Waspadai Uang Palsu di Saku Lebaran
Peredaran rupiah palsu tidak boleh dianggap remeh. Jumlahnya mungkin terbilang kecil, tetapi bisa merugikan karena tidak mudah terdeteksi. Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2011-2018, jumlah uang palsu yang beredar di Indonesia lebih dari 1,5 juta lembar.
Walau terus diberantas, peredaran uang palsu masih terjadi di Indonesia. Masyarakat perlu waspada agar dompet hari raya tidak tercemar uang tiruan.
Sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, definisi rupiah palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
Peredaran rupiah palsu tidak boleh dianggap remeh. Jumlahnya mungkin terbilang kecil, tetapi bisa merugikan karena tidak mudah terdeteksi. Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2011-2018, jumlah uang palsu yang beredar di Indonesia lebih dari 1,5 juta lembar.
Jika nilai pecahan uang palsu yang berjumlah 1,5 juta lembar tersebut sebesar Rp 100.000, total nilainya mencapai Rp 150 miliar. Penyebaran paling marak terjadi tahun 2016, sebanyak 362.250 lembar. Sementara rupiah palsu paling minim beredar pada tahun 2012, sejumlah 92.686 lembar.
Banyaknya uang palsu yang beredar juga dibuktikan dari tingginya rasio uang palsu terhadap uang asli. Angka rasio yang dihasilkan menggambarkan banyaknya uang palsu dari satu juta uang asli yang beredar.
Masih pada periode yang sama, setidaknya ada tiga periode peningkatan yang signifikan disertai penurunan tajam secara bergantian. Periode tahun 2011, ada sekitar lebih dari 100.000 lembar uang palsu dengan rasio 11 lembar per 1 juta lembar uang yang diedarkan.
Rasio tersebut kemudian turun 27,3 persen pada tahun berikutnya. Namun, penurunan tersebut tak bertahan lama, tahun 2013 meningkat 34,4 persen di angka lebih dari 140.000 lembar.
Baca juga: Jelang Lebaran, Waspadai Peredaran Uang Palsu
Setelah meningkat pada tahun 2013, peredaran uang palsu turun 11,7 persen, sebelum naik drastis pada tahun 2015 sebesar 60,5 persen. Saat itu, jumlahnya menyentuh lebih dari 300.000 lembar dengan rasio uang palsu menjadi 21 lembar per 1 juta lembar yang diedarkan.
Pada 2016, peredaran uang palsu kembali meningkat 11,8 persen dengan jumlah lebih dari 350.000 lembar. Rasio uang palsu terhadap uang asli mencapai angka 13.
Angka peredaran uang palsu sempat menurun setahun kemudian. Keberadaan rupiah tiruan pada 2017 turun lebih dari setengahnya dibandingkan dengan tahun 2016. Rasio uang palsu terhadap uang asli dapat ditekan menjadi 9 lembar per 1 juta lembar uang yang diedarkan pada 2017.
Persoalan uang palsu memang tidak mudah diselesaikan dalam waktu singkat, dibuktikan tahun 2018 keberadaan uang palsu kembali naik. Jumlah rupiah tiruan yang beredar naik 30,5 persen atau mencapai 237.431 lembar. Sementara rasio temuan uang palsu naik menjadi 12 lembar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sebaran
Jangkauan rupiah tiruan telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Jumlah terbanyak berada di Pulau Jawa, mencapai 77,2 persen dari peredaran uang palsu nasional. Kondisi tersebut wajar, sebab Pulau Jawa menjadi pusat perekonomian nasional, artinya transaksi jual beli menggunakan rupiah masif terjadi seiring risiko peredaran uang palsu.
Pulau Sumatera menempati urutan kedua untuk wilayah paling banyak peredaran uang palsu (5,8 persen). Urutan berikutnya berada di gugusan pulau Bali dan Nusa Tenggara (3,2 persen), dilanjutkan Pulau Kalimantan (2,3 persen). Paling rendah berada di Sulawesi dan Papua, sekitar 1,7 persen dari total peredaran uang palsu nasional.
