Masyarakat Kota Mataram, NTB, menyambut Idul Fitri 1440 H dengan pawai takbir pada Selasa (4/6/2019) malam. Pawai yang diikuti peserta (kafilah) dengan penuh sukacita itu juga menyelipkan semangat kecintaan pada kelestarian lingkungan alam.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/KHAERUL ANWAR
·5 menit baca
Masyarakat Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyambut Idul Fitri 1440 Hijriah dengan pawai takbir pada Selasa (4/6/2019) malam. Pawai yang diikuti peserta (kafilah) dengan penuh sukacita itu juga menyelipkan semangat kecintaan pada kelestarian lingkungan alam.
Malam menjelang Lebaran itu, jalan-jalan di kelurahan hingga jalan protokol di Kota Mataram dibanjiri warga peserta pawai takbiran atau yang sekadar menonton momen sekali setahun di pengujung puasa Ramadhan itu.
Pawai kian semarak oleh suara takbir dan beduk dari peserta kafilah yang berjalan kaki keliling kota sembari mengarak miniatur masjid, kaligrafi, Al Quran, dan lampu ajaib Aladin yang berhias pernak-pernik dan kelap-kelip.
Pawai takbiran di Kota Mataram dipusatkan di Masjid Hubbul Wathan Islamic Center NTB. Tiap kelurahan mengirim kafilah untuk merayakan Hari Kemenangan meski tiap kelurahan juga mengadakan pawai takbiran dengan tema masing-masing.
Warga Kelurahan Rembiga, Kecamatan Selaparang, misalnya, mengusung tema lingkungan. Seperti yang ditampilkan Komunitas Trash Hero Mataram yang membuat miniatur masjid dari barang bekas berupa tripleks, kayu, dan kertas. Mulai dari fondasi, bagian dalam, dinding, kubah, hingga menara-menara miniatur masjid itu dibuat dari botol-botol plastik bekas.
Di beberapa bagian, miniatur dilengkapi juga dengan ecobrick atau botol plastik yang diisi sampah plastik hingga padat. Ecobrick belakangan banyak dimanfaatkan karena menjadi model pengolahan sampah plastik ramah lingkungan. ”Ada 300 botol bekas yang kami gunakan,” kata Ketua Komunitas Trash Hero Mataram H Khairut Tamimi (31).
Kubah utama dan kubah menara miniatur masjid itu dipercantik dengan bekas kemasan makanan ringan. Kemudian, halaman miniatur masjid dilengkapi rerumputan dan dedaunan hijau. ”Itu (rerumputan dan dedaunan) untuk menunjukkan semangat go green juga,” ucap Khairut.
Limbah botol serta kertas kemasan makanan camilan dan mi instan itu dikumpulkan selama sebulan dari rumah warga dan rumah makan di kelurahan tersebut. ”Kami memiliki program rutin mengumpulkan sampah. Botol plastik dan sampah itu kami bikin jadi ecobrick,” ucap Khairut.
Setelah bahan terkumpul, pengerjaan pembuatan miniatur membutuhkan waktu 20 hari. Botol-botol plastik, ecobrick, dan plastik pembungkus makanan dirangkai satu per satu menggunakan lem perekat yang diracik sendiri dari bahan styrofoam dicampur bensin. Guna mempercantik penampilan, miniatur pun dilengkapi lampu warna-warni.
”Dari semua bahan miniatur, hanya lampu ini yang kami beli dari uang urunan warga. Sisanya dari limbah barang yang bisa didaur ulang,” lanjutnya.
Menurut Khairut, miniatur mereka mungkin lebih sederhana dibandingkan dengan miniatur lain yang mewah. ”Tetapi, kami membawa misi bukan sekadar merayakan Hari Kemenangan setelah berpuasa, melainkan juga mengajak masyarakat mencintai lingkungan agar lebih disiplin dengan produk sampahnya sendiri. Saat ini, sampah plastik menjadi persoalan dunia, termasuk daerah-daerah di Indonesia,” tuturnya.
Laporan Ocean Atlas 2017 menempatkan Indonesia di posisi kedua negara terburuk dalam pengelolaan sampah plastik setelah China. Namun, sulit membangun kesadaran bersama mengurangi sampah plastik (Kompas, 24/12/2018).
Ketua Bank Sampah Bintang Sejahtera Syawal mengatakan, produksi sampah di NTB mencapai 1,5 juta ton setahun. Dari jumlah itu, hanya 500-600 ton berupa sampah plastik, kertas, dan logam yang bisa dijual dan didaur ulang sebagai produk kerajinan.
Adapun Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Kebon Kongok, Lombok Barat, sebagai TPA untuk Kota Mataram dan Lombok Barat serta TPA Ijo Balit di Lombok Timur sudah melebihi kapasitas sejak tahun 2017.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Dinas Lingkungan Hidup Lombok Barat I Gusti Ayu Swasti Astuti mengatakan, produksi sampah di Lombok Barat mencapai 175,4 ton sehari.
”Dari total produksi sampah itu, yang mampu ditangani rata-rata 60,83 persen (101,76 ton). Sebanyak 58,01 persen diangkut ke TPA, sedangkan 2,82 persen sisanya bisa diolah dengan 3R (reuse, reduce, recycle),” ujar Ayu.
Data tersebut mengindikasikan kesadaran akan lingkungan harus dilakukan sejak dini. Hal itu telah diupayakan Komunitas Trash Hero Mataram yang berdiri 2,5 tahun lalu dengan melibatkan anak-anak mulai dari mengumpulkan bahan hingga pengerjaan miniatur masjid itu.
Kesadaran akan bahaya limbah plastik bagi lingkungan alam juga ditunjukkan Komunitas Bale Anak Desa/BaleAde, wadah belajar kreasi dan literasi Dusun Medas Bedugul, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat. Anak-anak yang membaca buku dan belajar di BaleAde diminta mengumpulkan limbah botol plastik, lalu diajarkan membuatnya menjadi aksesori miniatur masjid dan lampion.
Dengan cara itu, anak-anak dan orangtua menyadari bahwa barang bekas bisa digunakan ulang dan didaur ulang sehingga menjadi karya seni yang unik.
Muhammad Rahmat Hidayat (17), anggota Trash Hero Mataram, mengatakan bangga bisa membuat karya dari botol bekas karena miniatur itu tampil beda dengan kebanyakan miniatur saat pawai takbiran. ”Buat saya, yang lebih penting, sampah plastik bisa diolah lagi. Tidak dibuang sembarangan mengotori lingkungan,” ujar siswa SMKN 3 Mataram itu.
H Subeki (62), warga Kelurahan Rembiga, mengapresiasi upaya Trash Hero. ”Mereka kreatif, lingkungan jadi lebih bersih. Semangat ini harus terus didorong dan semakin luas. Apalagi, sekarang sampah jadi masalah. Sungai hingga laut penuh sampah,” ucap Subeki.
Menurut Khairut, menyadarkan masyarakat untuk peduli pada sampah membutuhkan waktu dan kesadaran semua pihak. ”Di Kelurahan Rembiga ini, rata-rata per keluarga menghasilkan 3 kilogram sampah sehari. Syukur secara perlahan warga mau belajar mengelola sampah. Dulu mereka masih sembarangan, tetapi sekarang sudah dikelola dengan baik,” ujarnya.