal lain yang relatif mengejutkan adalah, sebesar 51,62 persen dari responden yang menyatakan bakal menerima uang atau barang menyatakan tahu adanya larangan ihwal menerima praktik politik uang. Sementara jika dilihat dari segmen usia, responden berumur 17-19 tahun yang berpotensi untuk menerima praktik politik sebesar 66,67 persen.
Pada kelompok usia 20-29 tahun, mereka yang punya potensi untuk menerima praktik politik uang adalah 63,49 persen. Sementara di kelompok 30-39 tahun, sebesar 58,67 persennya berpotensi menerima praktik politik uang.