Tiap wilayah di Indonesia memiliki area-area dengan konsentrasi uang palsu tertinggi. Untuk Pulau Sumatera, berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara dengan total 5.478 lembar pada tahun 2018. Wilayah lainnya berada di Lampung (3.291 lembar), Jambi (1.964 lembar), dan Sumatera Selatan (1.826 lembar).
Dari seluruh Pulau Jawa, DKI Jakarta menempati posisi terbanyak peredaran uang palsu (125.205 lembar). Wilayah lainnya berada di Jawa Timur (14.354 lembar) dan Jawa Barat (10.329 lembar). Sementara Pulau Bali menjadi sasaran penyebaran uang palsu untuk wilayah Kepulauan Sunda Kecil (3.808 lembar).
Sebaran rupiah palsu di Kalimantan terkonsentrasi di dua wilayah, yaitu Kalimantan Selatan (2.898 lembar) dan Kalimantan Barat (1.750 lembar). Sementara di wilayah timur Indonesia, uang palsu banyak ditemukan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Sangat kecil ditemukan uang palsu di wilayah Papua.
Kegiatan konsumsi
Maraknya peredaran uang palsu tak lepas dari banyaknya uang kartal yang beredar, seiring dengan tingginya kegiatan konsumsi masyarakat. Setiap tahun, khususnya menjelang hari raya keagamaan dan pergantian tahun, kebutuhan uang kartal diproyeksikan meningkat.
Uang kartal merupakan uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Tren kebutuhan uang berkorelasi dengan kegiatan belanja atau konsumsi masyarakat yang bertambah pada periode hari raya dan pergantian tahun. Pada triwulan I-2019, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,07 persen.
Dari 5,07 persen itu, 2,75 persen di antaranya merupakan kontribusi konsumsi rumah tangga. Pada triwulan I-2019, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01 persen secara tahunan.
Sebanyak 77,2 persen dari peredaran uang palsu nasional terdapat di Pulau Jawa.
Survei Bank Indonesia menunjukkan, pada April 2019, porsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi 68,5 persen. Porsi ini meningkat dibandingkan dengan Maret 2019 yang sebesar 68,1 persen. Hasil survei itu juga memproyeksikan, pengeluaran konsumsi pada Juli 2019 masih akan meningkat.
Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah uang kartal yang diedarkan naik sekitar 9,1 persen tiap tahun selama periode 2014-2108. Total uang kartal senilai Rp 8.117 triliun telah diedarkan selama tahun 2018. Sementara pada periode Idul Fitri 2019, Bank Indonesia memperkirakan kebutuhan uang kartal meningkat 13,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, data uang kartal yang beredar tahun 2014-2018 menunjukkan pola seragam pada hari raya keagamaan dan Tahun Baru. Tepat pada periode hari raya keagamaan dan Tahun Baru, peredaran uang meningkat drastis, diiringi penurunan tajam pada bulan berikutnya.
Pada Mei-Juli tiap tahun, terjadi peningkatan tajam uang kartal, sebesar 16,2 persen. Peningkatan paling besar terjadi saat Lebaran tahun 2017, mencapai 22,1 persen. Setelah naik tajam, bulan berikutnya peredaran uang kartal dipastikan turun atau banyak yang ditarik kembali oleh Bank Indonesia, yaitu sebanyak 10,4 persen.
Hal serupa terjadi saat momen pergantian tahun. Pada Desember, uang kartal yang beredar naik 9,7 persen tiap tahun. Tak berselang lama, bulan berikutnya peredaran rupiah akan turun di angka yang sama, yaitu 9,7 persen.
Berdasarkan kondisi tersebut, setidaknya ada tiga penyebab maraknya peredaran uang palsu dan mengapa kasus ini sulit dihentikan. Pertama, pola konsumsi masyarakat meningkat tajam dalam waktu singkat.
Kedua, adanya momentum perayaan hari raya keagamaan dan pergantian tahun baru. Ketiga, adanya penambahan uang kartal di masyarakat oleh Bank Indonesia yang menjadi celah untuk memproduksi uang palsu.
Uji keaslian
Peredaran rupiah palsu yang terus terjadi menggugah kewaspadaan negara dan masyarakat. Dari sisi negara, pemantauan uang palsu dilakukan oleh Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal), sebuah lembaga yang bertugas untuk mengoordinasikan pemberantasan rupiah palsu.
