Gaung Toleransi dari Sudut Negeri
Di sejumlah daerah di pelosok Nusantara, toleransi mengalun amat indah. Sikap toleran sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga. Mereka hidup berdampingan dengan rukun di tengah perbedaan.
Gaung toleransi ini, antara lain, terdapat di Dusun Buneng, Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dan Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di dua daerah ini, kehidupan damai dalam keberagaman telah dijalani turun-temurun.
Pada bulan Ramadhan tahun ini, riuh spanduk ucapan tampak di Dusun Buneng. Selain bertuliskan ”Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah”, juga terpasang spanduk bertuliskan ”Selamat Hari Raya Waisak”. Ini karena perayaan Waisak pada 19 Mei lalu bertepatan dengan saat Ramadhan.
Tidak hanya di rumah warga, spanduk ucapan hari raya Idul Fitri juga terbentang di depan beberapa gereja dan wihara. ”Spanduk itu dipasang menjelang puasa. Kebetulan puasa tahun ini bersamaan dengan Waisak,” ujar Rusmiati (63), seorang warga Muslim, saat ditemui, Senin (27/5/2019).
Tekat Harjoutomo (90), salah satu warga Kristiani yang pagar rumahnya tertempel spanduk ucapan selamat Idul Fitri dan Waisak, menuturkan, semua dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada umat beragama lain.
Keluarga Tekat sendiri berasal dari dua keyakinan berbeda. Adiknya beragama Islam. Saat Lebaran tiba, keluarga Tekat dan keluarga adiknya saling berkunjung untuk bersilaturahmi.
Saat puasa, biasanya warga non-Muslim juga menyumbangkan takjil di masjid dan mushala setempat. Saat Idul Fitri, biasanya warga Kristen, Buddha, dan Hindu beranjangsana ke rumah warga Muslim. Mereka menyampaikan ucapan selamat Idul Fitri sekaligus meminta maaf.
Tidak hanya itu, Rusmiati mencontohkan saat pembangunan Tempat Belajar Al Quran yang berada di sisi selatan Masjid Miftahul Huda, warga non-Muslim ikut bergotong royong mengecor beton. Gotong royong serupa dilakukan saat pembangunan sarana ibadah warga yang lain.
Desa Boro yang terletak di tepi Waduk Selorejo terdiri atas empat dusun, yakni Buneng, Jarangan, Boro, dan Mintoragan. Desa itu dihuni sekitar 5.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, 70-80 persen beragama Muslim. Sisanya beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu. Di Dusun Buneng terdapat 2 masjid, 4 mushala, 2 gereja, dan 1 wihara.
Kampung sawah
Nuansa toleransi juga nyata di Kampung Sawah, Bekasi, terutama saat Idul Fitri. Warga yang beragama Katolik membantu kelancaran umat Muslim dalam menunaikan shalat Idul Fitri.
Seperti dilakukan Richardus Jacobus Napiun (63). Salah satu tokoh masyarakat yang beragama Katolik itu turut sibuk menjelang shalat Idul Fitri di Masjid Agung Al Jauhar Yasfi, Kampung Sawah, Rabu (5/6). Dia tidak pernah absen membantu mengatur lalu lintas dan parkir di dekat areal yang digunakan untuk shalat.
Sembari menggenggam handy-talkie (HT), Jacobus bersiap di tepi jalan raya sejak matahari menampakkan diri. ”Sudah sekitar 20 tahun saya ikut membantu. Ada kepuasan batin saat membantu teman-teman Muslim di Kampung Sawah. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan leluhur di Kampung Sawah soal kerukunan,” kata Jacobus.
Jemaah yang hendak masuk ke masjid pun turut menghampiri Jacobus. Mereka kemudian berjabat tangan saling meminta maaf. Hal serupa dilakukan warga Kampung Sawah lainnya, Andreas Yuniar (51). Ia bangun pagi-pagi untuk ikut membantu mempersiapkan shalat Idul Fitri. Sebelum bertolak ke masjid, ia terlebih dahulu mengikuti misa pagi di Gereja Santo Servatius.
Masyarakat yang guyub memang ciri khas kampung ini. Nenek moyang mereka mewariskannya secara turun-temurun. ”Kerukunan dalam masyarakat kami bukan hal yang istimewa. Ini adalah keseharian,” tutur Jacobus.
Hidup berdampingan secara harmonis juga tampak dari lokasi tempat ibadah yang berdekatan. Masjid Al Jauhar Yasfi yang dibangun pada 1972 berada di samping Gereja Kristen Pasundan yang dibangun pada 1874. Sekitar 100 meter dari Masjid Al Jauhar Yasfi ada Gereja Santo Servatius yang didirikan pada 1896.
Kehadiran warga lintas agama terasa sangat berarti di mata pengurus Masjid Agung Al Jauhar Yasfi, Sholahudin Malik. Ia tak lagi memandang mereka sebagai tetangga atau kawan, melainkan saudara. Banyak warga Kampung Sawah memang bersaudara. Ada 62 marga di kampung ini yang disatukan dalam ikatan darah. Beberapa antara lain Baiin, Niman, Rikin, Dani, Kaiin, Sairin, Pepe, dan Napiun.
Jika ada gesekan, para tokoh masyarakat akan berkumpul dan membicarakan hal itu. Penyebab isu ditelaah bersama asal muasalnya. ”Kalau ada kasak-kusuk yang tidak seirama dengan budaya di sini, maaf deh, kami enggak mau (termakan isu),” kata Jacobus.
Tokoh Islam di Kampung Sawah, Rachmadin Afif (74), memandang kerukunan sebagai hal yang wajar. Tidak ada alasan untuk tidak hidup rukun. Selain nyaman, hidup damai juga membuat pikiran tenang.
”Banyak orang bertanya, ’Kenapa warga Kampung Sawah bisa rukun?’ Yang seharusnya ditanyakan bukan kami, tapi Anda. Kenapa kalian tidak rukun?” kata Rachmadin.
Kisah warga Kampung Sawah dan Dusun Buneng laksana pelepas dahaga. Mereka tetap adem ayem dan merayakan keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.(SKA/DIV/WER)