Lembaga ini terdiri dari Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia. Badan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2012 tersebut diwajibkan melaporkan hasil pelaksanaan fungsi dan tugasnya kepada presiden sekurang-kurangnya satu kali dalam enam bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Beberapa upaya yang sudah dilakukan adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang cara membedakan uang palsu dan asli, berikutnya pelatihan kepada para pelaku jasa keuangan, termasuk pekerja kasir atau teller bank, terakhir, meningkatkan fitur-fitur pengamanan uang rupiah.
Lantas, bagaimana cara mengenali keaslian uang rupiah dari sisi masyarakat? Ada cara paling mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, yaitu menggunakan panca indera melalui 3D (dilihat, diraba, diterawang). Apabila belum cukup, ada dua cara lain, yaitu sinar ultraviolet dan kaca pembesar.
Saat dilihat, ada empat parameter khusus di uang lembar yang harus diperhatikan, yaitu warna, keberadaan benang, penggunaan tinta, dan gambar. Jika dilihat dari warna, uang akan terlihat terang dan jelas sehingga mudah dikenali secara kasatmata. Sementara benang pengaman pada uang, polanya seperti dianyam dan dapat berubah warna pada pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000.
Dari sisi penggunaan tinta, ada bagian yang dapat berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda, seperti merah keemasan menjadi hijau atau hijau menjadi ungu. Tinta berubah warna pada uang terletak pada bagian perisai yang di dalamnya ada logo Bank Indonesia. Keberadaan gambar pada uang ada dua jenis, yaitu gambar tersembunyi mutliwarna dan tidak mengalami perubahan warna.
Cara berikutnya adalah diraba, di mana unsur-unsur pengaman uang akan terasa kasar. Bagian-bagian yang terasa kasar terletak pada gambar Garuda Pancasila, angka nominal, huruf terbilang pecahan uang, terakhir pada frasa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bank Indonesia.
Sementara kode untuk tunanetra terletak pada sisi kanan dan kiri uang yang berupa pasangan garis. Bila pasangan garis tersebut diraba, akan terasa kasar di tangan.
Cara terakhir adalah diterawang, yaitu melihat unsur-unsur pengaman yang hanya dapat diketahui saat diarahkan ke cahaya. Ada tiga penanda saat diterawang, yaitu tanda air berupa gambar pahlawan, ornamen logo Bank Indonesia, dan gambar saling sisi logo Bank Indonesia.
Sanksi
Sebagai suatu simbol kedaulatan negara, praktik pemalsuan mata uang merupakan tindakan melanggar hukum. Ada lima jenis larangan pemalsuan rupiah yang diatur dalam UU No 7/2011 tentang Mata Uang. Pertama, setiap orang yang memalsukan rupiah diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Kedua, praktik penyimpanan fisik rupiah palsu dengan cara apa pun akan dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar. Berikutnya, setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan rupiah palsu akan dipidana paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 50 miliar. Sanksi yang sama dijatuhkan pada tiap orang yang membawa atau memasukkan rupiah palsu ke dalam/atau ke luar Indonesia.
Sementara orang yang mengimpor atau mengekspor rupiah palsu mendapat sanksi paling berat, yaitu pidana paling lama seumur hidup dan denda paling banyak Rp 100 miliar. Tak hanya lima jenis larangan tersebut, bagi orang yang sengaja meniru rupiah dan mengedarkannya, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan memberi tanda kata spesimen, akan dikenai sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Ketatnya aturan hukum peredaran uang palsu bukan tanpa alasan, sebab kerugian yang ditimbulkan sangat besar, dari level nasional hingga ke masyarakat. Masuknya uang palsu ke sirkulasi rupiah akan memengaruhi suplai uang secara keseluruhan, memicu kenaikan harga, dan akhirnya menurunkan daya beli dari uang tersebut.
Efek lainnya adalah uang palsu yang terlalu banyak akan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat dan pihak asing terhadap rupiah, sehingga perekonomian nasional tidak stabil. Karena itu, menjaga integritas rupiah dari pemalsuan seharusnya menjadi prioritas negara. (LITBANG KOMPAS)